Rabu, 25 Maret 2015

Saya Suka Kota dan Pantai



Berita utama koran kompas hari ini berjudul "Pemimpin Tentukan Nasib Kota--57 Persen Penduduk Indonesia Tinggal di Kota pada 2025". Saya catat dua alinea pembuka,

"Sepuluh tahun lagi, 57 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Tanpa antisipasi, kota akan menjadi tempat masalah dan bencana. Membangun kota cerdas dan bijaksana adalah keniscayaan. Kepemimpinan yang disiplin dan kuat menjadi prasyaratnya.

Demikian pesan dari peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2015 di Jakarta, Selasa (24/3). Indeks ini adalah parameter untuk mengukur dan memeringkat kinerja pengelolaan kota berbasis teknologi digital terhadap pelayanan masyarakat. Program ini merupakan kerja sama antara Institut Teknologi Bandung dan Kompas didukung PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk."


Saya tinggal di tengah kota Jakarta, rumah tua warisan keluarga isteri saya. Suatu saat rumah ini pasti dijual dan uangnya dibagi dua, isteri saya dan adiknya. Pasti kami tidak bisa membeli lagi rumah di tengah kota. Cerita rumah warisan sudah klasik, dijual dan uangnya dibagi-bagi, dan penghuninya pindah ke pinggir kota atau luar kota. Saya cinta rumah ini karena penuh kenangan dengan keluarga dan teman-teman seniman.

Saya suka kota dan pantai. Saya ingin punya rumah di kota Labuhan, Jawa Barat. Saya jatuh cinta pada kota ini. Jika saya punya uang, saya akan bikin studio di sana, di gigir bukit tepi laut. Dan saya akan sepuas-puasnya memandang  laut, ombak, cakrawala, awan, langit biru, bintang yang jauh. Sendirian. Dan saya akan merasakan seperti orang yang terakhir di bumi ini.

Dulu waktu saya kuliah di LPKJ-TIM (1974) saya sangat suka workshop karena bepergian dan menggambar di luar. Saya tidak akan merasakan panas terik siang hari di atas atap gedung Lindeteves memandang riuhnya Glodok atau terbakar ketika membuat banyak sketsa perahu-perahu di Kali Baru. Saya hanya merasa sangat puas berkarya dan berkhayal menjadi pelukis besar. Saya juga suka dibawa ke gunung, workshop di Ciloto. Tapi saya bukan pencinta alam seperti Steve Clement dan Ariana Pegg (kami masih berhubungan lewat Facebook). Yang paling membuat saya senang ikut kuliah workshop adalah karena kami para mahasiswa tidak keluar ongkos jalan (disediakan bus), kertas gambar dan spidol selalu dibagikan gratis.

Lukisan cat minyak saya banyak yang bertema kota dan perahu di tahun 90-an, juga gunung dan hutan. Sekarang saya melukis abstrak.

Sepuluh tahun lagi mungkin saya masih tinggal di rumah kesayangan ini, mungkin pindah tapi masih tetap di kota. Tapi yang penting saya masih bisa berkarya, dan banyak waktu untuk ke pantai di mana saja, memandang laut.

Di tahun 2012, pulang jalan-jalan ke Parang Tritis bersama teman lama Salimi Ahmad dan Rismudji Rahardjo, saya menulis sajak pendek ini:

aku suka memandang laut
yang ombaknya tak pernah tenang
selalu saja ada kau di sana adik
meniti buih menuju awan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar