Sabtu, 28 Maret 2015

Jojo dan SNM Lewat Jendela Rumah Kita




Jendela Rumah Kita adalah serial televisi drama Indonesia tahun 1989-1990. Jadi tulisan ini saya buat di tahun 1989.
http://id.wikipedia.org/wiki/Jendela_Rumah_Kita

Saya ingat malam itu Syamsudin Noer Moenadi (teman-teman memanggilnya Si Pelor) seperti biasa datang dengan riuhnya. Dia bercerita tentang serial televisi Jendela Rumah Kita yang sedang naik daun. Karena wartawan rupanya dia baru meliput sinetron itu. Saya menunjukkan naskah yang baru saya tulis, dia membacanya bolak-balik terburu-buru (khas Pelor), dan wajahnya jadi sangat berseri-seri. "Ini mesti dimuat, Yus," katanya. Dan beberapa hari kemudian terbit di Tabloid Monitor. Saya lupa honornya apakah saya serahkan semua ke istri saya atau untuk minum bir.




J O J O


Oleh: Julius Yusidjaya


Jojo tiba-tiba menggedor kesadaran saya. Senyumnya yang khas selalu terbayang ketika saya ingin berangkat tidur. Senyum itu seperti senyum malu-malu, seperti senyum bangga, tapi seperti juga senyum yang mengejek. Senyum malu-malunya bisa saya terima sebagai kerendahhatian seorang muda. Senyum bangganya bisa saya terima sebagai kepercayaan diri seorang muda. Tapi senyum mengejeknya itu? Mau tidak mau saya terima sebagai kenyataan kecemburuan saya.

Betapa tidak, ketika saya seusia Jojo, saya tidak punya pacar secantik itu. Saya tidak punya tubuh atletis begitu. Saya tidak bisa menamatkan kuliah. Saya sulit mencari kerja. Saya punya MDS (Masa Depan Suram). Dan hari-hari saya berlalu tanpa punya Senin, Selasa, Rabu dsb, hingga waktu seperti menguap begitu saja.

Saya sadar bahwa zaman saya dengan zaman Jojo lain. Kemajuan telah begitu pesat sekarang. Belasan tahun lalu mana ada jalan layang di Jakarta. Belum ada bioskop kembar sekian, belum ada diskotek, belum ada video rental, belum ada RCTI. Boro-boro komputer masuk rumah, TV masuk rumah pun masih jarang. Belum ada monitor dan saya tidak kenal sinetron, apalagi Tabloid Monitor.

Sutinem pacar pertama saya (yang kemudian saya panggil Mince supaya lebih keren) kalau didandani seperti sekarang pasti tidak kalah cantik dengan pacar Jojo. Sayang saja dulu Sutinem tidak punya majalah remaja khusus untuk cewek, tidak terlintas dalam pikirannya untuk menjadi foto model, atau bintang film, atau penyanyi. Sutinem sudah berani pakai rok mini, lho! meskipun hanya punya semata wayang.

Jojo dan saya jelas lain. Tapi ada persamaan Jojo dengan waktu saya seusianya. Saya juga bisa cuek dan seenaknya. Saya bisa kelihatan masa bodoh dan tak peduli pada aturan-aturan yang terasa mengikat dan kuno. Saya bisa hormat pada orang yang lebih pintar dan bijak. Saya memikirkan hidup saya, keluarga saya, lingkungan saya. Saya gondrong karena waktu itu sedang mode. Saya suka musik rock tapi saya tidak anti dangdut. Saya suka baca buku, belajar keras, kemudian kerja keras. Ya,ya, saya punya semangat muda yang bergolak. Ya,ya, saya tidak mau diperlakukan sewenang-wenang. Ya,ya, saya cinta kebenaran dan keadilan. Saya menikmati masa muda saya meskipun tidak secerah ceria benderang gemerlap sekarang dalam arti fisik. Sadar bahwa hidup pada zaman yang berbeda, maka saya berani mengatakan bahwa saya tidak kehilangan masa muda saya. Dan saya bahagia karena itu. Saya tidak boleh cemburu pada Jojo! Ya, betul.

Tapi yang membuat saya terperangah adalah, siapa Jojo yang senyumnya selalu terbayang di kelopak mata saya, yang saya rasakan mencibir kepada saya? Nah, sekarang senyum itu sinis nadanya bagi saya. Kecemburuan apa yang tiba-tiba begitu liar menghentak kesadaran saya?

Jojo muncul dengan perkasa, berdiri tegar bagai gunung Semeru di hadapan saya lewat jendela rumah saya, dengan senyumnya yang khas. Jojo membuat saya tersipu-sipu, terhenyak di bangku sofa yang empuk setelah “Jendela Rumah Kita” usai ditayangkan TVRI. Di hati saya bergaung berulang-ulang, menjadi erangan, sebuah kalimat tanya,”Siapa kamu Jojo! Siapa kamu?”

Rasanya saya kenal betul kamu, Jo. Rasanya kita pernah bertemu entah di mana. Rasanya kita pernah akrab. Rasanya kita pernah, atau bahkan sering ngobrol bersama. Oh Jojo! Saya belum pikun untuk lupa begini berat. Jojo! Siapa kamu?

Ya,ya, saya bisa ingat sekarang. Kamulah itu anak muda di bus kota, yang bersedia berdiri untuk seorang wanita hamil atau seorang tua di dekatmu, padahal kamu sudah setengah mati berjejalan berebut bangku di Lapangan Banteng. Kamulah anak muda yang setengah mati mengeluarkan uang logam dari saku jeans belelmu, memberikannya pada seorang pengemis cacat, di jembatan penyeberangan Salemba, ketika matahari tepat di atas kepala. Kamulah itu anak muda yang bengong mendengarkan pembacaan sajak seorang penyair besar yang bicara tentang nasib orang muda, berdiri karena tidak kebagian bangku, pada suatu malam di Taman Ismail Marzuki. Kamulah itu anak muda yang berdiri di tiang listrik, pada suatu magrib menjelang Pemilu, mendengarkan orang-orang tua di Pos Hansip dengan gagah berdebat bicara soal politik. Ya, kamulah itu yang malam-malam bersandar di pinggir jembatan, memetik gitar, dengan lirih menyenandungkan lagu-lagu cinta.

Jojo, betulkah kamu itu?
Jojo! Kamu atau sayakah itu?

Jojo cuma tersenyum. Senyum itu menyiksa saya. Senyum itu membuat saya tidak bisa tidur. Senyum itu membuat saya tidak enak makan. Senyum itu membuat isteri saya memandang saya heran dan dengan hati-hati bertanya, “Ada apa sih, Mas? Kok kelihatannya pusing betul? Ada yang tidak beres di kantor tadi?”

Pada suatu pagi, ketika saya sedang berlari-lari kecil, seorang pemuda merendengi saya. Gembira dan tampak bersemangat menyongsong matahari terbit. Dia bercerita tentang anak-anak muda Karang Taruna unit RW ini. Bahwa mereka telah kerja bakti membersihkan saluran got yang selama ini tergenang dan jadi sarang nyamuk. Bahwa mereka telah bersama-sama membuat gapura di ujung jalan untuk menyambut HUT RI. Bahwa mereka telah merencanakan dan menjalankan beberapa kegiatan untuk membantu anak-anak muda penganguran. Bahwa mereka telah mengadakan bimbingan belajar untuk adik-adik mereka yang tidak mampu secara cuma-cuma. Bahwa mereka akan mengadakan lomba cepat tepat seperti di TVRI, juga lomba yang lain, panggung kesenian untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Dan banyak lagi.
Saya tercenung. Anak muda itu terus bicara dengan penuh semangat dengan senyumnya yang saya kenal betul. Siapa anak muda ini? Si Jojo? Si Mamat anak Bang  Jai?

Dia si Dulhak!

“Bagus!” kata saya sambil terus berlari kecil. Saya kira saya pun tersenyum. “Teruskan itu semua. Waktu saya seumur kamu, saya punya banyak gagasan besar. Tapi tetap tinggal gagasan. Saya suka kamu, anak-anak muda sekarang, karena kamu tidak seperti saya. Saya cemburu kepada kalian, sungguh. Karena saya dulu punya gagasan besar untuk kampung saya, untuk negeri ini, tapi meleleh menjadi ocehan kesombongan yang tak perlu. Tapi kalian, tidak menunggu gagasan besar. Gagasan kecil, langsung dilaksanakan. Saya tidak tahu, apakah dulu saya mabuk dengan gagasan atau saya memang tidak punya keinginan untuk melaksanakan gagasan meskipun yang kecil dan tampak sepele. Saya salut pada kau Jo, eh Dul!”

Wajah anak muda itu berseri. Dia menatap saya dengan senyumnya yang terasa menyejukkan. Saya kira dia pun memandang saya begitu berseri dengan senyum yang juga menyejukkan.

Sebuah pagi yang indah.

Ketika sampai di rumah, saya membuka jendela. Saya melihat anak-anak berseragam SD berangkat ke sekolah dengan senyum yang merekah lewat depan rumah saya. Anak-anak itu punya hari, sadar punya Senin, Selasa, Rabu dsb.
   
“Selamat pagi, Jojo-Jojo dan Joji-Joji!” sapa saya dalam hati.
Dan ketika saya sedang menghirup kopi hangat sambil membaca koran pagi, anak lelaki saya yang kelas 6 SD pamit untuk berangkat ke sekolah. Wajahnya sangat berseri dan senyumnya begitu saya kenal. Dia memakai seragam Pramuka. Gagah sekali.

“Selamat pagi, Jo!” kata saya.

Saya teramat bahagia. Saya juga punya Jojo. Setidaknya dari rumah ini akan tampil Jojo yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar