Minggu, 29 Maret 2015

Mengenang Pelukis Abstrak Sriwidodo



Saya mengenal muka pelukis Sriwidodo sejak tahun 1994. Sebelumnya saya hanya mendengar namanya sebagai seorang pelukis abstrak yang telah mengundurkan diri. Mas Wid, demikian saya memanggilnya setelah diperkenalkan oleh Steve Kamajaya, adalah seorang yang bersahaja. Kami cepat menjadi akrab. Kami suka ngobrol ngalor-ngidul di rumahnya yang asri di Condet. Ada saja ceritanya. Mas Wid punya banyak kenangan pada masa lalu tentang para seniman Indonesia. Temannya banyak, tidak hanya pelukis tetapi juga pengarang dan penyair, dramawan dan orang film. Maka tak heran kami betah 'menanggapnya' karena banyak cerita kejadian yang lucu-lucu. Saya katakan kami karena kalau saya datang ke rumahnya pasti bersama teman. Ada teman seniman, ada yang bukan seniman. Mas Wid dan isterinya Mbak Yani selalu ramah menerima kami. Rumah di Condet ini menjadi tempat nongkrong kami dengan betahnya. Ada masanya boleh dikatakan hampir setiap hari kami di sana. Betapa indahnya.

Bicara tentang Sriwidodo adalah sangat sulit jika bicara lukisan. Waktu pertama kali ke rumah Mas Wid saya dipesan wanti-wanti oleh Steve agar 'bijaksana' bicara seni rupa. Saya ingat betul kesan pertama, setelah disambut pohon sawo yang besar dan rimbun, kami duduk menggelar tikar di ruang tamu yang terang karena penuh jendela kaca. Dinding tembok putih tak ada hiasan apa-apa, hanya ada retakan panjang di satu sudutnya seperti lidah halilintar menghunjam tanah. Tak ada satu pun lukisan di dinding rumah. Tidak ada tanda bahwa ini rumah seorang pelukis. Bahkan kemudian saya tahu bahwa lukisan-lukisan karya Mas Wid dibungkusnya begitu rapi dengan kertas kopi. Dia telah membungkus seni rupanya sejak lama.

Ya, sejak tahun 1972 dia memastikan untuk menjadikan kegiatan kesenian sebagai mempribadi. Dia melukis tetapi hanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak peduli dengan komentar orang, apalagi kritik. Dia mengasah dirinya. Dia asyik dengan kesendiriannya di studionya yang rapi dan bersih. Dia mengerjakan lukisannya seperti berlama-lama. Perlu waktu beberapa bulan untuk satu kanvasnya. Bahkan ada yang setahun lebih masa penggarapannya. Dia kelihatan begitu enteng dalam proses kreatifnya. Tapi dia sangat serius, melukis adalah pilihan hidupnya. Dan lukisan abstrak adalah jalannya.

Walaupun Mas Wid tidak suka mendiskusikan atau membicarakan seni lukis, tetapi dia penuh perhatian kepada teman-teman yang melukis. Dia selalu mendorong saya untuk tetap melukis. Dia menasehati saya untuk memakai bahan-bahan yang bermutu, untuk melukis dengan serius, dan melukis untuk sehat. Demikian juga nasehatnya kepada teman-teman pelukis lain. Tetapi Mas Wid tidak suka mengajarkan orang, paling anti untuk dijadikan guru. Jika ada yang ingin menjadi pelukis, diingatkannya bahwa ini adalah hobi yang mahal. Menjadi pelukis harus benar-benar pilihan.

Mas Wid sangat menghargai karyanya. Lukisan-lukisannya disimpan dengan rapi. Tidak sembarang orang bisa melihat karyanya selain yang sedang dikerjakan. Di studio kecilnya yang selalu rapi hanya ada dua lukisan. Yang satu sedang digarap, sedang yang satu lagi menempel di dinding sedang dianginkan dikeringkan. Jika yang digarap selesai, maka yang di dinding diturunkan untuk disimpan. Tempatnya digantikan oleh lukisannya yang baru selesai. Pada saat inilah tampak puncak kebahagiaannya berkarya, jelas pada wajahnya  yang penuh senyum.

Pesannya tentang karya adalah, jangan berikan siapa pun lukisan secara gratis, meskipun dibuatnya dengan mudah. Ini menjadi pesan khusus kepada saya karena saya suka membagikan lukisan saya. Menurutnya, lukisan yang dibagikan gratis membuat orang tidak bisa menghargai, apalagi menyimpannya dengan baik. Orang yang menginginkan lukisan harus mau bayar, sedikitnya ganti materi plus imbalan untuk seninya. Pesan ini sangat serius menunjukkan bagaimana menjadi pelukis serius. Karya adalah pergulatan batin senimannya.

Dalam hidup kesehariannya Mas Wid sangat sederhana. Dia kebanyakan di rumah, sibuk sendiri dengan kebunnya, burung-burung dan ikan-ikan peliharaannya. Dia sering berseloroh bahwa pekerjaannya adalah tukang sapu, hobinya melukis. Maka itu jika kami datang, dia meninggalkan kuas dan kanvas yang sedang diolahnya, dan kami gelar tikar untuk ngobrol. Mas Wid punya banyak cerita karena pengetahuan dan pengalamannya luas, tentu saja tentang masa lampau, dunia seni, tempat dan makanan, berbagai aspek kehidupan. Tanpa kami sadari, kami belajar bahwa menjadi seniman adalah menjadi saksi zaman.

Pelukis Sriwidodo tetap melukis sampai akhir hayatnya. Dia tidak menyombongkan diri sebagai pelukis, tetapi kesetiaannya kepada seni lukis harus dipujikan. Karya-karyanya boleh dikatakan tidak banyak tetapi di situlah kehidupannya ditumpahkan. Dia tidak menjadi tokoh yang sangat menonjol dalam seni lukis Indonesia, tetapi dia salah seorang pelukis abstrak Indonesia yang mengagumkan. Salut dan hormat saya selalu kepada Mas Sriwidodo, teman baik yang bersamanya terlalu banyak kenangan. Semoga karya-karyanya abadi.

Palmeriam, 6 Mei 2013

(Saya tulis sebagai teman untuk buku tentang pelukis Sriwidodo)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar