Senin, 30 Maret 2015

Saya Ingin Seperti Emmy Go



Saya suka berkenangan. Saya suka masa kecil.
Nenek saya yang paling bawel (sekarang saya tahu dia paling cerdas di antara tiga nenek) selalu berpesan setelah mengomel, agar saya  bisa 'menjadi orang'. Maksudnya agar setelah dewasa saya menjadi orang sukses dan kaya raya. Inilah doa di ujung omelan untuk cucu yang sedang nakal. Saya seorang penurut, selalu mau kelihatan anak manis. Kakak saya yang anak sulung sangat keras kepala. Nasihat nenek untuk 'jadi orang' melekat padanya, mungkin karena dia lebih banyak kena omelan daripada saya. Di usia yang beranjak tua saya memilih hidup miskin dan menjadi pelukis abstrak.

Berkarya adalah kepuasan batin. Karya lukisan saya sangat banyak, bertumpuk-tumpuk, berlembar-lembar kertas dan kain kanvas, beberapa dus besar atau kecil, membuat saya sesak napas jika masuk gudang saya yang memang sebenarnya tidak cukup luas.

Kenangan saya kepada almarhum pelukis Sriwidodo berkepanjangan. Beliau pernah bilang, "Melukis itu gampang, Yus, menyimpannya yang susah." Tapi saya ingin mengalahkan Vincent van Gogh dan Picasso yang karyanya ribuan. Maka itu saya melukis cepat dan seperti kesetanan. Dari Mas Wid saya belajar melukis berlama-lama, melukis yang dinikmati, pergaulan dengan cahaya dan warna. Dan saya sampai pada kesimpulan: pelukis abstrak hanya butuh satu kanvas saja untuk dilukis dan dihapus dan dilukis lagi dan dihapus lagi dan dilukis lagi dan seterusnya. Betapa sangat bahagianya jika memang benar bisa seperti itu.

Banyak lukisan yang pergi, terjual atau dibawa teman tanpa kabar lagi. Waktu muda saya sangat sayang karya-karya saya sampai hampir-hampir tak ingin menjualnya (mungkin karena itu saya tidak pernah berpameran). Sekarang berbeda. Saya pikir, saya rasa, adalah lebih baik karya-karya saya berada di dinding rumah orang dan banyak yang bisa memandanginya. Saya percaya karya baik akan abadi dan mempunyai jodohnya sendiri sebagai pemiliknya. Bahkan meskipun tanda tangannya diganti (ini pernah terjadi) saya harus rela, karena sudah berada di luar wilayah penciptaan, bukan urusan saya lagi sebagai pembuatnya.

Sekarang saya melukis abstrak tanpa beban, tidak saja hanya dengan kegairahan kegilaan seni seperti waktu saya muda, tetapi dengan bahagia.

Saya mencatat Kompas Minggu 1 Februari 2015, setelah membaca rubrik "Soca" yang ditulis oleh Aryo Wisanggeni G, tulisan yang mengasyikkan tentang keindahan. Judulnya, "Rona Warna Emmy Go".
 Saya salin beberapa alinea.


Aliena pembukanya begini:
MENIKMATI hidup dan menikmati hidup. Begitulah Emmy Go menjaga dirinya tetap lentur dan lepas. Kelenturan dan kelonggaran Emmy membuatnya selalu menemukan keindahan dari apa pun yang dialaminya. Dari menikmati hidup, Emmy memaknai hidup.

”Mungkin mama saya khawatir anaknya jadi seniman. Padahal, tidak ada yang salah dengan seniman, menjalani hidup yang lebih merdeka dan bermakna. Akhirnya, saya memilih jurusan yang kuliahnya singkat, pilihannya ilmu manajemen. Rasanya, ingin cepat-cepat selesai dan bebas....”

Sejak 2010, Emmy sekeluarga pindah ke Jakarta, mengejar fasilitas pendidikan yang lebih baik bagi ketiga putranya. Ia juga membuka kelas melukis di sekolah anaknya, berbagi pengalaman melukis. Hal berbagi itulah, menurut Emmy, jadi esensi yang mengisi hari-harinya. Lewat lukisan ia ingin berbagi keceriaan, sembari perlahan mengajak anak-anak memaknai hidup. Lukisan-lukisan Emmy yang penuh lanskap alam, pohon-pohon dalam warna ceria, dengan mudah membangkitkan rasa indah di hati setiap penyimaknya. Keindahan itulah yang Emmy inginkan mengalir ke hati anak-anak didiknya.


Saya tutup catatan ini dengan mengambil alinea penutup tulisan tentang Emmy Go yang indah ini:

Ah, kelenturan Emmy membuatnya bisa menemukan hal indah dari apa saja. Dan kemudian keceriaannya selalu membuat keindahan itu merona-rona.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar