Jumat, 16 Oktober 2015

Cerpen "Si Pelacur", karya Roderick Wilkinson


Diterjemahkan oleh Manneke Budiman
Buku Cerita Pendek Volume 3, Penerbit Mitra Utama Jakarta, 1993.




 Bibirnya yang bagus dan berlipstick terbuka, matanya yang biru menatap -- semua keterkejutan ini cuma terjadi sedetik tatkala ia membuka pintu. Lalu semuanya hilang dan yang ada cuma Myra Langtry lagi, anggun, cantik, gundik laki-laki yang isterinya kini berdiri di ambang pintu.

Norma Cherril, sebagai pihak tamu, tersenyum. "Halo, nona Langtry. Boleh masuk? Aku adalah nyonya Cherril."

"Tentu." Dibawanya tamunya melewati lorong berdinding biru kerang menuju ke sebuah ruang duduk yang luas dan terbuka.

Nyonya Cherill adalah seorang wanita berusia lima puluh enam tahun. Ia langsing, tinggi semampai, dan busana berpotongan anggun berwarna beige yang dikenakannya diimbangi kemudaannya oleh topi putihnya. Ia kelihatan sangat tenang ketika memandang ke luar jendela yang selebar dinding, dan dari situ ia bisa melihat gedung pencakar langit di kota dan, di kejauhan, sungai yang berkelok-kelok. "Boleh duduk?"

Myra menatap, dengan ekspresi lucu di wajahnya, agak bingung menghadapi keberanian wanita ini, yang telah ia diskusikan, ia perdebatkan, ia bayangkan, ia kutuk dan ia kasihani selama setahun belakangan ini. "Mau kopi? Atau, apa maksud kunjungan ini?"

"Tidak, terima kasih." Norma membuka tas putihnya dan mengeluarkan sebungkus rokok. "Engkau tidak menyimpan suamiku di bawah tempat tidur atau di dalam lemari  atau apa saja, bukan, nona Langtry?"

"Aku tidak menyimpannya di bawah tempat tidurku, nyonya Cherril. Di manakah biasanya Anda menyimpan dia?"

"Di tempatmu, sebagai pembukaan, Myra."

"Seperti di sini?" Nona rumah kelihatan agak seperti seekor singa betina dalam celana pendeknya yang ketat. "Sekarang tolong katakan apa maksud kedatanganmu ke mari, Norma sayang. Aku sedang sibuk."

"Engkau pasti sibuk," Norma menyapukan pandangannya pada perabotan jati serta permadani putih yang mewah. "Engkau telah sibuk semenjak lama sebelum bertemu dengan suamiku. Di sebuah apartemen di Collingwood, bukan?" Ia mendesah. "Yah, itu memberimu pengalaman." Ia menyalakan rokoknya. "Aku kemari untuk mengatakan, Myra, bahwa Ralph ingin memutuskan hubungan gelapnya denganmu."

Myra menatap. Ia tertawa. "Ingin . . . ? Bagaimana engkau tahu?"

Norma memandang sekelilingnya. "Ada asbak? Aku tidak suka mengotori ruang pamer yang mewah ini."

Myra menyorongkan sebuah asbak dari batu kumala imitasi. "Bilang saja bila perlu tempat untuk meludah  juga."

"Seperti yang kukatakan, Myra, Ralph ingin menjauhimu. Ia belum mengetahuinya, tetapi ia akan tahu malam ini. Kurasa engkau cukup berhak untuk menjadi orang pertama yang tahu. Begini . . . " (ia menatap nona rumah yang sedang berdiri) " . . . aku telah mengambil keputusan untuk menceraikannya jika ia menghendaki."

"Engkau?"

"Ia mengira itu yang diinginkannya. Sayangku, engkau mungkin tahu sebagaimana halnya aku, bahwa Ralph sedang mengalami masa menopause laki-laki. Banyak pria mengalaminya -- ada yang menyebutnya 'gatal-gatal tujuh tahun'. Salah satu gejalanya adalah keinginan untuk punya hubungan gelap dengan -- katakanlah, orang seperti engkau. Lalu, setelah beberapa bulan tidur bersama, mereka berpikir untuk bergantipartner selamanya."

"Mengapa tidak langsung saja ke pokok persoalan?"

Norma mendesah. "Baiklah. Ralph minta cerai."

"Yang telah kau tolak selama berbulan-bulan."

"Benar. Kini aku berubah pikiran. Ia boleh bercerai setiap saat, dan aku bermaksud memberitahukan padanya malam ini."

Myra menuju ke bar. "Kukira aku perlu minum. Engkau membingungkanku. Mau?"

"Tidak, terima kasih. Seperti kubilang tadi, aku akan mengabulkan keinginannya. Tapi aku tak yakin dia akan mau."

"Oh? Mengapa?"

"Karena ia akan menjadi bangkrut."

Myra berhenti menuang gin. "Bangkrut?"

"Ya. Lihatlah. Ralph itu tidak memiliki apa-apa. Apakah ia tidak mengatakannya padamu?"

"Tidak punya apa-apa?" ia tertawa. "Ia adalah wakil direktur . . . "

"Cherril Corporatian adalah milik keluarga. Ralph nyaris tidak punya andil sama sekali. Ia memiliki kedudukan tinggi, tentu, tetapi itu terjadi karena akulah yang memungkinkannya untuk memperoleh kedudukan itu. Tidak kupungkiri bahwa ia seorang pengusaha yang baik. Ia berjuang mulai dari bawah sekali, anak malang, namun telah kuduga bahwa ia tidak memberitahu engkau bahwa ia tidak punya apa-apa. Ia menikahiku semata-mata demi uang . . . "

"Apa lagi!"

"Sedangkan ia tidur denganmu semata-mata karena engkau adalah seorang pelacur. Dan kurasa ia tahu bahwa ia tidak bisa memiliki kedua-duanya. Rumah kami adalah atas namaku, semua harta benda kami atas namaku, aku yang membayar rekening-rekening, termasuk, cukup aneh memang . . . " (ia memandang pada perabot-perabot dari Denmark) " . . . rumah bordil ini."

Myra mengguncang martininya. "Apa yang ingin kau katakan padaku?"

"Cuma ini. Aku akan menceraikannya jika engkau mau menerima dia hanya dengan pakaian yang melekat di badannya. Karena cuma itulah yang ia miliki."

"Setelah engkau selesai menggarapnya?"

"Tepat."

Myra menghempaskan diri di atas salah satu kursi berukir dan menghirup minumannya. "Engkau benar-benar pelacur."

"Ya, sudah kusangka engkau akan beranggapan begitu. Tapi tidak apa-apa. Untunglah, aku tak ambil pusing dengan apapun pendapatmu tentang diriku. Atau pendapat Ralph. Aku sudah tahu mengenai dirimu selama setahun atau lebih. Dan tentu saja, aku sudah mengenal Ralph selama kehidupan perkawinanku." Norma bangkit dari duduknya. "Kurasa engkau perlu mengetahui situasinya. Ia milikmu. Ia lima puluh satu tahun, dan ia kaya -- saat ini. Ia minta cerai dan kutolak. Aku ingin tahu apakah engkau punya nyali untuk jadi gundiknya seumur hidupmu. Dan ternyata tidak. Yang kau cari adalah keamanan, Myra -- di atas sebuah piring. Engkau mau merampoknya dari orang lain. Boleh -- namun aku ingin engkau sadar bahwa engkau sedang merampok. Ia adalah suamiku. Dan jika engkau merenggutnya, maka engkau merenggutnya tanpa uang satu dolar pun -- kalau bisa kuusahakan -- tanpa pekerjaan sekaligus." Ia tersenyum kepada nyonya rumah yang sedang duduk. "Kebetulan juga, ia kena encok waktu musim dingin."

Myra bangkit dari kursinya. "Kalau saja kita laki-laki, sudah kupatahkan batang lehermu."

"Aku percaya engkau akan melakukannya. Tetapi engkau jauh lebih mahir dalam menghancurkan rumah tangga orang."

Myra melintas menuju ke bar, menaruh gelas dan berbalik. "Tentunya engkau tak akan berpura-pura bahwa engkau pernah mencintainya."

"Tidak perlu. Aku tidak perlu berpura-pura, atau minta maaf, atau menjelaskan, atau memprotes tentang sesuatu padamu. Sama sekali bukan urusanmu. Yang perlu kau cemaskan adalah bahwa engkau boleh memilikinya tanpa apa-apa. Seperti ketika aku menikahinya. Ralph Cherril -- tanpa apa-apa." Norma berjalan ke pintu. "Bicarakan dengannya, Myra. Aku ingin sekali hadir dan mendengarkan bicara." Ia membuka pintu depan. "Jangan repot-repot, aku bisa keluar sendiri -- dan engkau bisa mulai melemparkan barang-barang." Lalu keluar.

Myra terpekur, satu tangan bertumpu pada meja bar, wajahnya yang oval pucat pasi. Di belakangnya, pelan-pelan pintu terbuka dan Ralph Cherril berdiri di situ dengan tangan bertopang pada kisi-kisi pintu. Suaranya rendah, nadanya serak. "Kau dengar apa kata wanita itu. 'Bicarakan dengannya, Myra'."

Ia tidak melihat pada Ralph, melainkan memandang keluar jendela dan pada gedung pencakar langit di kota itu. "Ia benar-benar pelacur."

Cherril adalah seorang lelaki jangkung dan tegap dengan bahu bidang  dan lengan yang kekar. Rambutnya yang kelabu mengkilap tersisir rapih dan mengalihkan perhatian orang dari lehernya yang tebal. Ia kelihatan ganteng dari segi tubuhnya yang besar dan kuat. Ujarnya, "Sebaiknya kau katakan saja padaku bahwa engkau mempercayainya."

Myra tetap menatap keluar jendela dan suaranya terdengar jauh. "Aku tidak harus mempercayai apa-apa, Ralph."

Ralph tiba di belakangnya dan meletakkan tangannya di pinggang Myra. Suaranya melunak. "Apakah engkau bermaksud mengatakan bahwa engkau tak peduli pada apapun yang dikatakannya?"

"Kataku aku tidak harus mempercayai apa-apa. Ia adalah isterimu. Aku adalah aku. Engkau adalah engkau." Myra tertawa kecil dan berpaling menghadapinya. "Persetan, Ralph! Isterimu masuk dari jalanan, mengataiku dengan segudang kata-kata kotor, memberitahu aku bahwa aku boleh memilikimu kalau mau, lalu mengatakan bahwa engkau akan bangkrut tanpa uang sesen pun." Ia tertawa lebih keras. "Belum pernah ketemu dengannya seumur hidupku! Seorang asing. Dan ia memberitahu aku bahwa engkau tak akan mendapat uang saku lagi jika menikahiku. Engkau akan menjadi seorang anak kecil yang miskin."

Cherril nampak sedikit kesal dan pergi ke bar. "Barangkali kedatangan Norma telah membuatmu berpikir dua kali tentang hubungan kita." Ia berhenti, dengan botol whiski di tangannya, dan memandang Myra. "Iya, kan?"

"Persetan! Wanita itu . . . "

"Myra, dengar . . . "

"Tidak, engkau yang dengar, Ralph. Wanita itu, yang tadi berada di sini, mengatakan bahwa ia adalah bankirmu dan engkau bekerja padanya, dan jika kita menikah maka yang akan kau bawa ke pesta pernikahan cuma korek apimu, yang jangan-jangan juga atas namanya. Aku selalu berkata bahwa aku tak peduli apa yang akan dibawa oleh seorang laki-laki jika ia menikahiku, asal aku mencintainya. Ia boleh membawa akordionnya, atau saudaranya yang bertangan satu, atau usus besarnya, atau gigi palsunya. Apa saja. Itulah selama ini yang kupikirkan." Ia mulai berjalan mondar-manidr dengan gusar. "Yah, aku baru saja mempelajari sesuatu hari ini, bahwa engkau atau laki-laki manapun tak akan membawa ke pesta kawinku -- seorang istri!"

"Myra, jangan bicara seperti itu!"

"Jangan bicara apa? Tentang orang yang akan kau kawini?"

"Engkau mempercayainya?"

"Tentu saja aku percaya padanya. Aku mempercayai setiap patah kata yang diucapkannya. Ia akan memetiki semua daunmu sebelum menceraikanmu."

Ralph menuang whiski lalu menghentakkan botol di meja bar. "Ia berdusta!"

"Aku tak peduli apakah ia dusta atau tidak. Tak ada wanita yang memberiku seorang suami. Engkau tidak diceraikan. Engkau dijual olehnya! Dengan cuma-cuma."

"Jangan ngawur. Norma berbohong."

"Oh ya?"

"Baik." Cherril mengangkat gelasnya pelan-pelan lalu menghampiri jendela, suaranya semakin pelan. "Anggap saja ia tidak berbohong. Anggap saja aku akan bangkrut -- tanpa pekerjaan, tanpa uang, tanpa apa-apa. Maukah engkau menikah denganku? Engkau selalu berkata selama berbulan-bulan bahwa itulah yang kau kehendaki -- perkawinan." Suaranya berubah menjadi sangat beringas. "Perkawinankah itu bagimu? Besar. Kaya. Wakil direktur. Atau cuma Ralph Cherril. Miskin. Tak punya apa-apa. Mengapa tidak kau katakan padaku sekarang, Myra. Itu yang selalu kau katakan, bukan? Engkau mau menikah denganku sekalipun aku cuma seorang tukang pasang pelapis tembok."

Myra memandangnya datar. Lalu ia menghampiri telpon di atas rak, mengangkatnya, dan meletakkannya di meja kecil di depan Ralph. "Telpon dia."

"Siapa?"

"Norma."

"Dia belum sampai di rumah."

"Tinggalkan pesan agar dia menelpon kemari."

"Lalu apa?"

"Katakan padanya bahwa engkau ada di sini. lalu mintalah cerai."

Ia menatap. "Lewat telpon?"

"ya. Di sini."

"Myra, dengar . . . "

"Telpon dia sekarang!" Mata Myra bersinar-sinar.

"Itu bukan suatu keputusan yang . . . "

"Kuberi kesempatan terakhir, Ralph. Telpon Norma. Katakan padanya untuk mengurus perceraian itu."

Ralph memandangnya, memandang gelas whiskinya, meneguknya, lalu menghentakkan gelas itu di meja sebelum tersuruk, penuh kegusaran, ke kamar tidur. "Engkau percaya padanya, bukan?"

Myra memandang keluar jendela. Suaranya suram. "Selamat tinggal, Ralph."

Ia mengencangkan dasinya. "Engkau tidak sanggup menikah denganku tanpa apa-apa."

"Selamat tinggal, Ralph."

Ia menuju ke pintu dengan marah dan keluar.

Cherril melangkah dari elevator menuju teras dan keluar melalui pintu berganda di gedung apartemen itu. Ia berjalan menuruni tangga dan matanya menangkap kemilau mobil Rolls hitam dengan supir yang baru saja membukakan pintu belakang. Ia menatap, menggigit bibirnya dan ragu-ragu. Lalu ia masuk ke dalam mobil. Supir menutup pintu dengan perlahan.

Norma duduk di bangku belakang. Ia membuka kotak rokoknya. "Mengapa begitu lama?"

"Ralph memandangnya kesal. "Engkau . . . pelacur!"

Norma menyalakan rokoknya, sementara Rolls mulai bergerak. Ia menghisap dan menghembuskan asapnya pelan-pelan. "Untuk kedua kalinya aku dikatai begitu hari ini. Aku mulai berpikir barangkali itu benar." ***




Roderick Wilkinson

Penulis, penyiar radio, dosen; cerpen-cerpennya, buku-bukunya, artikel-artikelnya dan drama-dramanya sudah diterbitkan dan dipancarkan ke banyak negara. Cerpen-cerpennya sering muncul di majalah -majalah di Inggris, USA, Belanda, Belgia, Perancis, Jerman dan negara-negara lainnya.

https://www.facebook.com/notes/opayus-unchained-pearsaga/cerpen-si-pelacur-karya-roderick-wilkinson/10150298429554669?__mref=message

Jumat, 09 Oktober 2015

For Those About To Rock



Beberapa tahun lalu saya menemukan buku obralan di supermarket. Setelah membaca isinya saya sangat kecewa karena buku ini diobral murah. Hari kemudian ketika kembali lagi ke supermarket itu saya mengambil sisa buku yang ada sebanyak lima eksemplar. Saya bagikan buku ini kepada beberapa teman baik yang seniman (pekerja kreatif). Buku ini berjudul "For Those About To Rock" dengan sub judul "Peta Penting Buat Band yang Pengen Sukses". Ditulis oleh musisi yang bernama Dave Bedini.

Buku ini bagus. Dari judulnya saja sudah bisa dibayangkan bahwa ini adalah catatan perjalanan karier seorang musisi yang memperkenalkan dunianya. Gaya penulisannya enak, santai tapi juga sering serius. Dunia penciptaan seni sangat menarik untuk disimak.

Saya mencatat dari bab pendahuluan yang berjudul "Hidup Rock", saya ambil dua alinea penutup bab.


"Aku sudah berusaha menyusun bab-bab dalam buku ini agar menyentuh prinsip-prinsip dasar seorang musisi, tapi kemudian, aku merasa tidak begitu yakin mengenai prinsip-prinsip itu. Musisi adalah seseorang yang bermain di basement dan gelanggang hoki es, di acara pernikahan atau pesta lainnya. Setiap pemain, dari Bono sampai pamanmu, saat  pertama kali mendekati instrumen musik pilihannya, seperti melihat ular berbisa yang berbahaya. Bruce Springsteen, atau John Lennon, atau Bob Dylan, atau Dylan Hudecki (aku menyebutkan nama temanku Dylan di sini untuk menegaskan maksudku) mungkin seolah-olah melenggang ke panggung dunia lalu sukses, tapi mereka sebenarnya juga mengalami segala hal yang kau alami (atau yang akan kau alami) sebagai musisi; ragu-ragu, takut, tidak pasti, cemas, tertekan oleh orang tua dan ejekan teman dan perasaan telah menuruti kata hati. Seperti kalian, mereka juga terobsesi untuk bernyanyi dan bermain musik serta menulis lagu agar pikiran dan emosi mereka bisa dipahami.

Rik Emmett, dari band hard-rock Triumph (Rik menghilangkan huruf "c" pada namanya gara-gara salah cetak pada album mereka), pernah memberitahuku, "Ada dua tipe musisi: mereka yang ingin bermain, dan mereka yang harus bermain." Dengan kucuran keringat dan darah serta pergelangan tangan yang linu selama menulis buku ini--sebenarnya, aku minum kopi sambil mengunyah camilan ketika menuangkan ide-ide ini--kau harus bisa memutuskan kau tipe musisi apa, dan ingin menjadi musisi seperti apa. Tapi kalau kau tidak atau tidak bisa menentukan, jangan khawatir. Rock and roll itu sangat serius dan penting, tapi juga konyol, konyol yang menyenangkan. Kalau kau merasa janggal di antara dua tempat itu, tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja.

Sekarang, ayo kita nge-jam!

(hal. 7-8)

Selasa, 06 Oktober 2015

Ayah Impian



Saya terkenang seorang perempuan cantik teman di dunia maya. Pertemanan kami berlanjut di Facebook. Kami berteman baik, baginya saya adalah pengganti ayahnya. Usianya beda 26 tahun dengan saya. Saya menyadari pertemanan dengan alasan ini akan rumit. Saya tidak bisa menggantikan ayahnya, tapi baginya saya adalah ayah impian. Akhirnya saya bilang, bahwa saya tidak bisa menggantikan ayahnya tetapi saya bisa menggantikan kekasihnya yang sudah berlalu. Dia menjawab, "Saya sayang bapak."

Selanjutnya saya terpaksa menghancurkan hatinya.
Karena orang berteman harus punya alasan yang jelas, misalnya karena pekerjaan atau hobi, bukan karena harapan yang tidak jelas.

Saya tahu sekarang dia sudah memiliki seorang kekasih yang sangat sayang kepadanya hingga dia lupa tentang ayah impian.

Saya sayang kamu, nak.


***
 

SARAH MICHELLE GELLAR
Ayah Impian
HARIAN KOMPAS, JUMAT, 15 AGUSTUS 2014

KEMATIAN aktor Robin Williams pada Senin lalu membuat artis Hollywood Sarah Michelle Gellar (37) bersedih. Gellar menjadi anak Williams di film seri The Crazy Ones yang menceritakan suka duka bekerja di biro iklan. Bagi Gellar, Williams adalah sosok ayah impian.

”Hidup saya menjadi lebih baik karena mengenal Robin Williams. Bagi anak-anak saya, dia adalah Paman Robin. Bagi semua yang pernah bekerja dengannya, dia bos terbaik yang pernah ada. Bagi saya pribadi, dia bukan hanya sumber inspirasi, melainkan juga ayah yang saya inginkan,” kata Gellar, seperti dikutip People.com, Selasa (12/8) lalu.

Gellar yang tenar lewat serial Buffy The Vampire Slayer juga mengunggah fotonya bersama Williams ke akun Twitter-nya. ”Saya berterima kasih kepada kalian semua yang memberi salam perpisahan dan penghormatan terakhir. Semua curahan cinta itu sangat spektakuler dan berharga,” tulis Gellar.

Ketika Gellar berusia tujuh tahun, orangtuanya bercerai dan Gellar hidup bersama sang ibu. Dalam suatu wawancara pada awal tahun 2000, Gellar mengatakan bahwa sosok ayah tidak pernah hadir dalam hidupnya. Seorang ayah seharusnya bukan hanya pria dalam foto. Sosok ayah tak pernah nyata dalam hidupnya.

”Tiada kata dan ungkapan yang cukup menggambarkan betapa menyenangkan mengenal Williams. Saya pasti merindukannya. Kenangan akan dia terus hidup dalam benak saya,” ujar Gellar. (WENN/TIA)

Minggu, 04 Oktober 2015

(Cerita pendek) Di antara Mereka yang Berlebih Sayang dan Iba




Saya telah melewati masa sulit, masa yang paling kritis yang pernah saya alami dalam hidup saya. Seminggu sudah lewat hari-hari penuh padat melelahkan badan dan jiwa. Sekarang saya menulis catatan ini dalam keadaan hampir waras, atau sehat sama sekali.

Saya sedang rindu dan saya menunggu kabar darimu.

Saya merasa mungkin keadaan saya jauh lebih baik daripada keadaanmu sekarang. Kamu mungkin sedang susah-susahnya, berpikir dan bertanya-tanya, dan menghadapi banyak orang yang sekarang sangat berbeda. Mereka berlomba-lomba menunjukkan sayangnya kepadamu. Dan kamu tidak bisa menyangkal bahwa mereka menyayangimu. Dan mereka tak henti-hentinya memberikan pengertian bahwa mereka benar, bahwa kau yang masih sangat muda, yang baru mengenal cinta dan dunia, telah melakukan kesalahan besar menurut mereka.

Mereka memang tidak akan menghukum kamu, demikian kata mereka. Mereka hanya ingin menyadarkanmu bahwa apa pun alasanmu tentang kita adalah tidak masuk akal. Bahkan menurut mereka kamu telah melakukan suatu dosa yang besar. Maka kamu harus banyak berdoa memohon ampun kepada Tuhan, supaya mereka semua bisa mengasihani kamu dengan iba. (Siapa yang memberikan hak ini kepada manusia?)

Kamu adalah anak gadis yang malang, korban seorang lelaki dewasa yang jahat. Demikian kesimpulannya.

Dan cinta milik kita mungkin sekarang sedang merengket ketakutan di pojok ruangan, menunggu saat untuk kabur lewat jendela terbuka. Dan mereka tidak pernah memperdulikannya sejak pertama kali mereka menemui kamu dalam keadaan bahagia tapi takut ini.

Sayangku, menangislah terus, air matamu tak akan kering.

Saya pun masih menangis sekarang, air mata kita mengalir dari telaga kebenaran.

"Siapakah mereka ini?" mungkin begitu tanyamu.

Menurutmu mereka adalah orang-orang yang kamu kenal, kerabat penuh ceria hari kemarin. Tapi hari ini menjadi orang-orang asing. Dan kelak ..., kamu tak berani membayangkannya.

Dan kamu gemetar.

"Apakah sesungguhnya salahku?" tanyamu lagi tersendat.

Dan mereka bergantian berebutan menyatakan kebijaksanaan.

"Kamu mencintai seorang pria yang telah berkeluarga. Dan itu bukan lagi salah tetapi dosa!"
"Dengan itu kamu telah merusak martabatmu dan martabat keluarga!"
"Kamu telah menjadi sangat bodoh dan memalukan!"
"Kamu telah memakan buah terlarang!"
"Kamu berteman dengan setan!"

Kamu semakin gemetar. Air matamu beku karena tangan-tangan terulur ingin menjamahmu, mencabik-cabik dirimu.

Matamu nyalang membara. Tubuhmu panas api. Mereka segera undur dan merapatkan barisan seperti polisi anti huru-hara.

Mereka telah menjadi musuh-musuhmu.

Saya telah mengalaminya, sayangku. Sekarang kamu betul-betul sendiri. Sekarang kamu rasakan hidup yang sangat pribadi. Sekarang kamu seperti maling ayam yang tertangkap basah dan akan digebukin orang sekampung. Tak ada yang bisa kamu harapkan menolong kamu.

Apa jawabmu?

Kamu harus menjawab begini,
"Ya, kalian semua benar. Kami bersalah. Lelaki tua bangka konyol yang tak tahu diri itu telah membuat kalian marah. Kebenaran dan kemarahan kalian beranak kebencian. Kami bersalah. Tapi apakah kami harus dihukum oleh kalian? Bagaimana kami harus dihukum sebab kami tidak merasa salah? Kami benar dan kalian benar. Di sini perbedaannya. Kita berbeda."

"Kami tidak akan menghukum kamu, kami semua sayang kepada kamu."

"Tetapi kenapa kalian memandangku demikian keji?"

"Karena kamu tersesat!"

Kamu melongo. Kamu mengkerut. Kamu sangat gemetar. Kamu sangat takut. Air matamu bercucuran menjadi banjir. Kamu betul-betul sendirian, menjadi pesakitan, dan akan dirajam dengan batu sayang orang-orang yang begitu berkepentingan mengurus kamu.

Sayangku, aku telah mengalaminya. Janganlah takut. Aku berteriak keras-keras agar seluruh dunia mendengar, tak kecuali mereka yang telah jadi buta tuli di hadapanmu itu.

"Hai. Siapakah kalian? Siapakah kalian yang berhak atas gadis yang tak berdaya ini? Siapakah kalian yang telah begitu berkelimpahan sayang hingga ingin menimpuki sayang kepada gadis yang telah menderita ini? Kalian telah terbenam dalam sayang kalian hingga kalian tidak kuasa lagi melihat dan mendengar ratapan orang malang ini? Kalian akan bunuhkah orang yang sedang keracunan buah terlarang ini?"

Nah, lihat, mereka sekarang ganti tertegun.

"Gadis ini sakit. Gadis ini sedang dalam menderita. Lihatkah kamu luka-luka di sekujur jiwanya? Luka-luka sayang kalian yang berkelimpahan yang akan disembuhkannya dengan memakan buah terlarang itu?"

"Bagaimana dia bisa sembuh dengan begitu?" protes seseorang.
"Karena dia mempercayainya begitu."
"Bagaimana dia bisa percaya begitu?"
"Karena dia berbeda dengan kalian."
"Bagaimana kami berbeda?"
"Karena baginya bukan buah terlarang."
"Jadi, apa?"
"Itu adalah separuh hatiku yang sedang mencari paruh lainnya. Dan dia tahu benar bahwa separuh yang lain itu adalah separuh hatinya yang juga sedang mencari paruhannya."

Mereka betul-betul melongo.

"Kami telah menyatukannya. Kami jahit dengan benang-benang peduli dan kami sedang menderita sakitnya untuk menjadi satu, kuat dan sehat. Dan kalian tidak tahu, mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya persatuan ini tapi akan sehat sekali setelahnya, karena hati kalian tetap kalian biarkan sebelah."

Mereka sibuk memeriksa hati.

Seseorang menunjukkan hatinya yang besar sekali, seperti karung beras layaknya. Di dalamnya banyak sekali persediaan sayang. Wajahnya begitu bangga.

"Kamu tidak akan menemukan pasangannya karena hati yang serakah dengan sayang itu langka pasangannya," kataku.

Orang itu menangis meraung-raung dan pergi.

Orang-orang sibuk memeriksa hatinya dan menangis dan pergi satu-satu.

Sayangku, kekasihku, menangislah, karena air matamu tak akan pernah kering. Tak apa. Air matamu dari telaga kebenaran. Dan percayalah kamu tak bersalah, dan tak ada yang berhak untuk menyatakan itu, karena kamu, karena kita telah berbeda dari mereka.

(Palmeriam, 4 Juli 1998)

Keterangan: cerpen ini belum pernah diterbitkan.
Ilustrasi dari Facebook, karya seorang teman.