Jumat, 11 Desember 2015

Lebih Baik Mencinta dan Menghilang



Salah satu tahun yang berat dalam hidup saya adalah 2008. Itulah tahun di mana saya mengalami kegelapan. Saya merasa telah berada di neraka, hati saya sangat menderita. Sampai saya menemukan sebuah buku yang sangat membantu saya untuk bisa bahagia meskipun banyak penderitaan. Judulnya "Arise From Darkness--Bangkit Dari Kegelapan". Ditulis oleh seorang imam Katolik, Rm. Benedict J. Groeschel, CFR. yang adalah Direktur Kantor pengembangan Spiritual di Keuskupan Agung New York. Dia telah menulis banyak buku  tentang kehidupan rohani dan konseling pastoral. Dia adalah anggota Fransiskan Pembaruan yang mewartakan pembaruan injili dan berkarya di tengah kaum tuna wisma di South Bronx.

Buku ini dipersembahkan secara khusus kepada seseorang, tulisnya, "Untuk Bunda yang Berdukacita dan anaknya yang telah banyak mengajarkan saya."



Buku ini mengajarkan saya tentang cinta yang nyata, tentang hidup yang sebenarnya. Saya salin judul-judul bab buku ini.

-Bangkit dari Kegelapan
-Saat teman Jatuh
-Ketika Keamanan Kita Terancam
-Saat Gereja Membiarkan Kita jatuh
-Ketika Diri Kita sendiri yang Menjadi Musuh Terbesar
-Ketika Kematian Menggerogoti Tubuh Manusia
-Apa yang Harus Kita Lakukan Ketika Segala Sesuatu Berantakan
-Epilog: Obat yang Selalu Mujarab
-Doa-doa dan Buah Pikiran Bijak di Masa Suram
-Bacaan yang Dianjurkan


Dan saya salin dari halaman belakang buku ini:

Sebagai pengarang terkenal, psikolog, dan imam, Rm Benedict J. Groeschel melukiskan pengalaman pribadinya yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tragedi, dan 'kegelapan'. Dia membantu dan membimbing setiap orang Kristen yang mengalami kesulitan hidup. Jika Anda berjuang melawan ketakutan, kecemasan, duka cita, putus cinta, terluka, marah atau apa saja yang membuat hidup terasa sulit dan gelap, maka buku ini sesungguhnya telah ditulis untuk Anda. Rm. Benedict memberikan saran tentang bagaimana menjaga dan menumbuhkan rahmat dengan pertolongan Allah, bahkan ketika pertolongan itu tampaknya jauh.



Saya kutip sebuah alinea dari bab "Saat Teman Jatuh".


Lebih Baik Mencinta dan Menghilang

Berjaga-jagalah -- bila Anda sudah mulai mencinta , maka di saat yang sama Anda bersiap-siap untuk disakiti, menderita, kecewa dan segala macam peristiwa lainnya. Tetapi lebih baik bagi kita untuk mencintai orang lain lalu rela mengalami kehilangan atau bahkan dihilangkan daripada sama sekali tidak mencinta. Sebab dalam tataran itu, sejatinya hidup manusia sedang bergerak menuju suatu pengalaman kasih yang abadi. Manakala hidup itu tidak berjalan sebagaimana mestinya (normal), maka sebagai orang beriman sangat perlu untuk selalu ingat akan tujuan hidup kita, yakni hidup yang sedang menuju kepada pengalaman kasih yang lebih nyata dan abadi.

Jumat, 16 Oktober 2015

Cerpen "Si Pelacur", karya Roderick Wilkinson


Diterjemahkan oleh Manneke Budiman
Buku Cerita Pendek Volume 3, Penerbit Mitra Utama Jakarta, 1993.




 Bibirnya yang bagus dan berlipstick terbuka, matanya yang biru menatap -- semua keterkejutan ini cuma terjadi sedetik tatkala ia membuka pintu. Lalu semuanya hilang dan yang ada cuma Myra Langtry lagi, anggun, cantik, gundik laki-laki yang isterinya kini berdiri di ambang pintu.

Norma Cherril, sebagai pihak tamu, tersenyum. "Halo, nona Langtry. Boleh masuk? Aku adalah nyonya Cherril."

"Tentu." Dibawanya tamunya melewati lorong berdinding biru kerang menuju ke sebuah ruang duduk yang luas dan terbuka.

Nyonya Cherill adalah seorang wanita berusia lima puluh enam tahun. Ia langsing, tinggi semampai, dan busana berpotongan anggun berwarna beige yang dikenakannya diimbangi kemudaannya oleh topi putihnya. Ia kelihatan sangat tenang ketika memandang ke luar jendela yang selebar dinding, dan dari situ ia bisa melihat gedung pencakar langit di kota dan, di kejauhan, sungai yang berkelok-kelok. "Boleh duduk?"

Myra menatap, dengan ekspresi lucu di wajahnya, agak bingung menghadapi keberanian wanita ini, yang telah ia diskusikan, ia perdebatkan, ia bayangkan, ia kutuk dan ia kasihani selama setahun belakangan ini. "Mau kopi? Atau, apa maksud kunjungan ini?"

"Tidak, terima kasih." Norma membuka tas putihnya dan mengeluarkan sebungkus rokok. "Engkau tidak menyimpan suamiku di bawah tempat tidur atau di dalam lemari  atau apa saja, bukan, nona Langtry?"

"Aku tidak menyimpannya di bawah tempat tidurku, nyonya Cherril. Di manakah biasanya Anda menyimpan dia?"

"Di tempatmu, sebagai pembukaan, Myra."

"Seperti di sini?" Nona rumah kelihatan agak seperti seekor singa betina dalam celana pendeknya yang ketat. "Sekarang tolong katakan apa maksud kedatanganmu ke mari, Norma sayang. Aku sedang sibuk."

"Engkau pasti sibuk," Norma menyapukan pandangannya pada perabotan jati serta permadani putih yang mewah. "Engkau telah sibuk semenjak lama sebelum bertemu dengan suamiku. Di sebuah apartemen di Collingwood, bukan?" Ia mendesah. "Yah, itu memberimu pengalaman." Ia menyalakan rokoknya. "Aku kemari untuk mengatakan, Myra, bahwa Ralph ingin memutuskan hubungan gelapnya denganmu."

Myra menatap. Ia tertawa. "Ingin . . . ? Bagaimana engkau tahu?"

Norma memandang sekelilingnya. "Ada asbak? Aku tidak suka mengotori ruang pamer yang mewah ini."

Myra menyorongkan sebuah asbak dari batu kumala imitasi. "Bilang saja bila perlu tempat untuk meludah  juga."

"Seperti yang kukatakan, Myra, Ralph ingin menjauhimu. Ia belum mengetahuinya, tetapi ia akan tahu malam ini. Kurasa engkau cukup berhak untuk menjadi orang pertama yang tahu. Begini . . . " (ia menatap nona rumah yang sedang berdiri) " . . . aku telah mengambil keputusan untuk menceraikannya jika ia menghendaki."

"Engkau?"

"Ia mengira itu yang diinginkannya. Sayangku, engkau mungkin tahu sebagaimana halnya aku, bahwa Ralph sedang mengalami masa menopause laki-laki. Banyak pria mengalaminya -- ada yang menyebutnya 'gatal-gatal tujuh tahun'. Salah satu gejalanya adalah keinginan untuk punya hubungan gelap dengan -- katakanlah, orang seperti engkau. Lalu, setelah beberapa bulan tidur bersama, mereka berpikir untuk bergantipartner selamanya."

"Mengapa tidak langsung saja ke pokok persoalan?"

Norma mendesah. "Baiklah. Ralph minta cerai."

"Yang telah kau tolak selama berbulan-bulan."

"Benar. Kini aku berubah pikiran. Ia boleh bercerai setiap saat, dan aku bermaksud memberitahukan padanya malam ini."

Myra menuju ke bar. "Kukira aku perlu minum. Engkau membingungkanku. Mau?"

"Tidak, terima kasih. Seperti kubilang tadi, aku akan mengabulkan keinginannya. Tapi aku tak yakin dia akan mau."

"Oh? Mengapa?"

"Karena ia akan menjadi bangkrut."

Myra berhenti menuang gin. "Bangkrut?"

"Ya. Lihatlah. Ralph itu tidak memiliki apa-apa. Apakah ia tidak mengatakannya padamu?"

"Tidak punya apa-apa?" ia tertawa. "Ia adalah wakil direktur . . . "

"Cherril Corporatian adalah milik keluarga. Ralph nyaris tidak punya andil sama sekali. Ia memiliki kedudukan tinggi, tentu, tetapi itu terjadi karena akulah yang memungkinkannya untuk memperoleh kedudukan itu. Tidak kupungkiri bahwa ia seorang pengusaha yang baik. Ia berjuang mulai dari bawah sekali, anak malang, namun telah kuduga bahwa ia tidak memberitahu engkau bahwa ia tidak punya apa-apa. Ia menikahiku semata-mata demi uang . . . "

"Apa lagi!"

"Sedangkan ia tidur denganmu semata-mata karena engkau adalah seorang pelacur. Dan kurasa ia tahu bahwa ia tidak bisa memiliki kedua-duanya. Rumah kami adalah atas namaku, semua harta benda kami atas namaku, aku yang membayar rekening-rekening, termasuk, cukup aneh memang . . . " (ia memandang pada perabot-perabot dari Denmark) " . . . rumah bordil ini."

Myra mengguncang martininya. "Apa yang ingin kau katakan padaku?"

"Cuma ini. Aku akan menceraikannya jika engkau mau menerima dia hanya dengan pakaian yang melekat di badannya. Karena cuma itulah yang ia miliki."

"Setelah engkau selesai menggarapnya?"

"Tepat."

Myra menghempaskan diri di atas salah satu kursi berukir dan menghirup minumannya. "Engkau benar-benar pelacur."

"Ya, sudah kusangka engkau akan beranggapan begitu. Tapi tidak apa-apa. Untunglah, aku tak ambil pusing dengan apapun pendapatmu tentang diriku. Atau pendapat Ralph. Aku sudah tahu mengenai dirimu selama setahun atau lebih. Dan tentu saja, aku sudah mengenal Ralph selama kehidupan perkawinanku." Norma bangkit dari duduknya. "Kurasa engkau perlu mengetahui situasinya. Ia milikmu. Ia lima puluh satu tahun, dan ia kaya -- saat ini. Ia minta cerai dan kutolak. Aku ingin tahu apakah engkau punya nyali untuk jadi gundiknya seumur hidupmu. Dan ternyata tidak. Yang kau cari adalah keamanan, Myra -- di atas sebuah piring. Engkau mau merampoknya dari orang lain. Boleh -- namun aku ingin engkau sadar bahwa engkau sedang merampok. Ia adalah suamiku. Dan jika engkau merenggutnya, maka engkau merenggutnya tanpa uang satu dolar pun -- kalau bisa kuusahakan -- tanpa pekerjaan sekaligus." Ia tersenyum kepada nyonya rumah yang sedang duduk. "Kebetulan juga, ia kena encok waktu musim dingin."

Myra bangkit dari kursinya. "Kalau saja kita laki-laki, sudah kupatahkan batang lehermu."

"Aku percaya engkau akan melakukannya. Tetapi engkau jauh lebih mahir dalam menghancurkan rumah tangga orang."

Myra melintas menuju ke bar, menaruh gelas dan berbalik. "Tentunya engkau tak akan berpura-pura bahwa engkau pernah mencintainya."

"Tidak perlu. Aku tidak perlu berpura-pura, atau minta maaf, atau menjelaskan, atau memprotes tentang sesuatu padamu. Sama sekali bukan urusanmu. Yang perlu kau cemaskan adalah bahwa engkau boleh memilikinya tanpa apa-apa. Seperti ketika aku menikahinya. Ralph Cherril -- tanpa apa-apa." Norma berjalan ke pintu. "Bicarakan dengannya, Myra. Aku ingin sekali hadir dan mendengarkan bicara." Ia membuka pintu depan. "Jangan repot-repot, aku bisa keluar sendiri -- dan engkau bisa mulai melemparkan barang-barang." Lalu keluar.

Myra terpekur, satu tangan bertumpu pada meja bar, wajahnya yang oval pucat pasi. Di belakangnya, pelan-pelan pintu terbuka dan Ralph Cherril berdiri di situ dengan tangan bertopang pada kisi-kisi pintu. Suaranya rendah, nadanya serak. "Kau dengar apa kata wanita itu. 'Bicarakan dengannya, Myra'."

Ia tidak melihat pada Ralph, melainkan memandang keluar jendela dan pada gedung pencakar langit di kota itu. "Ia benar-benar pelacur."

Cherril adalah seorang lelaki jangkung dan tegap dengan bahu bidang  dan lengan yang kekar. Rambutnya yang kelabu mengkilap tersisir rapih dan mengalihkan perhatian orang dari lehernya yang tebal. Ia kelihatan ganteng dari segi tubuhnya yang besar dan kuat. Ujarnya, "Sebaiknya kau katakan saja padaku bahwa engkau mempercayainya."

Myra tetap menatap keluar jendela dan suaranya terdengar jauh. "Aku tidak harus mempercayai apa-apa, Ralph."

Ralph tiba di belakangnya dan meletakkan tangannya di pinggang Myra. Suaranya melunak. "Apakah engkau bermaksud mengatakan bahwa engkau tak peduli pada apapun yang dikatakannya?"

"Kataku aku tidak harus mempercayai apa-apa. Ia adalah isterimu. Aku adalah aku. Engkau adalah engkau." Myra tertawa kecil dan berpaling menghadapinya. "Persetan, Ralph! Isterimu masuk dari jalanan, mengataiku dengan segudang kata-kata kotor, memberitahu aku bahwa aku boleh memilikimu kalau mau, lalu mengatakan bahwa engkau akan bangkrut tanpa uang sesen pun." Ia tertawa lebih keras. "Belum pernah ketemu dengannya seumur hidupku! Seorang asing. Dan ia memberitahu aku bahwa engkau tak akan mendapat uang saku lagi jika menikahiku. Engkau akan menjadi seorang anak kecil yang miskin."

Cherril nampak sedikit kesal dan pergi ke bar. "Barangkali kedatangan Norma telah membuatmu berpikir dua kali tentang hubungan kita." Ia berhenti, dengan botol whiski di tangannya, dan memandang Myra. "Iya, kan?"

"Persetan! Wanita itu . . . "

"Myra, dengar . . . "

"Tidak, engkau yang dengar, Ralph. Wanita itu, yang tadi berada di sini, mengatakan bahwa ia adalah bankirmu dan engkau bekerja padanya, dan jika kita menikah maka yang akan kau bawa ke pesta pernikahan cuma korek apimu, yang jangan-jangan juga atas namanya. Aku selalu berkata bahwa aku tak peduli apa yang akan dibawa oleh seorang laki-laki jika ia menikahiku, asal aku mencintainya. Ia boleh membawa akordionnya, atau saudaranya yang bertangan satu, atau usus besarnya, atau gigi palsunya. Apa saja. Itulah selama ini yang kupikirkan." Ia mulai berjalan mondar-manidr dengan gusar. "Yah, aku baru saja mempelajari sesuatu hari ini, bahwa engkau atau laki-laki manapun tak akan membawa ke pesta kawinku -- seorang istri!"

"Myra, jangan bicara seperti itu!"

"Jangan bicara apa? Tentang orang yang akan kau kawini?"

"Engkau mempercayainya?"

"Tentu saja aku percaya padanya. Aku mempercayai setiap patah kata yang diucapkannya. Ia akan memetiki semua daunmu sebelum menceraikanmu."

Ralph menuang whiski lalu menghentakkan botol di meja bar. "Ia berdusta!"

"Aku tak peduli apakah ia dusta atau tidak. Tak ada wanita yang memberiku seorang suami. Engkau tidak diceraikan. Engkau dijual olehnya! Dengan cuma-cuma."

"Jangan ngawur. Norma berbohong."

"Oh ya?"

"Baik." Cherril mengangkat gelasnya pelan-pelan lalu menghampiri jendela, suaranya semakin pelan. "Anggap saja ia tidak berbohong. Anggap saja aku akan bangkrut -- tanpa pekerjaan, tanpa uang, tanpa apa-apa. Maukah engkau menikah denganku? Engkau selalu berkata selama berbulan-bulan bahwa itulah yang kau kehendaki -- perkawinan." Suaranya berubah menjadi sangat beringas. "Perkawinankah itu bagimu? Besar. Kaya. Wakil direktur. Atau cuma Ralph Cherril. Miskin. Tak punya apa-apa. Mengapa tidak kau katakan padaku sekarang, Myra. Itu yang selalu kau katakan, bukan? Engkau mau menikah denganku sekalipun aku cuma seorang tukang pasang pelapis tembok."

Myra memandangnya datar. Lalu ia menghampiri telpon di atas rak, mengangkatnya, dan meletakkannya di meja kecil di depan Ralph. "Telpon dia."

"Siapa?"

"Norma."

"Dia belum sampai di rumah."

"Tinggalkan pesan agar dia menelpon kemari."

"Lalu apa?"

"Katakan padanya bahwa engkau ada di sini. lalu mintalah cerai."

Ia menatap. "Lewat telpon?"

"ya. Di sini."

"Myra, dengar . . . "

"Telpon dia sekarang!" Mata Myra bersinar-sinar.

"Itu bukan suatu keputusan yang . . . "

"Kuberi kesempatan terakhir, Ralph. Telpon Norma. Katakan padanya untuk mengurus perceraian itu."

Ralph memandangnya, memandang gelas whiskinya, meneguknya, lalu menghentakkan gelas itu di meja sebelum tersuruk, penuh kegusaran, ke kamar tidur. "Engkau percaya padanya, bukan?"

Myra memandang keluar jendela. Suaranya suram. "Selamat tinggal, Ralph."

Ia mengencangkan dasinya. "Engkau tidak sanggup menikah denganku tanpa apa-apa."

"Selamat tinggal, Ralph."

Ia menuju ke pintu dengan marah dan keluar.

Cherril melangkah dari elevator menuju teras dan keluar melalui pintu berganda di gedung apartemen itu. Ia berjalan menuruni tangga dan matanya menangkap kemilau mobil Rolls hitam dengan supir yang baru saja membukakan pintu belakang. Ia menatap, menggigit bibirnya dan ragu-ragu. Lalu ia masuk ke dalam mobil. Supir menutup pintu dengan perlahan.

Norma duduk di bangku belakang. Ia membuka kotak rokoknya. "Mengapa begitu lama?"

"Ralph memandangnya kesal. "Engkau . . . pelacur!"

Norma menyalakan rokoknya, sementara Rolls mulai bergerak. Ia menghisap dan menghembuskan asapnya pelan-pelan. "Untuk kedua kalinya aku dikatai begitu hari ini. Aku mulai berpikir barangkali itu benar." ***




Roderick Wilkinson

Penulis, penyiar radio, dosen; cerpen-cerpennya, buku-bukunya, artikel-artikelnya dan drama-dramanya sudah diterbitkan dan dipancarkan ke banyak negara. Cerpen-cerpennya sering muncul di majalah -majalah di Inggris, USA, Belanda, Belgia, Perancis, Jerman dan negara-negara lainnya.

https://www.facebook.com/notes/opayus-unchained-pearsaga/cerpen-si-pelacur-karya-roderick-wilkinson/10150298429554669?__mref=message

Jumat, 09 Oktober 2015

For Those About To Rock



Beberapa tahun lalu saya menemukan buku obralan di supermarket. Setelah membaca isinya saya sangat kecewa karena buku ini diobral murah. Hari kemudian ketika kembali lagi ke supermarket itu saya mengambil sisa buku yang ada sebanyak lima eksemplar. Saya bagikan buku ini kepada beberapa teman baik yang seniman (pekerja kreatif). Buku ini berjudul "For Those About To Rock" dengan sub judul "Peta Penting Buat Band yang Pengen Sukses". Ditulis oleh musisi yang bernama Dave Bedini.

Buku ini bagus. Dari judulnya saja sudah bisa dibayangkan bahwa ini adalah catatan perjalanan karier seorang musisi yang memperkenalkan dunianya. Gaya penulisannya enak, santai tapi juga sering serius. Dunia penciptaan seni sangat menarik untuk disimak.

Saya mencatat dari bab pendahuluan yang berjudul "Hidup Rock", saya ambil dua alinea penutup bab.


"Aku sudah berusaha menyusun bab-bab dalam buku ini agar menyentuh prinsip-prinsip dasar seorang musisi, tapi kemudian, aku merasa tidak begitu yakin mengenai prinsip-prinsip itu. Musisi adalah seseorang yang bermain di basement dan gelanggang hoki es, di acara pernikahan atau pesta lainnya. Setiap pemain, dari Bono sampai pamanmu, saat  pertama kali mendekati instrumen musik pilihannya, seperti melihat ular berbisa yang berbahaya. Bruce Springsteen, atau John Lennon, atau Bob Dylan, atau Dylan Hudecki (aku menyebutkan nama temanku Dylan di sini untuk menegaskan maksudku) mungkin seolah-olah melenggang ke panggung dunia lalu sukses, tapi mereka sebenarnya juga mengalami segala hal yang kau alami (atau yang akan kau alami) sebagai musisi; ragu-ragu, takut, tidak pasti, cemas, tertekan oleh orang tua dan ejekan teman dan perasaan telah menuruti kata hati. Seperti kalian, mereka juga terobsesi untuk bernyanyi dan bermain musik serta menulis lagu agar pikiran dan emosi mereka bisa dipahami.

Rik Emmett, dari band hard-rock Triumph (Rik menghilangkan huruf "c" pada namanya gara-gara salah cetak pada album mereka), pernah memberitahuku, "Ada dua tipe musisi: mereka yang ingin bermain, dan mereka yang harus bermain." Dengan kucuran keringat dan darah serta pergelangan tangan yang linu selama menulis buku ini--sebenarnya, aku minum kopi sambil mengunyah camilan ketika menuangkan ide-ide ini--kau harus bisa memutuskan kau tipe musisi apa, dan ingin menjadi musisi seperti apa. Tapi kalau kau tidak atau tidak bisa menentukan, jangan khawatir. Rock and roll itu sangat serius dan penting, tapi juga konyol, konyol yang menyenangkan. Kalau kau merasa janggal di antara dua tempat itu, tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja.

Sekarang, ayo kita nge-jam!

(hal. 7-8)

Selasa, 06 Oktober 2015

Ayah Impian



Saya terkenang seorang perempuan cantik teman di dunia maya. Pertemanan kami berlanjut di Facebook. Kami berteman baik, baginya saya adalah pengganti ayahnya. Usianya beda 26 tahun dengan saya. Saya menyadari pertemanan dengan alasan ini akan rumit. Saya tidak bisa menggantikan ayahnya, tapi baginya saya adalah ayah impian. Akhirnya saya bilang, bahwa saya tidak bisa menggantikan ayahnya tetapi saya bisa menggantikan kekasihnya yang sudah berlalu. Dia menjawab, "Saya sayang bapak."

Selanjutnya saya terpaksa menghancurkan hatinya.
Karena orang berteman harus punya alasan yang jelas, misalnya karena pekerjaan atau hobi, bukan karena harapan yang tidak jelas.

Saya tahu sekarang dia sudah memiliki seorang kekasih yang sangat sayang kepadanya hingga dia lupa tentang ayah impian.

Saya sayang kamu, nak.


***
 

SARAH MICHELLE GELLAR
Ayah Impian
HARIAN KOMPAS, JUMAT, 15 AGUSTUS 2014

KEMATIAN aktor Robin Williams pada Senin lalu membuat artis Hollywood Sarah Michelle Gellar (37) bersedih. Gellar menjadi anak Williams di film seri The Crazy Ones yang menceritakan suka duka bekerja di biro iklan. Bagi Gellar, Williams adalah sosok ayah impian.

”Hidup saya menjadi lebih baik karena mengenal Robin Williams. Bagi anak-anak saya, dia adalah Paman Robin. Bagi semua yang pernah bekerja dengannya, dia bos terbaik yang pernah ada. Bagi saya pribadi, dia bukan hanya sumber inspirasi, melainkan juga ayah yang saya inginkan,” kata Gellar, seperti dikutip People.com, Selasa (12/8) lalu.

Gellar yang tenar lewat serial Buffy The Vampire Slayer juga mengunggah fotonya bersama Williams ke akun Twitter-nya. ”Saya berterima kasih kepada kalian semua yang memberi salam perpisahan dan penghormatan terakhir. Semua curahan cinta itu sangat spektakuler dan berharga,” tulis Gellar.

Ketika Gellar berusia tujuh tahun, orangtuanya bercerai dan Gellar hidup bersama sang ibu. Dalam suatu wawancara pada awal tahun 2000, Gellar mengatakan bahwa sosok ayah tidak pernah hadir dalam hidupnya. Seorang ayah seharusnya bukan hanya pria dalam foto. Sosok ayah tak pernah nyata dalam hidupnya.

”Tiada kata dan ungkapan yang cukup menggambarkan betapa menyenangkan mengenal Williams. Saya pasti merindukannya. Kenangan akan dia terus hidup dalam benak saya,” ujar Gellar. (WENN/TIA)

Minggu, 04 Oktober 2015

(Cerita pendek) Di antara Mereka yang Berlebih Sayang dan Iba




Saya telah melewati masa sulit, masa yang paling kritis yang pernah saya alami dalam hidup saya. Seminggu sudah lewat hari-hari penuh padat melelahkan badan dan jiwa. Sekarang saya menulis catatan ini dalam keadaan hampir waras, atau sehat sama sekali.

Saya sedang rindu dan saya menunggu kabar darimu.

Saya merasa mungkin keadaan saya jauh lebih baik daripada keadaanmu sekarang. Kamu mungkin sedang susah-susahnya, berpikir dan bertanya-tanya, dan menghadapi banyak orang yang sekarang sangat berbeda. Mereka berlomba-lomba menunjukkan sayangnya kepadamu. Dan kamu tidak bisa menyangkal bahwa mereka menyayangimu. Dan mereka tak henti-hentinya memberikan pengertian bahwa mereka benar, bahwa kau yang masih sangat muda, yang baru mengenal cinta dan dunia, telah melakukan kesalahan besar menurut mereka.

Mereka memang tidak akan menghukum kamu, demikian kata mereka. Mereka hanya ingin menyadarkanmu bahwa apa pun alasanmu tentang kita adalah tidak masuk akal. Bahkan menurut mereka kamu telah melakukan suatu dosa yang besar. Maka kamu harus banyak berdoa memohon ampun kepada Tuhan, supaya mereka semua bisa mengasihani kamu dengan iba. (Siapa yang memberikan hak ini kepada manusia?)

Kamu adalah anak gadis yang malang, korban seorang lelaki dewasa yang jahat. Demikian kesimpulannya.

Dan cinta milik kita mungkin sekarang sedang merengket ketakutan di pojok ruangan, menunggu saat untuk kabur lewat jendela terbuka. Dan mereka tidak pernah memperdulikannya sejak pertama kali mereka menemui kamu dalam keadaan bahagia tapi takut ini.

Sayangku, menangislah terus, air matamu tak akan kering.

Saya pun masih menangis sekarang, air mata kita mengalir dari telaga kebenaran.

"Siapakah mereka ini?" mungkin begitu tanyamu.

Menurutmu mereka adalah orang-orang yang kamu kenal, kerabat penuh ceria hari kemarin. Tapi hari ini menjadi orang-orang asing. Dan kelak ..., kamu tak berani membayangkannya.

Dan kamu gemetar.

"Apakah sesungguhnya salahku?" tanyamu lagi tersendat.

Dan mereka bergantian berebutan menyatakan kebijaksanaan.

"Kamu mencintai seorang pria yang telah berkeluarga. Dan itu bukan lagi salah tetapi dosa!"
"Dengan itu kamu telah merusak martabatmu dan martabat keluarga!"
"Kamu telah menjadi sangat bodoh dan memalukan!"
"Kamu telah memakan buah terlarang!"
"Kamu berteman dengan setan!"

Kamu semakin gemetar. Air matamu beku karena tangan-tangan terulur ingin menjamahmu, mencabik-cabik dirimu.

Matamu nyalang membara. Tubuhmu panas api. Mereka segera undur dan merapatkan barisan seperti polisi anti huru-hara.

Mereka telah menjadi musuh-musuhmu.

Saya telah mengalaminya, sayangku. Sekarang kamu betul-betul sendiri. Sekarang kamu rasakan hidup yang sangat pribadi. Sekarang kamu seperti maling ayam yang tertangkap basah dan akan digebukin orang sekampung. Tak ada yang bisa kamu harapkan menolong kamu.

Apa jawabmu?

Kamu harus menjawab begini,
"Ya, kalian semua benar. Kami bersalah. Lelaki tua bangka konyol yang tak tahu diri itu telah membuat kalian marah. Kebenaran dan kemarahan kalian beranak kebencian. Kami bersalah. Tapi apakah kami harus dihukum oleh kalian? Bagaimana kami harus dihukum sebab kami tidak merasa salah? Kami benar dan kalian benar. Di sini perbedaannya. Kita berbeda."

"Kami tidak akan menghukum kamu, kami semua sayang kepada kamu."

"Tetapi kenapa kalian memandangku demikian keji?"

"Karena kamu tersesat!"

Kamu melongo. Kamu mengkerut. Kamu sangat gemetar. Kamu sangat takut. Air matamu bercucuran menjadi banjir. Kamu betul-betul sendirian, menjadi pesakitan, dan akan dirajam dengan batu sayang orang-orang yang begitu berkepentingan mengurus kamu.

Sayangku, aku telah mengalaminya. Janganlah takut. Aku berteriak keras-keras agar seluruh dunia mendengar, tak kecuali mereka yang telah jadi buta tuli di hadapanmu itu.

"Hai. Siapakah kalian? Siapakah kalian yang berhak atas gadis yang tak berdaya ini? Siapakah kalian yang telah begitu berkelimpahan sayang hingga ingin menimpuki sayang kepada gadis yang telah menderita ini? Kalian telah terbenam dalam sayang kalian hingga kalian tidak kuasa lagi melihat dan mendengar ratapan orang malang ini? Kalian akan bunuhkah orang yang sedang keracunan buah terlarang ini?"

Nah, lihat, mereka sekarang ganti tertegun.

"Gadis ini sakit. Gadis ini sedang dalam menderita. Lihatkah kamu luka-luka di sekujur jiwanya? Luka-luka sayang kalian yang berkelimpahan yang akan disembuhkannya dengan memakan buah terlarang itu?"

"Bagaimana dia bisa sembuh dengan begitu?" protes seseorang.
"Karena dia mempercayainya begitu."
"Bagaimana dia bisa percaya begitu?"
"Karena dia berbeda dengan kalian."
"Bagaimana kami berbeda?"
"Karena baginya bukan buah terlarang."
"Jadi, apa?"
"Itu adalah separuh hatiku yang sedang mencari paruh lainnya. Dan dia tahu benar bahwa separuh yang lain itu adalah separuh hatinya yang juga sedang mencari paruhannya."

Mereka betul-betul melongo.

"Kami telah menyatukannya. Kami jahit dengan benang-benang peduli dan kami sedang menderita sakitnya untuk menjadi satu, kuat dan sehat. Dan kalian tidak tahu, mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya persatuan ini tapi akan sehat sekali setelahnya, karena hati kalian tetap kalian biarkan sebelah."

Mereka sibuk memeriksa hati.

Seseorang menunjukkan hatinya yang besar sekali, seperti karung beras layaknya. Di dalamnya banyak sekali persediaan sayang. Wajahnya begitu bangga.

"Kamu tidak akan menemukan pasangannya karena hati yang serakah dengan sayang itu langka pasangannya," kataku.

Orang itu menangis meraung-raung dan pergi.

Orang-orang sibuk memeriksa hatinya dan menangis dan pergi satu-satu.

Sayangku, kekasihku, menangislah, karena air matamu tak akan pernah kering. Tak apa. Air matamu dari telaga kebenaran. Dan percayalah kamu tak bersalah, dan tak ada yang berhak untuk menyatakan itu, karena kamu, karena kita telah berbeda dari mereka.

(Palmeriam, 4 Juli 1998)

Keterangan: cerpen ini belum pernah diterbitkan.
Ilustrasi dari Facebook, karya seorang teman.





Sabtu, 19 September 2015

Surat: Sedikit tentang "Merah yang Meremah"



Kawan yang baik,
saya punya catatan:

Di tangan saya ada buku kumpulan puisi "Merah Yang Meremah", sebuah antologi 10 penyair. Di bagian atas sampul muka tertulis, "10 Penyair Perempuan di Facebook". Buku ini saya terima dari tangan sahabat saya Syamsudin Noer Moenadi dalam keadaan sampul yang mencuat agak lusuh, dan lembar-lembar terjilid yang jelas sudah dibolak-bolak. Buku ini baru setengah harian ada di tangan SNM. Dia mendapatkannya sebagai pemberian dari salah seorang teman barunya yang baru dikenalnya tadi malam. Dia telah membolak-baliknya tadi malam mungkin sebagai pengantar tidur, mungkin diteruskan pagi ini di busway ketika dalam perjalanan ke rumah saya. Dia menyerahkannya kepada saya untuk saya melihatnya. Demikianlah buku setebal 136 halaman ini berada di tangan saya sekarang ini.

Saya membalik-balik lembar-lembar buku membaca puisi-puisi yang cukup banyak itu (97 buah). Rasanya tidak sabaran. Saya kembali ke depan, membaca pengantar Kurniawan Junaedhie, pada baris pertama saya terhenyak, sebuah kejutan. Katanya, "Kriteria apa yang dipakai untuk memuat puisi para penyair yang ada di Facebook ke dalam buku ini? Tidak ada."

Teman saya Kurniawan yang baik hati menerangkan tentang dunia Facebook. Serba instan itulah sifat utama Facebook. Katanya lagi, "Facebook memang melahirkan puisi-puisi instan, dan penyair-penyair instan. Dan yang disayangkan pula, Facebook ternyata juga hanya mengundang opini, tanggapan atau komentar pembaca yang juga instan, yaitu bersifat 'artificial' , dan tidak 'in depth' (mendalam). Padahal, menurut saya, mestinya penyair juga berhak mendapat keuntungan dari 'feedback' yang konstruktif, meskipun kritik itu terkadang kejam. Tanpa memperoleh 'feedback' berarti, bagaimana para penyair bisa mengevaluasi diri untuk meningkatkan kualitas puisinya di kemudian hari?"

Maka saya melonggarkan selonggar-longgarnya yang mungkin dari kaidah2 perpuisian yang saya tahu, saya berusaha menikmati kembali buku kumpulan puisi yang cantik ini. Saya bayangkan penulisnya cantik-cantik dan wangi pula. Dan kebanyakan sudah berumah tangga. Jadi agak lebih mudahlah membacanya tanpa mencurigai keseriusannya. Mereka memang menulis puisi. Mereka menulis dalam bentuk puisi maksud saya. Saya ingin percaya bahwa, seperti kata Kurniawan juga dalam kata pengantarnya, "...ke-10 teman ini sudah jelas-jelas menulis puisi, bukan cerpen atau warta berita."

Ternyata saya masih bisa kecewa. Karena hanya sedikit saja puisi yang saya temukan. Saya tidak akan membicarakan teknik dan ilmu puisi yang kadang2 menjadi berlebihan. Saya bicara rasa puisi. Kebanyakan rasanya prosa. Hanya tulisan catatan, laporan, keluhan, bahkan omelan untuk diri sendiri. Bisa saja dikatakan bahwa mereka mengangkat tema-tema zaman sekarang dengan berani.Tetapi untuk apa? Apa maknanya? Setelah itu apa? So what? Karena memang sekarang ini semua orang bisa dan boleh saja menulis puisi tanpa susah-susah lagi.

Ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan bahwa, menulis puisi adalah mencipta. Mencipta adalah memberikan yang terbaik terutama seninya. Karya cipta harus menunjukkan keunggulan. Dia tidak sekadar hanya menjadi ada.

Jakarta, 26 Februari 2010


Jumat, 18 September 2015

The Sickness Unto Death, oleh Kierkegaard




Aku belajar bahwa orang dewasa adalah orang yang bertarung melawan penderitaan sebagai manusia.  Orang yang memahami bahwa setiap orang mempunyai kehidupannya masing-masing.

Di dunia ini ada banyak kehidupan. Dan bersama dengan itu... banyak kesulitan, kebingungan dan keragu-raguan. Bukan aku saja yang memiliki masalah kehidupan, ayahku dulu juga, kamu juga. Baiklah. Mulai sekarang aku harus memikirkan bagaimana kita semua hidup. Daripada hanya memikirkan bagaimana aku hidup.

Substansi manusia itu adalah jiwa. Makhluk yang hidup dengan berbagai perasaan yang muncul setiap hari. Manusia itu tak bisa tidak memikirkan berbagai hubungan yang ada kaitannya dengan dirinya. Orang tua, teman, kekasih, pekerjaan, masa depan, dll. Saat ini aku punya hubungan yang berhubungan. Itulah yang disebut diri! Ini dan itu yang terkait diri sendiri.

Saat itu kalau begini, kalau begitu, ya... Waktu terus maju ke depan. Tapi kehidupan manusia hanya bisa dilihat ke belakang. Kehidupan itu menjengkelkan, ya? Aku banyak mengalami kesulitan dan mulai mengerti... dunia manusia.

Ada dua kehidupan manusia. Yang pertama adalah cara hidup yang bersifat sensitif. Cara hidup ini hanya mementingkan perasaan, ingin memenuhi hidupnya dengan rangsangan dari luar, hidup yang menyedihkan. Yang penting kesenangan sesaat, tidak berpikir panjang, tapi perlu hubungan yang dalam... Harta, barang bermerek, nama besar, penghargaan, jabatan. Cara hidup yang tergantung pada apa yang ada dari luar diri sendiri ini selalu membutuhkan rangsangan dari luar! Cara hidup ini membuat kemandirian hilang, dan jadi tidak bisa mengontrol diri. Orang itu selalu terbawa-bawa oleh rangsangan dari luar diri sendiri. Tak ada kedamaian dan ketenangan hati. Orang itu selalu terbawa-bawa oleh segala yang ada di luar. Sebetulnya... kehilangan diri itu sama saja dengan putus asa.

Tapi perasaan putus asa ini bisa tidak dirasakan asal tenggelam semakin dalam ke dalam rangsangan. Dan siapapun bisa hidup sehari-hari seperti biasa. Sambil terbawa ke tempat dangkal secara kejiwaan.

Tapi... masalah utama dari cara hidup ini adalah tidak bertanggung jawab pada diri sendiri. Orang itu berpikir semua tindakannya berasal dari efek luar. Dan membuang tanggung jawabnya sendiri. Dulu karena ingin menghindar dari kesulitan, aku lari ke kesenangan. Dan aku kehilangan diriku sendiri! Aku membuang tanggung jawab bagi diri sendiri. Merusak menghancurkan diri sendiri. Menuju kematian.

Tapi... untungnya aku bisa kembali ke diriku sendiri. Berkat orang yang kucintai.

Tapi memang betul dunia ini bersifat kebetulan, tapi konsekuen dan tidak realistis. Karena itu manusia mudah menjalani cara hidup sensitif yang dikuasai pengaruh dari luar.

Tapi ada cara hidup lainnya, yang kedua: cara hidup etis! Etis itu bagaimana seseorang selayaknya hidup. Jelasnya, cara hidup etis itu cara hidup yang mengandalkan diri sendiri. Dan cara hidup ini bertujuan melepaskan diri dari putus asa yang bersifat sensitif melalui tekad yang kuat. Cara hidup etis itu menerima semua tanggung jawab yang berkaitan dengan diri sendiri, memilih yang paling pantas untuk diri sendiri. Bukan orang lain yang membuat aku begini tapi aku dari keinginan aku sendiri yang kupilih dari berbagai kemungkinan. Di antara kemungkinan-kemungkinan yang ada di diri yang didapat dari tekad yang kuat saat menghadapi dunia.

Tentu saja dengan usaha sendiri. Memilih diri sendiri dengan tanggung jawab sendiri. Untuk menjadi diri yang baru, diri yang aku inginkan. Aku harus maju terus dengan kekuatan sendiri. Memilih diri sendiri dari masa depan yang tak jelas, tanpa menyalahkan orang lain. Mengalahkan kematian. Hidup.

Komik. Penerbit PT Elex Media Computindo, 2010

Sabtu, 12 September 2015

Catatan Selasa, 13 September 1994, jam setengah empat pagi.



Setiap pelukis harus menemukan seni rupanya sendiri. Sama seperti setiap penyair harus menemukan bahasanya.

Maknanya adalah setiap pelukis harus mempunyai banyak pengalaman seni rupa, menyadari segala aspek seni rupa, mempertanyakannya, membuat konsep dan mengerti jelas tujuan.

Pada tahun 1974, ketika saya berusia dua puluh tahun, saya masuk LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dengan kesiapan yang luar biasa untuk menjadi pelukis. Saya merasa bahwa saya sudah tidak punya masalah dalam menggambar. Saya telah matang teknik dan pengalaman praktek karena saya sudah menggambar sejak kecil. Saat itu saya telah berhenti melukis komik, tapi masih menjadi ilustrator dan kartunis untuk majalah hiburan. Selain merasa unggul dalam menggambar, saya pikir pengetahuan saya tentang seni lukis juga memadai. Saya merasa juga telah mengerti seni lukis abstrak.

Betapa kecewanya saya pada kenyataan bahwa saya tidak lulus seleksi masuk dan harus diulang lagi. Pada saat itu saya merasa ada yang salah pada para penilai, tapi juga mungkin pada diri saya sendiri. Ketika tes ulang, saya menggambar sebebas mungkin, atraktif tentang garis dan warna, dan saya harus akui sekarang bahwa hanya pamer teknik dan keberanian atau pengalaman lamanya latihan saya. Saya lulus dengan kesombongan penuh, bahwa saya telah menunjukkan semua kehebatan saya.

Tapi apakah betul saya telah mengerti seni rupa?

Hal itu bukan persoalan utama. Persoalannya adalah teman-teman yang di kiri kanan meja saya, yang menggambar bentuk saja tidak becus, garisnya tidak kuat, warnanya tidak berani, dan dalam bekerja selalu mengeluh "Bagaimana, ya?" sambil lihat sana sini membandingkan pekerjaannya dengan yang lain, eh, lulus dalam tes pertama. Gila betul! Padahal mereka itu kurang berbakat menurut saya, hanya ingin seni-senian saja. Dan saya? Huh! Lihat nantilah!

Semester pertama semua hancur-hancuran. Yang berbakat atau tidak jadi bego dalam menggambar. Saya sendiri yang berpegang kepada keberanian beraksi dan kebebasan melukis rasanya tinggal sedikit mempunyai kepercayaan diri. Untuk mata kuliah Menggambar Bentuk rasanya tidak masalah. Tapi ketika menggambar bebas, terpuruk di museum memelototi batu-batu, berusaha keras mengambil 'jiwa' dari arca yang karya besar abad-abad lampau, apa-apaan ini? Pak Danarto, sang dosen, tak pernah sungguh-sungguh mau mengomentari karya kami selain senyum-senyum melulu. Dan sekali-kali entah memberi petujuk atau kritik, tak pernah jelas.

Ketika workshop lebih gila lagi. Dosennya dua orang, Zaini dan Rujito. Acaranya enak, jalan-jalan melulu, naik bus tidak bayar karena disediakan, kalau ke luar kota pergi sendiri-sendiri tapi dikasih ongkos. Kertas gambar dapat jatah beberapa lembar kertas padalarang dan puluhan lembar kertas duplikator. Menggambarnya di Monas, Lapangan Banteng, Glodok, Senen, Kali Baru, Ragunan, Kebun Raya, Ciloto atau seputar Taman Ismail marzuki. Seminggu sekali giliran. Piknik terus! Mau menggambar habis-habisan boleh, bebas, alat gambar apa saja. Dan tidak mau menggambar juga boleh, bebas, cuma ngobrol-ngobrol, godain teman yang serius, atau pacaran. Dosen sungguh-sungguh tak peduli. Diumbar seperti ayam lepas kandang.

Tak pernah ada teori dalam mata kuliah Menggambar Bebas dan Workshop. Harinya berturutan Jumat dan Sabtu. Kalau ke Ciloto menginap sampai Minggu sore. Inilah hari-hari bahagia setiap minggu tapi sering juga hari neraka. Karena jenuh menggambar, tidak ada kemajuan, makin bingung dan bodoh, eh ketemu Mas Rujito dicibiri pula. atau kebetulan ketemu Pak Nashar, bertanya, malah diomelin disuruh mempertanggungjawabkan satu coretan atau satu titik. Bertanya pada kakak kelas tetapi ternyata sama bingungnya. Dan sialnya atau bagusnya, tiap ketemu Pak Zaini dan dimintai pendapat, komentarnya selalu "Bagus dan teruskan." Seperti Pak Tino Sidin di tivi. Komentarnya sambil senyum dan mengangguk-angguk dan terus jalan lagi. Beda dengan Rujito yang memegang kelas kami (Zaini untuk kakak kelas), kami diomeli tapi tidak diajari bagaimana mestinya. Pokoknya jelek dan teruskan! Terus meskipun kepala sudah mau pecah, semangat merosot, bingung, dan seperti bertahan sia-sia entah untuk apa.

Tak heran bukan jika pada awalnya kelas ada enam puluh orang  dan di semester dua tak lebih dari separuhnya. Dan pada semester tiga berkurang hampir separuh lagi. Semester empat saya berhenti. Bukan karena gagal, tapi karena tidak punya uang, harus bekerja, bertekad tetap menjadi pelukis tapi tak mau menjalani hidup bohemian. Saya merasa banyak mendapatkan pengalaman dan kesadaran seni rupa di LPKJ ini.

Cerita sudah cukup panjang. terus terang, keluar dari LPKJ saya merasa lebih mantap pilihan, tapi tidak merasa lebih pintar. Saya sekarang bisa melukis di kanvas, tidak hanya di kertas, sadar akan bakat saya, dan sadar pula bahwa masih jauh perjalanan seni rupa saya. Tanpa saya sadari saya belajar berpikir dalam seni rupa. Sekarang saya menyadari benar bahwa bakat saja tidak cukup. Benar kata Picasso, "Melukis adalah berpikir." Saya dapatkan semua ilmu bukan karena teori-teori para dosen, tapi lebih dari karena saya berpikir dalam bergumul dengan seni rupa.

Dalam pencarian saya, saya menemukan seni rupa saya pada tahun sembilan puluh, dan kematangan pada tahun 1993. Sekarang saya boleh sombong untuk mengatakan bahwa saya tidak lagi punya masalah besar. Saya telah mendapatkan pencerahan. Saya telah menemukan seni rupa saya, gaya saya sendiri.

Rasanya saya tidak banyak berbeda seperti pada tahun 1974. Kelebihannya adalah sekarang ini saya telah mengerti masalah. Saya telah banyak mengalami dan saya memiliki konsep dan tujuan yang jelas.

(Palmeriam, 13-9-1994)


Jumat, 11 September 2015

Catatan Minggu, 11 September 1994, 01.42



Saya seorang naturalis.
Sebagai pelukis saya sering berpikir tentang aliran seni rupa saya. Hal ini tidak menjadi masalah pada saat sekarang. Tapi sepuluh tahun yang lalu adalah masalah besar. Mau ke mana saya? Sementara saya mencoba percaya untuk melukis abstrak, memperhitungkan segala warna dan sapuan, bertahan pada teori-teori abstrak dan mitos-mitos seni rupa, dan selalu merasa kurang jika tidak mau disebut gagal.

Saya pernah sangat frustrasi jadinya, dan membakar banyak karya-karya saya, dan terus meradang, di mana salahnya?

Di tahun 1990 saya bertekad untuk melukis kembali dengan baik. Paling tidak dengan seluruh ketekunan yang ada. Rasanya menghasilkan kurang lebih lima puluh lukisan. Sebuah kerja keras dan merupakan salah satu tahun yang sangat keras dalam kehidupan saya.

Di penghujung tahun 1990, saya mencoba mengevaluasi hasil. saya gembira dengan produktivitas saya. Saya merasa mutu telah memadai. Ada perkembangan. Pengalaman teknik semakin kaya. Tapi saya merasa tidak beranjak jauh. Meskipun saya merasa makin mantap dengan pilihan hidup sebagai pelukis, tapi kemajuan yang tak banyak mengendorkan semangat juga. Kesibukan mengurus rumah menjelang Natal membuat saya libur melukis dan lebih banyak berpikir. Dan kesimpulannya saya masih belum menemukan yang saya cari.

Di awal tahun 1991 saya disibukkan kembali oleh kerja rutin TTS (Teka Teki Silang). Saya membenahi banyak hal, berusaha membuat penyegaran, dan larut di dalamnya. Saya menangguhkan kerja melukis saya dan tanpa saya sadari tahun baru kembali datang. Tidak ada satu pun karya saya di tahun ini. Tapi rasanya banyak sekali pemikiran dan renungan. Mungkin ini termasuk tahun alpa, atau tahun pencarian tanpa aksi apa-apa. Ini betul-betul tahun diam dalam kebangkitan saya.

Pada tahun 1992 hanya ada tiga buah karya cat minyak saya. Lukisan kecil "Bulan Sakit", "Penari Bali", dan "Perahu Cilincing" semua dalam warna biru dan pucat. Ketiganya saya kerjakan pada akhir Juni dan berlanjut ke bulan Juli. Pada saat ini saya menemukan biru. Compossed Blue dari cat Nouvel menjadi warna favorit saya. Tiba-tiba biru menjadi sakral bagi saya. Tiba-tiba biru menjadi awal mulanya. Biru menjadi napas baru dalam kekeringan satu setengah tahun ini. Dan biru menjadi dasar iman seni rupa saya, penyelamat, sandaran, ibu, juga bumi. Ini tampak pada tahun-tahun kemudian, dan mungkin seterusnya, bahwa pada saat saya begitu tak berdaya, saya kembali kepada biru. Pada tahun 1994 ini banyak lukisan yang bermula bukan biru akhirnya dominan dengan biru.

Mengapa biru? Ketika saya masih kuliah LPKJ, 1994, awal saya menggambar di atas kanvas, seorang sahabat yang bernama Tulanmoro menunjukkan Prussian Blue kepada saya. Sambil menunjukkan satu tube cat dan kanvas yang dikerjakannya dengan warna itu dia berkata, "Nih, Yus, ini baru warna!" Ya, saya jatuh cinta. Sebetulnya bukan warna asing, saya melihatnya sejak saya kecil karena itulah warna tinta tulis. Tapi pada saat itu pertemuan saya dengan Prussian Blue membuka cakrawala warna saya, sebuah kesadaran tentang rasa warna bagi seorang pelukis. Prussian Blue menjadi sahabat saya, periang ria kanvas saya. Sesungguhnya favorit saya adalah merah darah. Entah bagaimana saya malah cocok dengan Vermillion. Dan pertemuan Vermillion dengan Prussian Blue betul-betul menyenangkan saya, seperti sebuah pesta.

Lanjutnya begini. 23 Juni bapak mertua tercinta Ignasius Buchari Kusnandar meninggal dunia dalam usia 78 tahun. Malam setelah penguburan saya tidak bisa tidur meskipun saya merasa lelah sekali. Saya tidak merasa sedih, saya hanya merasa sedikit hampa ketika saya sendirian di sofa di bawah sinar neon. Ketika merenung-renung inilah tiba-tiba saya teringat bahwa saya masih mempunyai kanvas kosong. Saya ingin melukis! Saya ambil cat, tapi apa yang ingin saya lukis? Apa idenya? Saya memungut warna putih dan Compossed Blue. Gambar apa? Apa saja! Muntahkan saja! Jadilah lukisan bulan yang kemudian saya namai "Bulan Sakit" itu.

Sebuah lukisan yang sangat sederhana, dengan warna-warna biru dan putih. Tapi saya merasa begitu dahsyat. Gumpalan-gumpalan cat dari plototan dan torehan palet serta sapuan kuas lebar itu mengantarkan kesadaran baru pada saya, kesederhanaan dalam seni rupa. Mengapa tidak melukis dalam biru saja? Wilayah biru kan bisa dari hampir hijau sampai ungu dan hampir hitam? Dan di tengah itu ada Compossed Blue. Netral dan anggun, dan menjadi primadona.

Penemuan ini tidak membuat saya bergairah dan produktif. Nyatanya saya hanya membuat dua lukisan lagi dan mengaso lagi, sibuk dengan kerja rutin. Tapi biru menjadi iman. Selalu saja saya katakan kepada diri saya ketika saya berpikir tentang seni rupa, "Suatu saat saya akan habis-habisan dengan biru."

Masuk tahun 1993. Beberapa lukisan di bulan-bulan awal tahun ini adalah mutlak studi biru. Yang ketika melukis saya selalu seperti bernyanyi bahwa biru adalah langit, adalah laut, adalah udara, adalah air, adalah inti kehidupan. Salah satu ide saya adalah lukisan biru yang entah bagaimana yang berkata, "Pada Awalnya Adalah Biru". Sebuah judul yang bagus tapi sampai pada kanvas yang terakhir belakangan hari ini gagal untuk yang kesekian.

Pengalaman dengan Prussian Blue dan Compossed Blue membuat biru mempunya arti banyak pada saya. Tapi jangan salah, saya tidak bergantung kepada biru. Biru bukan warna yang mutlak harus ada pada kanvas saya. Tapi biru mempunya makna psikologis kepada saya, ketakberdayaan. Saya akan sering kembali kepada biru karena saya percaya hakekat manusia adalah ketidakberdayaan. Ketika saya merasa tidak berdaya, saya percaya kepada alam, kepada biru. Ketika banyak warna pun tak berdaya dalam seni lukis saya, saya percayakan kepada biru.

Jadi, memang benar saya seorang naturalis.


(Palmeriam, 11-9-1994)


Tambahan:
Lukisan "Bulan Sakit" telah dikoleksi seseorang.
Saya berterima kasih lagi kepada kolektor yang baik hati.

Kamis, 10 September 2015

Saya Suka Menangis


Saya suka bilang pada diri saya sendiri, "Jangan cengeng!"
Kalimat ini lebih banyak berupa bentakan yang saya dengar waktu saya kecil.

Saya suka curhat kepada teman-teman baik bahwa saya cengeng. Teman seniman bilang, itu adalah modal untuk menjadi seniman, yaitu sentimental dan melankolis. Seniman harus mengasah perasaannya, harus kaya dengan 'rasa'. Ditambahkannya, juga harus romantis. Apakah saya romantis? Hanya isteri saya yang tahu benar. Saya pernah tanya padanya dan jawabnya membuat saya kecewa, karena menurutnya saya kasar dan egois.

Belum lama ini saya membaca ulang sebuah novelet pop (sudah dipublisir tahun 80-an) yang pernah saya tulis dan saya kecewa karena cerita itu tentang perselingkuhan suami yang baik dengan perempuan tidak baik, penuh ratapan cinta egois yang rasanya konyol bagi lelaki tua seumur saya sekarang. Tapi dulu seorang teman penulis memuja saya karena kehebatan saya menulis cerita ini. Jika dia seorang perempuan mungkin telah membuat cerita khayalan saya itu menjadi nyata saya alami.

Saya dididik dengan sangat keras, penuh kekerasan (KDRT). Tidak heran saya banyak menangis. Menangis adalah jatah setiap hari. Saya menangisi diri sendiri. Dan saya belajar menangisi orang lain. Saya suka mengamati orang lain, pertanyaannya selalu "apakah dia lebih beruntung dari saya?" Di masa remaja saya telah menjadi orang aneh yang suka menyendiri, asyik menulis dan menggambar apa saja. Dan saya sudah bisa mencari uang dengan berkarya sejak masih di Sekolah Menengah Pertama. Tetapi saya masih suka menangis jua. Saya menyaksikan banyak kekerasan di sekeliling saya, saya mendengar berita kekerasan di seluruh dunia, saya anti kekerasan. Saya menangisi dunia karena saya mengalami kekerasan dengan banyak bentuknya. Saya bertumbuh untuk mengerti jahat.

Jika saya ditanya apa jahat itu, jawab saya, "Perbuatan kepada orang yang membuat orang itu menangis". Banyak orang yang menangis diam-diam dan menangis dalam diam. Banyak orang berbuat jahat tanpa disadarinya. Banyak kejadian yang jahat dalam hubungan cinta (Teman curhat saya bilang, "Saya tahu dia sayang saya tapi dia tidak tahu bahwa perbuatannya menyakiti saya."). Tetapi di dalam cinta tidak ada jahat. Cinta itu menguatkan, tidak pernah melemahkan.

Saya salin potongan email saya kepada seorang teman baik baru-baru ini:

Saya orang yang hidup banyak kecewa dan dirundung sedih (saya memang penyedih sejak kecil) tetapi Tuhan YME selalu menguatkan saya. Sekarang saya bisa bahagia meskipun penderitaan terus saja ada. Puji Tuhan.

Ya, saya suka menangis.
saya suka menangis sampai sekarang. Baru saja saya menangis lagi membaca ini:

PERJANJIAN DALAM KANDUNGAN

Jangan pernah bunuh dia
Jangan pernah menghalangi rencana indahnya
Jangan pernah malu untuk melahirkannya
Jangan pernah menyesal telah memilikinya
Jangan pernah merasa hina dengan kehadirannya
Jangan pernah merasa dunia tiada tempat untuknya
Jangan pernah takut pengharaman mereka
Percayalah dia bagian dari rencana indahNya



Rabu, 09 September 2015

Cinta adalah menerimamu menjadi bagian yang paling sulit dalam hidupku....





MY FOOLISH HEART

- mengapa engkau begitu cantik?
denganmu aku menggenggam bara
selalu ada ceritamu
yang membuatku alpa


Sajak pendek ini lahir dari sebuah cerita (baca: fakta). Begini:
Seorang teman muda cantik di fesbuk entah mengapa memilih saya untuk mendengarkan kisah cintanya yang tragis. Dalam sebulanan saya mendapatkan surat-suratnya (inbox) saya menyimpulkan bahwa saya salah sangka sejak awalnya. Percintaan itu indah. Ini cerita perselingkuhan seorang perempuan muda dua puluhan tahun dengan pria enam puluhan. Kira-kira sekitar itulah, detil jelasnya tidak saya perlukan. Saya mau percaya bahwa perselingkuhan juga tidak selalu salah, bisa membahagiakan untuk yang menjalaninya. Tetapi saya harus balik lagi percaya bahwa perselingkuhan adalah sebuah kutukan. Percintaan yang indah itu hanya berlangsung lebih setahun, tanpa perkawinan resmi, membuahkan seorang anak, si pria tua yang penuh cinta dan sangat baik ini meninggal dunia.

Hubungan mereka bermula di Facebook.
Semakin indah....

Semakin indah ceritanya, kalau hanya sebuah cerita.

*

Berapa banyak pasangan yang menikah karena cinta sejati mereka?

Pertanyaan ini tak penting, mungkin kedengarannya lucu, atau terlalu mengada-ada.
Di dalam pesta pernikahan kita selalu percaya kepada cinta murni kedua mempelai, ikut  merestui, merayakan saat yang terindah dalam hidup kedua orang yang berbahagia ini. Kita percaya mereka akan selalu bersama-sama sampai kakek-nenek, sampai kematian yang memisahkan.
Bahkan pun pada pernikahan yang murung dan tergesa, pernikahan karena 'kecelakaan'.
(Betapa indahnya cinta.)

Saya pernah mendampingi mempelai kerabat belia yang sudah hamil empat bulan. Ketika saya memandang dia menggenggam erat-erat tangan suaminya yang juga masih belia, saya bertanya kepada Tuhan, "Apa yang terjadi?"
Sesungguhnya saya tidak mengerti, saya seketika menjadi tipis iman.

*

Saya salinkan potongan email dari seorang teman yang cerdas, mengharukan, saya abadikan di sini.
(Terima kasih kepada teman yang saya kagumi yang telah memberi izin untuk ini.)


"Belakangan saya ingat mantan pacar saya yang dulu, orang Australia. Putus 1998. Saya yang putusin gara-gara dia selingkuh sama Cina Penang dan bule Australia di GC (kurang ajar kan rangkap tiga). Saya minggat lagi ke AS. Waktu itulah saya beberapa kali mencoba bunuh diri karena saya sangat mencintai dia. Obsessed. Kalau nggak ada teman saya L yang mendukung saya, barangkali saya sudah mati beneran. Meski kemudian saya kenal banyak orang dan bahkan pacaran beberapa kali...sesungguhnyalah saya tidak pernah berhenti mencintai dia. Beberapa kali saya mencari-cari info tentang keberadaannya, tapi nggak pernah ketemu. Namun saya nyari nggak dengan sepenuh hati karena saya terpikir "kalau sudah ketemu mau apa". Tahu-tahu sudah 14 tahun, dan beberapa bulan terakhir ini malah setiap hari saya ingat padanya. Saya nemu fotonya tahun 2005 waktu dia jadi volunteer di Aceh setelah tsunami. Saya sudah telepon beberapa alamat tetapi dia selalu sudah meninggalkan tempat itu. Saya ingin ketemu dia lagi meski pertanyaan "setelah itu apa" tetap mengganjal. Bayangan saya tentang dia kan dia 14 tahun yang lalu, sekarang mungkin sudah berubah (sama seperti saya). Foto yang ketemu di Google itu kan tahun 2005. Dia nggak banyak berubah sih

Saya nggak tau bagaimana menemukan dia. Belakangan ini saya sedih banget karena saya tau saya tetap mencintai dia."

*

Jika harus memuja cinta, contoh utama yang akan saya kemukakan tentang cinta sejati adalah film "Original Sin". Film ini sudah beberapa kali saya tonton karena saya tadinya tidak percaya ada cinta seperti ini. Pada akhirnya saya berhenti menontonnya karena saya takut berjumpa dengan perempuan dalam film ini yang diperankan dengan sangat berbakat oleh Angelina Jolie sebagai Julia.
(Adegan ranjangnya digarap apik dan cantik.)

http://www.imdb.com/title/tt0218922/

Julia: No this is not a love story, but it is a story about love. About those who give in into it, and the price they pay. And those who run away from it, because they are afraid, or because they do not believe they're worthy of it. She ran away. He gave in.

[first lines]
Julia: You cannot walk away from love. That was the advertisement in a Baltimore newspaper. And that is how he found her.

Dan ini teriakan Antonio Banderas (berperan sebagai Louis) yang membuat saya (waktu itu) malu jadi lelaki:
Louis: Whore! Liar! Thief! Don't you see? Don't you see that I cannot breath without you? I cannot live without you? Don't you see that? Don't you see how much I love you?

*

Berapa banyak pasangan yang menikah dan berbahagia sampai mati karena cinta sejati mereka?
Saya percaya ada banyak.
Saya harus percaya....

*

Film "Love Story" hadir menggemparkan di awal tahun 70-an. Dibintangi oleh Ali MacGrouw dan Ryan O'Neal. Diangkat dari buku bestseller karya "Erich Segal".

Lihat: http://www.imdb.com/title/tt0066011/


Buku "Love Story" yang saya punya diterjemahkan oleh L. Naam. Penerbit Tanah Air Press, 1971.
Mari kita membayangkan dialog ini terjadi:


"Hai Oliver, apa kusebut aku cinta padamu?"
"Ndak, Jen."
"Kenapa tak kau tanyakan?"
"Terus terang, aku tak berani."
"Tanyalah aku sekarang."
"Cintakah kau padaku, Jenny?"
Dia melihat padaku dan tak hendak mengelak dikatakannya,
"Kau pikir bagaimana?"
"Yah. Saya kira. Boleh jadi."
Kucium lehernya.
"Oliver?"
"Ya."
"Aku tidak hanya cinta padamu ...."
"Oh Tuhan, ada apa ini?"
"Aku demikian mencintaimu, Oliver."

https://www.facebook.com/notes/10151158275569669/




Selasa, 08 September 2015

(Cerita Pendek) SUATU KALI DICINTAI



Saya cuma tersenyum ketika mendengar dia mengatakan cinta pada saya. Cinta, satu kata itu, saya merasa ganjil sekali. Dan dia mencium pipi saya. Bibirnya yang mungil dan selalu merah itu, yang selalu tampak segar, terasa dingin. Saya memalingkan wajah menghindar dari tatapannya. Saya merasa risi yang tiba-tiba. Ya, saya hanya bisa tersenyum. Masih terngiang kalimatnya, ketika pulang, berbaring di ranjang --Saya cinta kepadamu-- lembut dan bergetar, seperti desir angin yang sejuk. Tapi dinginnya menusuk tulang.

Hari-hari kemudian kami jadi sering ketemu. Berulang-ulang membuat janji, pertemuan, janji lagi, bertemu lagi. Saban mata saya bentrok dengan pandangannya, saya seperti menggigil. Kapan dia mengucap kata itu lagi --cinta-- saya selalu merasa aneh. Sungguh perasaan yang ganjil. Seharusnya saya berbahagia. Dia seorang gadis yang cantik, mahasiswi, cukup berada, modern. Sedang saya boleh dibilang orang yang tidak menentu. Pernah menginjak perguruan tinggi, tapi macet karena kesulitan biaya. Kemudian menulis, sesekali, tak bisa cukup untuk hidup. Sekarang saya bekerja di sebuah majalah hiburan, sebagai korektor. Rasanya tak ada yang bisa dibanggakan. Seharusnya saya mesti merasa beruntung. Tapi tidak, saya seperti tersiksa.

Apa saya bilang tadi? Tersiksa? Tidak, itu terlalu berlebihan. Saya hanya merasa tidak bisa menjadi orang yang beruntung. Banyak kali saya bertemu gadis-gadis, sejak masih di sekolah menengah. Banyak sekali saya membuat kebodohan. Saya pernah merasa hambar, ini juga keterlaluan, kapan saya ingat bahwa betapa gampang saya menyebut cinta. Dan semua, cinta saya kepada banyak gadis-gadis, menguap begitu saja. Saya terlalu banyak kecewa dalam hal ini. Sungguh. Empat tahun lamanya saya mencoba hidup tanpa berpikir tentang dicintai dan mencintai wanita. Seakan saya sudah bosan, seakan cinta cuma jadi beban. Seakan bercinta juga cuma merupakan satu kebodohan. Saya boleh dibilang nyaris jera. Empat tahun saya hidup fantastis sebagai orang muda, tak mau memandang gadis-gadis, tak memasang kalender bergambar wanita cantik, tak membeli majalah, tertutup betul-betul untuk wanita.

Sampai saya bertemu dia. Saya betul-betul terkejut melihat bibirnya yang mungil dan memerah. Matanya seperti mempunyai magnit. Begitu saja saya kemudian terbayang-bayang pada senyumnya, pada tatapannya. Saya tak berani memastikan perasaan apa yang ada. Tapi saya tak mengelak bahwa saya tertarik. Ya, dia sangat menarik. Lincah dan berani. Dia selalu berinisiatif. Untuk nonton misalnya, atau melihat-lihat tempat rekreasi, atau makan di restoran. Saya pikir, saya tidak boleh terjebak untuk cinta. Hanya persahabatan. Dia banyak kali membayar untuk segala ongkos ketika kami jalan berdua. Ini yang membuat saya terikat.

Sampai hari itu, sebuah senja. Suasana memang memungkinkan untuk menjadi romantis. Dia menyebut cinta. Dan saya hanya tersenyum. Sungguh mati, saya tak menanggapi. Saya harus merasa sebagai sebuah gurauan. Tapi kemudian saya tahu, dia serius sekali. Saya tahu betul itu ketika dia mengajak mampir ke rumahnya, bertemu dengan orang tuanya. Firasat saya mengatakan, saya tak disukai. Maka kapan dia menyebut cinta lagi, saya tak hanya merasa ganjil, tapi merinding. Bayangkan, saya telah berkali-kali patah hati.

Suatu hari, dia betul-betul sangat serius. Dia bicara tentang masa depan. Bagai impian anak remaja. Cinta dapat membuat segalanya menjadi indah konon. Meskipun saya tak banyak menanggapi, tapi rupanya dalam pembicaraan saya tidak konsekuen. Saya seperti memberi angin. Saya katakan padanya, andai kata saja bahwa kami berjodoh, apakah orang tuanya akan merestui kami? Dia menjawab tegas, "Mengapa tidak?" Dia begitu gigih dan berapi-api.

Tapi perhitungan saya ternyata benar. Saya tidak kecewa ketika saya mendengar dia mengeluh bahwa orang tuanya tak suka dia begitu dekat dengan saya. Saya malah mengatakan kepadanya, "Saya bukan jodohmu. Saya tahu itu. Dan saya merasa pasti itu." Dia berang sekali.

Hari ini adalah pertemuan yang kesekian. Tapi suasananya sangat lain. Lain sekali. Dia datang dengan mata yang sembap, menenteng dua buah koper. Saya sangat terkejut. Dia menyerbu ke dalam kamar pemondokan saya. Menangis. Dan berteriak minta kawin. Gila!

"Apa-apaan kamu?" tanya saya.
"Saya akan dijodohkan," jawabnya sambil tersendat.
"Lantas?"
"Saya tidak mau karena saya sudah punya pilihan sendiri. Saya jadi bertengkar. Saya tetap ngotot pilih kamu. Saya putuskan lari dari rumah. Kita kawin saja. Kawin!"

Saya menghela napas panjang-panjang. Dia menatapi saya dengan mata yang basah.

"Konyol sekali kamu bikin cerita!" kata saya.
"Saya tidak konyol. Saya tidak mau dipaksa-paksa. Meskipun saya anak, saya punya hak menentukan  nasib saya sendiri. Saya ..."
"Ya. Kamu benar. Kamu punya hak. Tapi ... kawin? Saya pikir itu benar-benar konyol!"
"Konyol bagaimana?"
"Apa kamu kira saya mau kawin dengan kamu?"
Dia melotot.
"Kamu gila-gilaan!" pekiknya.
"Kamu yang gila. Kamu pikir saya bisa kawin? Saya bisa mengawinimu?"
"Kenapa tidak? Saya cinta padamu."
"Tapi saya kan tidak pernah mengatakan bahwa saya juga mencintai kamu?"

Dia seperti menggigil. Matanya makin lebar terbuka. Memandang saya tajam sekali.

"Kamu ... apa kamu bilang? Kamu tidak cinta saya? Lantas untuk apa kita bersama-sama? Lantas atas dasar apa kamu sering mencium saya? Atas dasar apa kita sering bikin janji? Berkencan? Bukan cinta itu namanya?"
"Kalaupun saya mencintai kamu, saya tidak bisa mengawinimu. Saya tahu, kamu betul-betul mabok cinta, kegilaan pada saya. Tapi tahukah kamu bahwa itu menyiksa saya?"
"Menyiksa?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena ada yang tidak beres dalam diri saya. Kamu ngerti?"

Dia masih terbelalak menatap saya. Saya mendekatinya dan berbisik,
"Saya tidak bisa punya anak."
Mukanya pucat.
"Sekarang pulanglah. Kamu harus kembali ke rumah."

Saya tak menunggu reaksinya lagi. Cepat saya angkat kedua kopernya dan saya bawa ke luar. Di jalan raya saya memanggil taksi. Kemudian saya membimbing dia ke luar, membukakan pintu taksi. Dia duduk seperti orang linglung. Ketika taksi itu meluncur, saya tersenyum getir. Saya merasa kehilangan. Saya telah menyelesaikan persoalan dengan baik, saya kira. Dia mungkin tidak akan menemui saya lagi. Kalaupun dia masih penasaran, akan saya katakan bahwa saya menderita impotensi.

Ya. saya akan katakan itu. Tapi sesungguhnya saya tak segawat itu. Saya masih tetap laki-laki normal. Tak ada keanehan. Sedikit keanehan pada diri saya mungkin, adalah: saya memang takut pada cinta. Bisa dibayangkan sekarang: Saya tak punya kerabat, sendiri di kota besar ini, hanya seorang korektor majalah dengan gaji yang pas-pasan untuk hidup sendiri. Dia seorang gadis yang cantik, mahasiswi, calon sarjana, anak orang berada. Begitu banyak perbedaan antara kami. Dan kawin? Itu kan lucu. Mungkin saya sampai tua akan tetap jadi seorang korektor, tak ada yang bisa saya banggakan. Dan besok dia jadi sarjana, hidup dengan lingkungan yang beda dengan dunia saya. Omong kosong untuk perkawinan. Omong kosong untuk cinta kami!

Sebab saya percaya, cinta adalah harapan terus-menerus untuk masa depan. Cinta harus diletakkan pada tempatnya. Cinta adalah untuk kebahagiaan. Bahagiakah kelak seorang sarjana mempunyai suami seorang korektor majalah seperti saya? Saya pastikan jawabnya tidak. Karena itulah saya lebih suka dia mengenal pria lain saja, seorang calon sarjana juga sedikitnya, kalau bisa juga orang yang berada, lebih tampan dari saya dan lebih luas pergaulannya, dan lebih banyak bisa dibanggakan tentunya. Saya kira, cinta juga harus pakai perhitungan! Ini pelajaran mahal dari berkali-kali patah hati yang pernah saya alami.

(Kumpulan Cerpen "Aneka", 1981)




Senin, 07 September 2015

Saya Percaya Keajaiban

5 September 2015

Saya sudah 61 tahun.  Saya hidup dengan bertanya-tanya. Saya tidak mengerti hidup ini. Saya mengalami penuh hal yang baik dan buruk dan saya menderita. Sampai Tuhan memeluk saya.
Saya menerima takdirku.

Saya percaya Tuhan, saya percaya keajaiban.
Syukur kepada Allah.


Kamis, 02 Juli 2015

Pesan Indah Penuh Makna



Saya sedang galau.
Saya menemukan ini pada Facebook teman saya Yeni Fransisca (terima kasih, kawan).
Saya merasakan keindahan dan kedalaman makna.
Kepada siapapun yang membaca saya ucapkan "Semoga terhibur dan salam bahagia."


Meskipun sedang galau, janganlah tercermin di raut muka, karena tak ada orang yang suka melihatnya.
Hidup semiskin apapun, tidak usah diutarakan, karena tak ada orang yang tanpa alasan akan memberikanmu uang.
Bekerja seletih apapun, tak perlu mengomel, karena tak ada orang yang tanpa alasan akan membantumu bekerja .
Hidup yang singkat, tak perlu menuruti isi hati mencari uang, tak ada orang yang akan membayar ongkos kesehatanmu.
Hidup sesulit apapun, jangan kehilangan kepercayaan diri, karena esok hari akan lebih indah.
Seburuk apapun sifatnya, harus tetap berbakti pada orang tua, karena suatu saat nanti kita juga akan menjadi orang tua.
Jangan kuatir menyampaikan isi hatimu pada teman dekat, pertimbangkanlah jika isi hatimu itu hanya akan menjadi lelucon yang akan diceritakan pada orang lain.
Saat sedang bersedih tataplah langit, langit begitu luas untuk bisa menampung segala kesulitanmu.
Jangan lupa kepada orang yang pernah membantumu, jangan benci kepada orang yang pernah mengasihimu, jangan menipu pada orang yang mempercayaimu.
Waktu memang tak dapat membuktikan segalanya, tapi waktu akan membuatmu mengerti banyak hal. Have a nice Thursday everyone, GBU!





Selasa, 21 April 2015

Selamat Hari Kartini & Pesan Pramuria dari Lucknow



Tajuk Rencana harian Kompas pagi ini berjudul "Relevansi Peringatan Hari Kartini". Alinea pembukanya begini, "Hari ini kita kembali memperingati hari kelahiran Kartini seraya mencari relevansi perjuangannya untuk perbaikan kondisi perempuan Indonesia." Dikatakan bahwa banyak perubahan terjadi sejak Kartini memperjuangkan nasib perempuan Indonesia. Zaman sekarang banyak perempuan Indonesia yang hebat dan mengagumkan dalam berbagai bidang. Saya salin ini:

"Meski demikian, perempuan masih mengalami banyak persoalan yang menghambat potensinya berpartisipasi dalam pembangunan.

Salah satunya, masih tingginya angka kematian ibu (AKI). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mencatat AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, kembali seperti situasi tahun 1990. Angka itu jauh dari target Sasaran Pembangunan Milenium, yaitu 102 pada tahun ini dan jauh dari capaian tahun 2007, yaitu 228.

Masih tingginya AKI menjadi ironi karena Kartini meninggal saat melahirkan anak pertamanya pada usia 25 tahun, lebih dari 100 tahun lalu.

Salah satu penyebab tingginya AKI adalah masih terjadinya praktik pernikahan dini pada anak perempuan, belum memadainya layanan kesehatan reproduksi bagi remaja putri dan perempuan, termasuk belum terpenuhinya kebutuhan layanan keluarga berencana."


Artikel opini di halaman tujuh berjudul "Impian Kartini dalam Nawacita" oleh Omas Bulan Samosir. Saya catat,

"Perempuan Indonesia akan bertambah sebanyak 6,3 juta jiwa dari 127,1 juta jiwa pada 2015 menjadi 133,4 juta jiwa pada 2019. Selain itu, pada periode 2015-2019, Indonesia juga akan diwarnai lebih banyaknya perempuan usia 15 tahun ke atas daripada laki-laki usia 15 tahun ke atas. Pencapaian sasaran pembangunan perempuan dan visi pembangunan nasional 2015-2019, terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, akan sangat bergantung pada pemanfaatan dinamika kependudukan ini.

Perempuan Indonesia (masih) mengalami berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Ketidakadilan dan diskriminasi terjadi antara lain dalam akses terhadap pembangunan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja."


Saya menyimpan catatan yang saya salin dari buku "Pramuria dari Lucknow", sebuah novel berdasarkan kisah nyata karya Mirza Mohammad Hadi Ruswa. Saya salinkan lagi di sini satu alinea di penghujung buku, seperti sebuah pesan untuk pendidikan anak perempuan.

"Sebelum kisah saya berakhir, saya ingin menyampaikan beberapa patah kata kepada wanita-wanita sejawat saya. Saya harap kata-kata ini akan terukir di hati mereka. Wahai kaum wanita yang bodoh, janganlah berangan-angan bahwa akan ada orang yang mencintaimu secara sungguh-sungguh. Pacarmu yang pada hari ini bersumpah akan mengorbankan jiwanya untukmu selang sebentar saja akan meninggalkan dirimu. Mereka selamanya takkan teguh, karena engkau tak pantas diteguhi. Yang pantas dihadiahi cinta adalah wanita-wanita yang hanya melihat wajah seorang laki-laki saja. Tuhan takkan menghadiahkan cinta sejati kepada seorang pelacur."

  https://www.facebook.com/notes/opayus-unchained-pearsaga/beberapa-lembar-penutup-buku-pramuria-dari-lucknow-karya-mirza-mohammad-hadi-rus/10150311970294669



Senin, 20 April 2015

Saya Suka Orat-Oret Koran Bekas



Koran bekas mempunyai arti yang penting untuk saya. Hampir setiap hari saya orat-oret koran bekas. Saya memakai kuas dan cat akrilik. Orat-oret ini menjadi permainan yang menarik. Anak kecil dalam diri saya selalu gembira jika bisa bermain cat warna-warni.

Nantinya koran-koran bekas yang sudah penuh coreng moreng akan saya sobek-sobek. Anak kecil dalam diri saya selalu gembira menyobek. Dulu saya suka menyobek dan membakar karya saya yang entah mengapa tiba-tiba rasanya jelek. Padahal waktu baru selesai saya melihatnya bagus dan saya pun menyimpannya. Sejak serius melukis abstrak saya tidak pernah lagi menyobek atau membakar karya yang sudah jadi. Semua lukisan abstrak bagus, siapapun penciptanya. Masalah suka atau tidak suka adalah urusan lain.



Sekarang saya sedang gemar membuat karya kolase. Saya menggunakan karton manila, menempelkan sobekan-sobekan kertas koran di atasnya. Orang dewasa dalam diri saya bekerja setelah mengusir 'orang besar' yang suka sekali nongkrong di dalam otak saya.

Saya asyik berkarya dengan biaya murah dan mudah menyimpan hasilnya. Karena masalah saya sekarang adalah saya kehabisan tempat untuk menyimpan lukisan kanvas saya. Dan saya tidak punya uang untuk terus melukis di kanvas (yang kemudian jadi terasa mewah). Jika saya memakai cat minyak yang bermutu di atas kanvas maka saya akan mati kelaparan. Almarhum pelukis Sriwidodo selalu berseloroh bahwa setiap satu kali tarikan kuasnya berarti seharga satu tusuk sate kambing. Bayangkan jika satu kanvas harus selesai paling sedikit dengan seribu tarikan kuas. Adalah sangat sedih jika ada teman yang minta lukisan gratis, atau kolektor yang menawar lukisan semurah mungkin. Saya pernah marah kepada kerabat istri yang mau membeli lukisan kanvas saya untuk menghias dinding kantor barunya, setelah setuju harga eh esoknya menawar lagi. Saya ngambek untuk batal menjual, titik. Yang susah jadinya istri saya. Betapa menderitanya dia mempunyai suami pelukis abstrak yang tak terkenal.

Orang besar dalam diri saya selalu bicara tentang pameran di Paris, punya apartemen sebagai studio, punya museum galeri khusus karya saya dengan gedung bertingkat-tingkat. Dia tidak suka anak-anak bermain cat di atas koran bekas, karena menurutnya seni harus diajarkan serius sejak bocah. Dia marah jika melihat orang tidak serius membuat karya seni. Dia muak membaca puisi-puisi penyair dadakan di Facebook. Dia berteman dengan Vincent van Gogh dan Picasso yang sudah lama meninggal. Dia lupa bahwa seni adalah hiburan.

Anak kecil di dalam diri saya selalu menghibur diri saya dengan ulah orat-oretnya. Orang dewasa dalam diri saya selalu sibuk bekerja untuk sehat. Orang besar dalam diri saya menemani saya menjelang tidur, mendongeng cerita sejuta satu malam.

Anak kecil di dalam diri saya selalu membangunkan saya pada dini hari dan mengajak saya ke studio 'ngeleukeup' di loteng belakang rumah. Saya ingat kenangan terjauh waktu bocah, acara setiap pagi di pekarangan rumah pada latar tanah yang berdebu. Anak kecil itu berjongkok buang air besar sambil mencorat-coret tanah berdebu dengan patahan ranting atau lidi atau pecahan genteng. Sampai ibu datang dengan pengki bambu dan sapu lidi, menyaup kotoran sekaligus menghapus lukisan di tanah karena harus menimbun kotoran dengan debu. Kenangan masa kecil yang indah.


https://www.facebook.com/pelukis.yusidjaya/media_set?set=a.657796524352136.1073741828.100003653841074&type=3

https://www.facebook.com/pelukis.yusidjaya/media_set?set=a.658266984305090.1073741829.100003653841074&type=3

Selasa, 14 April 2015

Saya Suka Keluarga



Hari ini putra kedua saya ulang tahun. Dia anak tengah dari tiga saudara. Selamat ulang tahun, nak. Bahagia selalu, Tuhan memberkati.

Anak kami tiga orang, laki-laki semua. Istri saya yang baik telah mewujudkan impian saya untuk punya anak. Karena saya tidak punya rahim maka saya sangat berterima kasih untuk ini. Membayangkan betapa relanya dia mengandung dan melahirkan tiga kali, saya merasa berhutang budi. Mengingat bahwa persalinan adalah pengalaman perjuangan hidup dan mati, maka saya merasa berhutang tiga nyawa.

Saya mengenal istri saya waktu saya masih sekolah di STM. Pada suatu pagi sepulang begadang saya diajak ke rumah teman saya yang rumahnya tidak jauh dari sekolah. Kami begadang di sekolah mengerjakan pekerjaan tukang reklame membuat papan nama sekolah. Dalam keadaan teler karena sangat mengantuk saya melihat gadis adik teman saya ini. Saya masih ingat bagaimana pandangan pertamanya menatap saya. Dan ketika diperkenalkan, di telinga saya terngiang suara, "Inilah calon isterimu." Sekarang saya percaya itu suara Tuhan.

Kami berpacaran enam tahun lebih. Waktu melamarnya saya bilang (disaksikan jendela tua berteralis besi seperti penjara yang tak berubah sampai sekarang), "Marilah kita menikah, kamu urus surat-surat untuk menikah di Catatan Sipil. Saya bisa menyenangkan hidupmu, tetapi saya tidak bisa berjanji untuk menjadi kaya raya." Rasanya seperti itu yang saya katakan. Dan dia hanya mengangguk saja.

Sejak pacaran kami telah bersama-sama lebih dari empat puluh tahun. Kami menikah tiga kali: di Catatan Sipil, sebulan kemudian di rumahnya (rumah tua kesayangan kami yang kami tinggali sampai sekarang), dan di Gereja setelah anak-anak cukup besar, ikut pemutihan bagi pasutri yang belum dapat Sakramen Perkawinan.

Kami telah melewati banyak suka duka bersama. Saya belajar cinta darinya. Anak-anak kami lahir dengan direncanakan dan dibuat dengan indah. Istri saya mewujudkan impian saya menjadi ayah yang baik (meskipun saya merasa banyak bersalah). Istri saya sangat hebat karena ada tahun-tahun di mana dia mengurus empat orang anak dan yang paling tua dan paling menjengkelkan adalah saya.

Saya percaya kepada perkawinan dan sifat cinta yang memiliki. Saya orang yang lemah hati. Saya pernah baca pada sebuah poster di dinding sekolah Katolik ucapan seorang suci yang kira-kira begini, "Kepada orang yang lemah hati ceritakanlah tentang kebesaran kasih Tuhan." Istri saya adalah anugerah.

Saya pernah merasa hidup yang sangat gila, dan mengadukan derita tak tertanggungkan kepada teman baik saya. Jawabnya sedih, "Kamu masih lebih beruntung dari saya karena kamu masih memiliki keluarga."

Saya tidak mengerti tentang cinta sejati dan belahan jiwa, tetapi saya percaya bahwa saya adalah belahan jiwa istri saya. Kami akan terus bersama menjadi tua karena yang terbaik belum terjadi.



Senin, 13 April 2015

Otak Koruptor & Saya




Saya pernah membuat sajak waktu saya SMP dan dimuat di koran Yudha Minggu berjudul "Kepada Koruptor dan Pengchianat" (masih ejaan lama). Sajak yang marah.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=836541689708023&set=a.412718745423655.87847314.100000565985102&type=3&theater

Kemarin saya membaca berita utama Kompas, alinea pembuka,
"JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Jumat (10/4). Suryadharma ditahan setelah pada 22 Mei 2014 ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013 dan 2010-2011."

Saya tidak habis pikir mengapa seorang menteri agama mau korupsi? Menurut hemat saya orang yang mengerti agama tidak akan korupsi.

Waktu saya bocah, nenek suka mengomel, "Dasar otak udang!". Itu artinya 'bodoh'. Saya telah melakukan sesuatu yang bodoh menurut nenek. Saya tidak peduli dikatakan berotak udang. Suatu kali saya melihat sendiri bahwa kepala udang berisi kotoran atau tahi. Sejak itu saya protes jika diomeli begitu. Saya tidak merasa punya otak Einstein tetapi saya tahu bahwa saya tidak bodoh untuk percaya bahwa otak saya sama dengan milik udang.

Otak Albert Einstein diawetkan untuk penyelidikan. Apakah otak orang jenius berbeda?
http://id.wikipedia.org/wiki/Otak_Albert_Einstein

Saya orang yang sangat berperasaan, saya sering berpikir bahwa mungkin ada kelainan di otak saya. Waktu saya bocah, nenek saya juga sering ngomel mengatakan otak saya 'mencong'. Waktu remaja saya sudah merasa jadi orang aneh. Saya suka melamun berlama-lama, saya suka melantur jika bicara sampai bisa menyebalkan orang. Sekarang saya suka sekali melukis abstrak, mungkin karena kesalahan saya melihat dunia. Saya tersenyum sendiri.

Saya selalu melihat semua orang baik. Seorang teman seniman pernah mengingatkan saya agar jangan terlalu naif. Waktu saya merasa sangat kecewa dengan diri sendiri, merasa terhina atau dilecehkan, bahkan merasa ditelanjangi, saya pikir otak saya memang berhenti berkembang selagi bocah.
(Pertanyaan saya: sudahkah Anda mengalami ditelanjangi?)

Saya percaya teori evolusi dan makhluk hidup yang disebut manusia ini mengembangkan otaknya. Saya rasa otak orang jahat lebih besar dari orang baik. Dan koruptor begitu rupa menjejali uang di otaknya sampai batok kepalanya mau pecah.

Saya ingat pada sebuah film, penjahat yang kaya raya bilang pada temannya, kira-kira begini, "Uang lebih nikmat dari seks." Saya pikir otak saya memang mencong karena tidak mengerti.

Menurut saya, otak koruptor mestinya berbeda karena mereka adalah orang yang sangat pintar, hebat dan terkenal, yang nyaris tak bisa kena jerat hukum. Saya usul agar otak koruptor top yang mati hendaknya bisa diawetkan dan diselidiki seperti otak Einstein. Setidaknya taruhlah di museum agar orang bisa melihat dan mengingat bahwa korupsi bukan kejahatan biasa, sangatlah keji.

Saya suka otak saya, saya merasa mungkin memang mencong tapi saya percaya Tuhan sengaja memasang begitu rupa.

https://www.facebook.com/notes/korupsi-emang-gue-pikirin/pemberantasan-korupsi-kejahatan-luar-biasa-kok-dianggap-biasa/1568375826746567