Selasa, 21 April 2015

Selamat Hari Kartini & Pesan Pramuria dari Lucknow



Tajuk Rencana harian Kompas pagi ini berjudul "Relevansi Peringatan Hari Kartini". Alinea pembukanya begini, "Hari ini kita kembali memperingati hari kelahiran Kartini seraya mencari relevansi perjuangannya untuk perbaikan kondisi perempuan Indonesia." Dikatakan bahwa banyak perubahan terjadi sejak Kartini memperjuangkan nasib perempuan Indonesia. Zaman sekarang banyak perempuan Indonesia yang hebat dan mengagumkan dalam berbagai bidang. Saya salin ini:

"Meski demikian, perempuan masih mengalami banyak persoalan yang menghambat potensinya berpartisipasi dalam pembangunan.

Salah satunya, masih tingginya angka kematian ibu (AKI). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mencatat AKI sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup, kembali seperti situasi tahun 1990. Angka itu jauh dari target Sasaran Pembangunan Milenium, yaitu 102 pada tahun ini dan jauh dari capaian tahun 2007, yaitu 228.

Masih tingginya AKI menjadi ironi karena Kartini meninggal saat melahirkan anak pertamanya pada usia 25 tahun, lebih dari 100 tahun lalu.

Salah satu penyebab tingginya AKI adalah masih terjadinya praktik pernikahan dini pada anak perempuan, belum memadainya layanan kesehatan reproduksi bagi remaja putri dan perempuan, termasuk belum terpenuhinya kebutuhan layanan keluarga berencana."


Artikel opini di halaman tujuh berjudul "Impian Kartini dalam Nawacita" oleh Omas Bulan Samosir. Saya catat,

"Perempuan Indonesia akan bertambah sebanyak 6,3 juta jiwa dari 127,1 juta jiwa pada 2015 menjadi 133,4 juta jiwa pada 2019. Selain itu, pada periode 2015-2019, Indonesia juga akan diwarnai lebih banyaknya perempuan usia 15 tahun ke atas daripada laki-laki usia 15 tahun ke atas. Pencapaian sasaran pembangunan perempuan dan visi pembangunan nasional 2015-2019, terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, akan sangat bergantung pada pemanfaatan dinamika kependudukan ini.

Perempuan Indonesia (masih) mengalami berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Ketidakadilan dan diskriminasi terjadi antara lain dalam akses terhadap pembangunan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja."


Saya menyimpan catatan yang saya salin dari buku "Pramuria dari Lucknow", sebuah novel berdasarkan kisah nyata karya Mirza Mohammad Hadi Ruswa. Saya salinkan lagi di sini satu alinea di penghujung buku, seperti sebuah pesan untuk pendidikan anak perempuan.

"Sebelum kisah saya berakhir, saya ingin menyampaikan beberapa patah kata kepada wanita-wanita sejawat saya. Saya harap kata-kata ini akan terukir di hati mereka. Wahai kaum wanita yang bodoh, janganlah berangan-angan bahwa akan ada orang yang mencintaimu secara sungguh-sungguh. Pacarmu yang pada hari ini bersumpah akan mengorbankan jiwanya untukmu selang sebentar saja akan meninggalkan dirimu. Mereka selamanya takkan teguh, karena engkau tak pantas diteguhi. Yang pantas dihadiahi cinta adalah wanita-wanita yang hanya melihat wajah seorang laki-laki saja. Tuhan takkan menghadiahkan cinta sejati kepada seorang pelacur."

  https://www.facebook.com/notes/opayus-unchained-pearsaga/beberapa-lembar-penutup-buku-pramuria-dari-lucknow-karya-mirza-mohammad-hadi-rus/10150311970294669



Senin, 20 April 2015

Saya Suka Orat-Oret Koran Bekas



Koran bekas mempunyai arti yang penting untuk saya. Hampir setiap hari saya orat-oret koran bekas. Saya memakai kuas dan cat akrilik. Orat-oret ini menjadi permainan yang menarik. Anak kecil dalam diri saya selalu gembira jika bisa bermain cat warna-warni.

Nantinya koran-koran bekas yang sudah penuh coreng moreng akan saya sobek-sobek. Anak kecil dalam diri saya selalu gembira menyobek. Dulu saya suka menyobek dan membakar karya saya yang entah mengapa tiba-tiba rasanya jelek. Padahal waktu baru selesai saya melihatnya bagus dan saya pun menyimpannya. Sejak serius melukis abstrak saya tidak pernah lagi menyobek atau membakar karya yang sudah jadi. Semua lukisan abstrak bagus, siapapun penciptanya. Masalah suka atau tidak suka adalah urusan lain.



Sekarang saya sedang gemar membuat karya kolase. Saya menggunakan karton manila, menempelkan sobekan-sobekan kertas koran di atasnya. Orang dewasa dalam diri saya bekerja setelah mengusir 'orang besar' yang suka sekali nongkrong di dalam otak saya.

Saya asyik berkarya dengan biaya murah dan mudah menyimpan hasilnya. Karena masalah saya sekarang adalah saya kehabisan tempat untuk menyimpan lukisan kanvas saya. Dan saya tidak punya uang untuk terus melukis di kanvas (yang kemudian jadi terasa mewah). Jika saya memakai cat minyak yang bermutu di atas kanvas maka saya akan mati kelaparan. Almarhum pelukis Sriwidodo selalu berseloroh bahwa setiap satu kali tarikan kuasnya berarti seharga satu tusuk sate kambing. Bayangkan jika satu kanvas harus selesai paling sedikit dengan seribu tarikan kuas. Adalah sangat sedih jika ada teman yang minta lukisan gratis, atau kolektor yang menawar lukisan semurah mungkin. Saya pernah marah kepada kerabat istri yang mau membeli lukisan kanvas saya untuk menghias dinding kantor barunya, setelah setuju harga eh esoknya menawar lagi. Saya ngambek untuk batal menjual, titik. Yang susah jadinya istri saya. Betapa menderitanya dia mempunyai suami pelukis abstrak yang tak terkenal.

Orang besar dalam diri saya selalu bicara tentang pameran di Paris, punya apartemen sebagai studio, punya museum galeri khusus karya saya dengan gedung bertingkat-tingkat. Dia tidak suka anak-anak bermain cat di atas koran bekas, karena menurutnya seni harus diajarkan serius sejak bocah. Dia marah jika melihat orang tidak serius membuat karya seni. Dia muak membaca puisi-puisi penyair dadakan di Facebook. Dia berteman dengan Vincent van Gogh dan Picasso yang sudah lama meninggal. Dia lupa bahwa seni adalah hiburan.

Anak kecil di dalam diri saya selalu menghibur diri saya dengan ulah orat-oretnya. Orang dewasa dalam diri saya selalu sibuk bekerja untuk sehat. Orang besar dalam diri saya menemani saya menjelang tidur, mendongeng cerita sejuta satu malam.

Anak kecil di dalam diri saya selalu membangunkan saya pada dini hari dan mengajak saya ke studio 'ngeleukeup' di loteng belakang rumah. Saya ingat kenangan terjauh waktu bocah, acara setiap pagi di pekarangan rumah pada latar tanah yang berdebu. Anak kecil itu berjongkok buang air besar sambil mencorat-coret tanah berdebu dengan patahan ranting atau lidi atau pecahan genteng. Sampai ibu datang dengan pengki bambu dan sapu lidi, menyaup kotoran sekaligus menghapus lukisan di tanah karena harus menimbun kotoran dengan debu. Kenangan masa kecil yang indah.


https://www.facebook.com/pelukis.yusidjaya/media_set?set=a.657796524352136.1073741828.100003653841074&type=3

https://www.facebook.com/pelukis.yusidjaya/media_set?set=a.658266984305090.1073741829.100003653841074&type=3

Selasa, 14 April 2015

Saya Suka Keluarga



Hari ini putra kedua saya ulang tahun. Dia anak tengah dari tiga saudara. Selamat ulang tahun, nak. Bahagia selalu, Tuhan memberkati.

Anak kami tiga orang, laki-laki semua. Istri saya yang baik telah mewujudkan impian saya untuk punya anak. Karena saya tidak punya rahim maka saya sangat berterima kasih untuk ini. Membayangkan betapa relanya dia mengandung dan melahirkan tiga kali, saya merasa berhutang budi. Mengingat bahwa persalinan adalah pengalaman perjuangan hidup dan mati, maka saya merasa berhutang tiga nyawa.

Saya mengenal istri saya waktu saya masih sekolah di STM. Pada suatu pagi sepulang begadang saya diajak ke rumah teman saya yang rumahnya tidak jauh dari sekolah. Kami begadang di sekolah mengerjakan pekerjaan tukang reklame membuat papan nama sekolah. Dalam keadaan teler karena sangat mengantuk saya melihat gadis adik teman saya ini. Saya masih ingat bagaimana pandangan pertamanya menatap saya. Dan ketika diperkenalkan, di telinga saya terngiang suara, "Inilah calon isterimu." Sekarang saya percaya itu suara Tuhan.

Kami berpacaran enam tahun lebih. Waktu melamarnya saya bilang (disaksikan jendela tua berteralis besi seperti penjara yang tak berubah sampai sekarang), "Marilah kita menikah, kamu urus surat-surat untuk menikah di Catatan Sipil. Saya bisa menyenangkan hidupmu, tetapi saya tidak bisa berjanji untuk menjadi kaya raya." Rasanya seperti itu yang saya katakan. Dan dia hanya mengangguk saja.

Sejak pacaran kami telah bersama-sama lebih dari empat puluh tahun. Kami menikah tiga kali: di Catatan Sipil, sebulan kemudian di rumahnya (rumah tua kesayangan kami yang kami tinggali sampai sekarang), dan di Gereja setelah anak-anak cukup besar, ikut pemutihan bagi pasutri yang belum dapat Sakramen Perkawinan.

Kami telah melewati banyak suka duka bersama. Saya belajar cinta darinya. Anak-anak kami lahir dengan direncanakan dan dibuat dengan indah. Istri saya mewujudkan impian saya menjadi ayah yang baik (meskipun saya merasa banyak bersalah). Istri saya sangat hebat karena ada tahun-tahun di mana dia mengurus empat orang anak dan yang paling tua dan paling menjengkelkan adalah saya.

Saya percaya kepada perkawinan dan sifat cinta yang memiliki. Saya orang yang lemah hati. Saya pernah baca pada sebuah poster di dinding sekolah Katolik ucapan seorang suci yang kira-kira begini, "Kepada orang yang lemah hati ceritakanlah tentang kebesaran kasih Tuhan." Istri saya adalah anugerah.

Saya pernah merasa hidup yang sangat gila, dan mengadukan derita tak tertanggungkan kepada teman baik saya. Jawabnya sedih, "Kamu masih lebih beruntung dari saya karena kamu masih memiliki keluarga."

Saya tidak mengerti tentang cinta sejati dan belahan jiwa, tetapi saya percaya bahwa saya adalah belahan jiwa istri saya. Kami akan terus bersama menjadi tua karena yang terbaik belum terjadi.



Senin, 13 April 2015

Otak Koruptor & Saya




Saya pernah membuat sajak waktu saya SMP dan dimuat di koran Yudha Minggu berjudul "Kepada Koruptor dan Pengchianat" (masih ejaan lama). Sajak yang marah.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=836541689708023&set=a.412718745423655.87847314.100000565985102&type=3&theater

Kemarin saya membaca berita utama Kompas, alinea pembuka,
"JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Jumat (10/4). Suryadharma ditahan setelah pada 22 Mei 2014 ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2012-2013 dan 2010-2011."

Saya tidak habis pikir mengapa seorang menteri agama mau korupsi? Menurut hemat saya orang yang mengerti agama tidak akan korupsi.

Waktu saya bocah, nenek suka mengomel, "Dasar otak udang!". Itu artinya 'bodoh'. Saya telah melakukan sesuatu yang bodoh menurut nenek. Saya tidak peduli dikatakan berotak udang. Suatu kali saya melihat sendiri bahwa kepala udang berisi kotoran atau tahi. Sejak itu saya protes jika diomeli begitu. Saya tidak merasa punya otak Einstein tetapi saya tahu bahwa saya tidak bodoh untuk percaya bahwa otak saya sama dengan milik udang.

Otak Albert Einstein diawetkan untuk penyelidikan. Apakah otak orang jenius berbeda?
http://id.wikipedia.org/wiki/Otak_Albert_Einstein

Saya orang yang sangat berperasaan, saya sering berpikir bahwa mungkin ada kelainan di otak saya. Waktu saya bocah, nenek saya juga sering ngomel mengatakan otak saya 'mencong'. Waktu remaja saya sudah merasa jadi orang aneh. Saya suka melamun berlama-lama, saya suka melantur jika bicara sampai bisa menyebalkan orang. Sekarang saya suka sekali melukis abstrak, mungkin karena kesalahan saya melihat dunia. Saya tersenyum sendiri.

Saya selalu melihat semua orang baik. Seorang teman seniman pernah mengingatkan saya agar jangan terlalu naif. Waktu saya merasa sangat kecewa dengan diri sendiri, merasa terhina atau dilecehkan, bahkan merasa ditelanjangi, saya pikir otak saya memang berhenti berkembang selagi bocah.
(Pertanyaan saya: sudahkah Anda mengalami ditelanjangi?)

Saya percaya teori evolusi dan makhluk hidup yang disebut manusia ini mengembangkan otaknya. Saya rasa otak orang jahat lebih besar dari orang baik. Dan koruptor begitu rupa menjejali uang di otaknya sampai batok kepalanya mau pecah.

Saya ingat pada sebuah film, penjahat yang kaya raya bilang pada temannya, kira-kira begini, "Uang lebih nikmat dari seks." Saya pikir otak saya memang mencong karena tidak mengerti.

Menurut saya, otak koruptor mestinya berbeda karena mereka adalah orang yang sangat pintar, hebat dan terkenal, yang nyaris tak bisa kena jerat hukum. Saya usul agar otak koruptor top yang mati hendaknya bisa diawetkan dan diselidiki seperti otak Einstein. Setidaknya taruhlah di museum agar orang bisa melihat dan mengingat bahwa korupsi bukan kejahatan biasa, sangatlah keji.

Saya suka otak saya, saya merasa mungkin memang mencong tapi saya percaya Tuhan sengaja memasang begitu rupa.

https://www.facebook.com/notes/korupsi-emang-gue-pikirin/pemberantasan-korupsi-kejahatan-luar-biasa-kok-dianggap-biasa/1568375826746567

Minggu, 12 April 2015

Film "The Imitation Game"




Saya menonton film "The Imitation Game". Film bagus ini sangat mengganggu saya.
http://www.imdb.com/title/tt2084970/
http://id.wikipedia.org/wiki/The_Imitation_Game


Alan Turing: Do you know why people like violence? It is because it feels good. Humans find violence deeply satisfying. But remove the satisfaction, and the act becomes... hollow.
http://www.imdb.com/title/tt2084970/quotes?ref_=tt_ql_3


Saya copas dari KOMPAS.COM:


Kegeniusan di Dunia Rata-rata
 
Dengan akting yang luar biasa dan kisah intelijen yang tidak biasa, The Imitation Game yang terinspirasi dari kisah nyata ini menjadi film yang memikat. Kita dihadapkan pada nasib kegeniusan manusia yang tidak memperoleh tempat selayaknya di dunia yang tingkatannya rata-rata.

Alan Turing (Benedict Cumberbatch), pemuda genius, ahli matematika yang sepanjang hidupnya dilecehkan oleh sekitarnya, direkrut oleh intelijen Inggris pada Perang Dunia II. Ia bersama sejumlah ahli lain ditugaskan untuk memecahkan pesan-pesan sandi Nazi Jerman yang menggunakan mesin sandi Enigma. Pesan-pesan pasukan Jerman itu memang tercegat oleh intelijen Sekutu, tetapi kodenya tidak dapat dipecahkan. Akibatnya, kekuatan perang Sekutu selalu luluh lantak oleh gempuran pasukan Jerman.

Turing yang berpembawaan dingin, hanyut dalam pikirannya sendiri, selalu canggung dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ia bisa dengan mudah melihat relasi dalam pola-pola rumit yang tak tertangkap mata biasa. Sebaliknya, ia tak bisa menangkap makna komunikasi sederhana dalam lingkungannya. Turing, misalnya, bingung menjawab ketika diajak makan siang oleh rekan-rekannya.

Kilas balik yang munculnya berselang-seling dalam film ini membantu kita untuk mengenal dunia Turing dalam tiga periode penting, yaitu masa ”kini” ketika Turing mengalami proses interogasi oleh detektif Inggris; masa ketika ia remaja dan pertama kali dikenalkan pada dunia sandi oleh satu-satunya sahabat, Christopher; dan masa yang menjadi fokus film ini ketika ia bersama para ilmuwan lain dikumpulkan di Bletchley Park untuk memecahkan sandi Enigma.

Satu hal yang diyakini Turing, mesin harus dipecahkan oleh mesin. Namun, untuk meyakinkan atasannya, Komandan Denniston (Charles Dance), bukan hal mudah. Di sini kita menyaksikan ”penderitaan” Turing yang pemikirannya jauh ke depan namun tak ada yang bisa mengerti, dan malah harus berhadapan dengan aturan militer yang kaku dan penuh disiplin. Untunglah hadir Joan Clarke (Keira Knightley), perempuan genius yang bisa mengerti ”bahasa” Turing. Turing terpikat bukan karena kecantikan Joan, melainkan karena keterpesonaannya pada alam pikir Joan yang setara dengan dirinya, dan Joan memiliki apa yang tidak dimilikinya, keluwesan sosial. Bersama Joan, Turing merasa aman dalam dunia yang tidak dimengertinya.

Terlecut oleh ”ketidaksengajaan” Turing kemudian menemukan ”kunci” yang membuka jalan terwujudnya mesin Christopher—diambil dari nama sahabat yang dicintainya—yang merupakan cikal bakal komputer yang kita nikmati saat ini. Ketegangan berikutnya adalah bagaimana membuat pihak Jerman tidak tahu bahwa Sekutu telah berhasil membongkar Enigma.

Dramatisasi selanjutnya adalah interpretasi terhadap kehidupan nyata Turing yang kesepian dan tidak bahagia karena harus menyembunyikan identitasnya sebagai gay. Pada masa itu, orientasi gay masih dianggap sebagai tindakan ilegal. Turing memilih untuk menjalani terapi hormon daripada dipenjara, pilihan yang perlahan ”membunuh”-nya. Sampai saat ini tetap ada spekulasi bahwa ia dibunuh oleh intelijen Inggris sendiri karena kekhawatiran kegeniusannya akan dimanfaatkan pihak lawan di masa Perang Dingin. Turing memang hidup di zaman yang salah. Ia bunuh diri di usia yang masih sangat muda, 41 tahun.

Film ini istimewa karena Cumberbatch bermain cemerlang. Sulit membayangkan aktor lain yang bisa memerankan kegeniusan dan keanehan Turing dengan demikian intens. Oscar sangat pantas untuk dirinya. (MYR)

The Imitation Game

* Sutradara: Morten Tyldum
* Produser: Nora Grossman
* Skenario: Graham Moore
* Pemeran: Benedict Cumberbatch, Keira Knightley, Matthew Goode, Rory Kinnear, Charles Dance
* Produksi: Black Bear Pictures. FilmNation Entertainment

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Februari 2015, di halaman 29 dengan judul "Kegeniusan di Dunia Rata-rata".


   

Minggu, 05 April 2015

Saya Suka Liang Liu dan Bayi



”Aku merasa bentuk pohon itu puitis sekali. Merunduk namun tak jatuh. Di Barat, pohon itu dinamakan Weeping Willow. Di sini, banyak yang menamainya Janda Merana. Kurasa-rasa pohon itu memang tampak sedih. Mungkin karena itu aku menyukainya. Karena aku menyukai kesedihan.”

Satu alinea ini saya ambil dari cerpen Kompas hari ini, Minggu, 5 April 2015. Judulnya "Liang Liu" karya Dewi Ria Utari. Saya membacanya sebagai cerita misteri.

Judulnya membawa saya kembali ke masa kecil. Saya mengenal pohon Liang Liu ketika saya di pangkuan nenek di dalam becak yang berdesakan dengan ibu, kakak dan adik saya. Di jalan banyak pohon yang sangat menarik perhatian saya, dan saya menanyakan itu pohon apa. Nenek menjawab, "Liang Liu". Entah mengapa saya suka pohon ini. Setelah SD saya tahu jalan itu bernama Kepu Selatan, jalur saya berjalan kaki ke sekolah di Bungur Besar. Pulang sekolah jika tidak menyusur jalan kereta api maka saya menembus lewat jalan rumah sepupu saya Ernia Setiawan, jl. Kepu Utara. Rumah Ernia luas dan banyak pohonan. Mungkin ada pohon Liang Liu juga, karena waktu itu banyak saya temukan di mana-mana. Sekarang sudah tidak ada karena pelebaran jalan di seluruh ibukota, Halaman depan rumah habis diambil jalan raya. Jika ada jalur hijau kebanyakan pohon Angsana. Tiba-tiba saya rindu pada Liang Liu dan ingin memandangnya lama-lama. Saya pernah membawa Liang Liu ke dalam sajak saya waktu saya remaja. Bunyi lariknya begini, "Di luar, pohon liangliu diam, daunnya tiba-tiba kaku!"




Sekarang tentang bayi. Di rubrik Nama & Peristiwa ada foto pesohor Happy Salma bersama bayinya. Dia baru melahirkan secara normal, padahal kini zaman operasi caesar. Saya salin satu alinea,

"Sejak awal kehamilannya, aktris serba bisa ini sudah memantapkan hati untuk melahirkan secara normal. Ia menolak berbagai tawaran melahirkan gratis di rumah sakit besar asalkan mau caesar dan bersedia mengadakan jumpa pers. Kelahiran normal itu, kata Happy, membuatnya bisa merasakan betapa dulu ibundanya dengan susah payah melahirkannya. ”Itu sakit sekali, tetapi itulah saat paling bahagia, di mana aku jadi tahu gimana dulu ibuku melahirkan, apalagi dengan fasilitas kedokteran yang tidak seperti sekarang,” kata Happy."

Saya suka bayi karena sejak kecil saya berteman dengan bayi. Saya membantu mengasuh adik-adik saya, dan ketika SMP tinggal di Bogor saya mengasuh sepupu, anak paman. Saya punya putra pertama di usia 24, senang bercampur bingung menjadi ayah pada usia muda. Putra saya tiga, berteman dengan mereka sejak bayi karena saya bekerja di rumah. Kenangan saya kepada cucu cantik pertama adalah menggendongnya dan meninabobokannya dengan lagu rohani yang liriknya saya nyanyikan berulang-ulang, "Aku memuji kebesaranMu/Sungguh besar kuasaMu." dan dia selalu terlelap dalam pelukan saya.

Ketiga putra saya lahir di RS Carolus tak jauh dari rumah kami. Semua ditangani bidan dan lahir secara normal. Waktu istri saya melahirkan putra sulung saya pingsan di ruang tunggu dan dibawa ke UGD. Saya trauma waktu kelahiran anak kedua tetapi kerabat dan teman menghibur saya dengan bermain kartu gaple di ruang tunggu. Untung tidak menunggu terlalu lama hingga saya tidak pingsan lagi. Waktu kelahiran anak ketiga semua baik-baik saja.

Saya suka bayi. Saya menulis sajak ini setelah menengok istri teman baik yang melahirkan, di kebidanan jauh dari rumah saya, di kampung pinggir kota. saya pun kemudian menjadi bapak permandian sang bayi yang sekarang sudah jadi mahasiswa. Sukses selalu, nak.


BAYI

lamat kudengar tangis bayi
dari sulung yang kini remaja
atau putramu yang baru lahir, kawan
mungkin dari rumah sakit dekat rumah
atau di negeri jauh
yang penuh perang dan kelaparan

kubayangkan bayi tergolek merah
dengan kedua tangan mencakar-cakar
di rumah ini, kamarmu, atau boks rumah sakit
di dada wanita hitam yang sudah kaku
di emper toko
di dalam kantong plastik di semak-semak

bayi adalah keajaiban, katamu



Sabtu, 04 April 2015

Saya Percaya Tuhan


Seketika altar kosong  begitu saja. Tak ada penutup pada misa. Umat bubar. Jumat Agung, Tuhan Yesus sudah wafat.
Tiga hari lagi Dia bangkit dari kematian. Umat Kristiani merayakan Paskah.

Di buku "Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia" (penerbit Esensi, divisi Penerbit Erlangga, 2008) disalin "Khotbah di Bukit" dari Alkitab (Matius 5-7). Saya salinkan alinea pertama pengantar pada bagian "Yesus dari Nazareth":

"Bagi banyak orang, kata-kata Yesus yang terangkum dalam "Khotbah di Bukit" merupakan intisari kekristenan -- pokok-pokok ajaran Yesus. Yesus dari Nazareth adalah seorang guru Yahudi abad pertama yang disalibkan oleh orang Romawi. Orang-orang Kristen percaya bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan merupakan Anak Allah. Melalui Yesuslah Allah menampakkan diri kepada dunia, dan melalui kematian Yesus dunia didamaikan kembali dengan Allah. Kekristenan adalah salah satu agama besar di dunia dan didasarkan atas ajaran Yesus dan murid-muridnya yang ditulis dalam Injil Perjanjian Baru."


Saya paling enggan bicara tentang Tuhan dan agama. Bagi saya Tuhan sangat pribadi, pengalaman saya bersama Tuhan di luar nalar. Dan membicarakan agama hanya membuat saya merasa menjadi orang yang paling beriman. Semua orang fanatik dengan agamanya.

Pernah seorang teman mengatakan dengan serius bahwa dia lebih Katolik dari saya. Saya tertawa dan bertanya, bagaimana dia mengukurnya? Apa karena saya malas ke gereja dan tidak memakai kalung rosario? Padahal saya rajin berdoa, sangat suka berdoa, dan waktu melukis saya berdoa panjang.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang percaya mistik dan tahayul, akrab dengan hio, kemenyan dan sesajen. Dulu ada banyak sekali larangan yang tidak saya mengerti alasannya tetapi saya percaya. Waktu bocah saya harus 'numpang-numpang' kalau mau buang air kecil di alam bebas. Jika lewat pohon besar saya diajarkan untuk minta permisi dengan berbisik, "Numpang-numpang... numpang lewat, Nek." Selesai berucap saya lari sekencang-kencangnya. Pohon Asam besar dan pohon Waru besar dekat rumah seperti nenek raksasa hitam di waktu malam.

Saya pernah mengalami 'kiamat', kejadian yang sangat menghancurkan hati saya dan tak pernah sedikit pun saya membayangkan bisa terjadi dalam hidup saya. Saya terus-terusan menangis dan meratap, jika bisa saya pasti telah memeluki Dinding Ratapan di Yerusalem. Saya membaca Kitab Ratapan di Perjanjian Lama (saya sangat suka mengulang membacanya sebagai puisi). Saya kehilangan Tuhan sampai suatu saat saya roboh di kamar mandi dalam ratapan tangis terakhir. Tuhan menggantikan hati saya yang hancur dengan hatiNya. Saya hidup baru.

Belum lama ini teman saya yang pelukis realis datang. Meskipun beda aliran tetapi kami merasa punya persamaan: pelukis tak terkenal dan miskin. Kami ngobrol penuh tawa getir karena menertawakan coreng-moreng hidup kami. Katanya, sebagai pelukis kami hidup terlalu berperasaan. Banyak temannya pelukis yang menjadi dukun atau penyembuh orang sakit. Ada yang jadi paranormal kaya dan berhenti melukis. "Kita juga bisa jadi paranormal tapi kita memilih tetap jadi pelukis," lanjutnya sambil tertawa lagi. Saya meng-iya-kan.

Saya suka lagu "Imagine" John Lennon. Pada waktu kehilangan Tuhan saya ikut membayangkan apa yang dikatakan lirik lagu ini. Ya, jika  di atas langit tidak ada surga, tidak ada neraka, di dunia tetap harus ada cinta. Orang harus bisa menyayangi sesamanya karena sama-sama terdiri dari tulang-daging-darah, karena sama-sama bisa merasa sakit dan menderita, karena semua orang ingin hidup aman dan bahagia sampai ajal tiba.

Saya membaca buku "Sejarah Tuhan" karya Karen Armstrong dengan semangat sastra. Buku ini saya pujikan, banyak menambah pemahaman saya tentang manusia & agama. Buku ini membuat saya makin enggan untuk bicara apalagi diskusi agama.



Saya mencatat alinea pertama kata pengantar dari Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi untuk buku "God Without Religion" oleh Sankara Saranam.

"Pertanyaan "Apakah Tuhan itu?" telah memusingkan umat manusia selama berabad-abad dan akan terus menantang pemahaman logis selama kita hidup dengan konsep bahwa di atas sana ada suatu surga tempat Tuhan duduk menghakimi umat manusia dan menghukum orang yang telah bertindak tidak benar. Pemikir-pemikir terkemuka sepanjang sejarah telah berusaha menemukan jawaban logis terhadap pertanyaan yang sulit dan tidak menyenangkan ini, dengan hasil hanya sedikit. Pada sisi lain, Yang Mulia Gautama, sang Buddha, melakukan tapasya (kata Sansekerta untuk asketisme) di bawah sebatang pohon bodhi dan, seperti beberapa orang lainnya, menemukan bahwa Tuhan ada di dalam hati setiap insan, dalam bentuk cinta kasih, bela rasa, pengertian, dan sifat-sifat positif lainnya yang mampu dimiliki manusia tetapi sering kali ditekan olehnya. Tampaknya, daripada kita mencoba menegaskan logika yang ketat atau menempatkan suatu citra yang solid pada konsep kita tentang Tuhan, kita harus mengikuti teladan mereka dan mengerahkan energi yang lebih besar untuk secara intuitif memahami makna Tuhan."

Saya percaya Tuhan.
Sungguh, saya tidak akan meneruskan bicara Tuhan. Mari bicara tentang seni saja.

Selamat Paskah.





Jumat, 03 April 2015

Hari Ini Jumat Agung




Saya Katolik, saya dibaptis waktu kelas 2 SMP, 1968. Sebelumnya saya tidak punya agama, tidak peduli agama. Saya orang Katolik yang pertama di keluarga.

Awalnya saya membaca kisah Yesus dan saya kasihan kepadaNya sebagai  orang baik yang mati disalib. Tapi pada hari ketiga Dia bangkit dari Kematian. Dia Tuhan, Juru Selamat umat manusia. Saya tidak mengerti. Saya ingin punya Tuhan, punya agama, dan jadi orang baik.

Saya besar dengan KDRT dan cinta. Kedua paman saya yang mendidik saya dengan keras (penuh kekerasan fisik) juga selalu mengatakan bahwa hukuman adalah tanda sayang. Saya merasa tidak masuk akal tetapi secara hati saya percaya. Sejak kecil otak dan hati saya tidak mau kompromi. Sayang atau cinta hanya bisa dipercaya saja, jangan dipikirkan, dan jadilah penyayang. Saya selalu percaya banyak orang yang menyayangi saya dan Tuhan sangat sayang.

Jumat Agung mengusik saya tentang kematian, mengingatkan maut. Semua orang mesti mati, tetapi bagaimana cara matinya? Kematian Yesus adalah kematian yang paling menyedihkan (lihat buku "Dinasti Yesus" oleh James D. Tabor), membuat bergidik dan tak terbayangkan.

Saya pernah dihantui takut mati, tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena merasa banyak dosa dan takut masuk neraka. Saya pernah tidak peduli lagi pada mati, saat saya merasa sangat menderita di dunia ini, saat doa pun sudah tak bisa diucapkan dan sia-sia belaka. Saat saya pun berani bertanya seperti Yesus, "Tuhanku, mengapa Kau tinggalkan daku."

Hari ini Jumat Agung.  Mengenang kematian Tuhan Yesus. Mengingat maut untuk merayakan hidup.

Saya menutup catatan saya ini dengan mengutip Nassim Nicholas Thaleb, seorang esais sastra yang saya sangat pujikan, dari bagian penutup bukunya "The Black Swan", alinea kedua dari belakang:

"Saya kadang-kadang tertegun oleh kenyataan bagaimana orang bisa mengalami hari yang mengenaskan atau naik pitam karena merasa tertipu oleh makanan yang tidak lezat, kopi yang dingin, penolakan dalam pergaulan, atau penerimaan yang tidak ramah. Ingat pembahasan saya dalam Bab 8 tentang kesulitan dalam menerima keganjilan-keganjilan sejati dalam peristiwa yang mendatangi hidup Anda sendiri. Kita dengan cepat lupa bahwa tetap hidup adalah sebuah kemujuran yang luar biasa, sebuah peristiwa langka, sebuah kejadian di antara sejumlah kemungkinan lain yang tak terhingga."



Kamis, 02 April 2015

Kamis Putih dan Sahabat



Saya tidak tahu apakah saya sungguh suka 'Kamis Putih'. Dua kata itu terasa puitis yang sendu. Di Gereja pada hari Kamis Putih dirayakan Tuhan Yesus membasuh kaki kedua belas muridNya. Murid-murid itu juga sahabat baiknya. Di antara kedua belas murid itu juga ada Yudas yang diketahuiNya mengkhianatiNya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaanNya pada waktu itu, tahu Dia harus berpisah dengan orang-orang yang disayang dan menyayangiNya untuk selama-lamanya, dan (sekaligus) salah seorang sahabat yang disayangiNya mengkhianatiNya.

Yesus membasuh kaki semua muridNya untuk menyatakan cinta yang terakhir kali. Saya selalu terpana dan merenung sedih mendengar atau membaca kembali ucapanNya, satu ayat yang sangat meresap dalam jiwa saya, "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. -Yoh 15:13."

Sahabat karena cinta. Saya percaya teman adalah jodoh.

Saya orang yang suka berteman. Saya berteman tanpa mempedulikan jenis kelamin. Bagi saya, jika saya bertemu dengan seorang yang baik maka dia layak menjadi teman saya. Saya berpegang kepada ucapan Rasul Paulus (orang yang saya kagumi karena pengalaman hidupnya yang unik sekali): Jangan berteman dengan orang jahat.

Tapi semua orang kan bisa saja menjadi jahat pada suatu saat. Jahat itu manusiawi. Saya sendiri sering merasa bukan orang baik dan mati-matian sesadar mungkin untuk tidak menjadi jahat. Dan jika ada teman baik yang menjadi jahat, saya berusaha meladeninya dengan semangat 'mencinta sampai terluka' (pinjam judul buku psikologi populer yang pernah saya baca dan sekarang lupa nama penulisnya). Jika saya telah terluka maka saya menghindar. Hubungan bisa saja putus dan suatu saat saya percaya akan nyambung lagi, tetapi saya tidak mungkin melupakan teman saya. Maka itu saya percaya teman adalah jodoh.

Facebook sangat populer sebagai media sosial pertemanan. Berteman di dunia maya sangat menyenangkan. Saya punya banyak teman yang belum pernah bertemu, tidak kenal sosoknya, dan saya berimajinasi sepenuh-penuhnya bahwa dia orang baik. Menurut saya, pertemanan di dunia maya jauh lebih mudah daripada di dunia nyata. Saya suka bersurat-suratan dan menyebutnya sebagai 'seni inbox'. Facebook membuat saya merasa jadi orang berguna. Saya tidak pernah memblokir teman, tetapi saya pernah remove satu orang teman baru, perempuan, yang mengirimi saya foto-foto bagian terlarang tubuhnya dan menyatakan taripnya untuk pemakaian perjam dan perhari. Maaf saja, saya bukan pemakai apalagi pencandu.

saya orang yang sentimental. Saya melihat semua orang sebagai manusia yang punya perasaan seperti saya. Sebisa mungkin --sesadar saya-- saya tidak akan menggunakan orang lain sebagai alat kepuasan untuk nafsu apapun. Teman bukan alat untuk dipakai demi memudahkan hidup, demi kesenangan dan kemewahan atau kemegahan. Teman adalah seorang manusia seperti saya yang membuat saya merasa bangga dan senang menjadi manusia (bukan malaikat atau setan).

Ada yang mengatakan adalah berbeda rasanya makna kata teman dan sahabat. Maka ada istilah 'teman biasa', ada juga istilah 'teman dekat'. Untuk teman baik banyak yang lebih suka menyebut sebagai 'sahabat karib'. Bagi saya tidak ada teman biasa, teman selalu spesial. Dan saya suka menjadi teman dari siapa saja, tak peduli jenis kelamin, umur, pangkat dan agamanya... asal orangnya baik.

Saya heran jika ada orang yang bisa membuang temannya. Di Facebook bisa, di dunia maya, dengan mudah membunuhnya (hanya butuh satu klik mouse komputer) . Di dunia nyata, bagi saya, itu adalah sebuah kekejian.

Saya tidak tahu apakah saya sungguh suka Kamis Putih.
Saya pernah mengalami dibuang teman baik, rasanya menjadi duka yang panjang.





(Cerita Pendek) Tentang Seorang Sahabat


T E N T A N G   S E O R A N G   S A H A B A T

Oleh Julius Yusidjaya


Saya sangat gembira ketika membaca sebuah kartu nama di mana tercetak nama salah seorang sahabat lama waktu di sekolah menengah dulu. Kartu nama itu terbuat dari kertas yang mahal, dengan cetakan yang rapi dan desain yang tidak sembarang. Sebuah perusahaan terkenal pada bagian atas kartu nama itu menambah kegembiraan saya. Dan di bawah nama sahabat saya tercetak jabatannya sebagai Kepala Penjualan dari perusahaan tersebut. Saya gembira dan bangga bahwa sahabat saya itu telah meraih kedudukan yang baik di sebuah perusahaan terkenal.

Kartu nama itu diserahkan oleh istri saya pas ketika saya baru pulang dari toko buku. Ada sedikit kecewa saya bahwa saya merasa sayang karena tak sempat bertatap muka. Tapi kekecewaan itu segera hilang ketika istri saya mengatakan bahwa, sahabat saya itu mungkin masih bisa saya temui di rumah makan, di pinggir jalan raya, kira-kira dua ratus meter dari rumah saya.

"Dia tidak mau menunggu meskipun saya sudah mengatakan bahwa sebentar lagi kau pasti pulang. Dia menyerahkan kartu nama itu dan berpesan bahwa dia akan menunggu di rumah makan sampai setengah jam kira-kira. Dia berlalu ada seperempat jam yang lalu," istri saya menjelaskan.

"Saya harus menemuinya," kata saya sambil bergegas ke luar rumah. Langkah saya lebar-lebar menapak di jalan yang setengah parah aspalnya. Debu dan pasir terasa menyelusup di sepatu sandal. Malam jam delapan, langit tak begitu cerah. Di simpang tiga jalan beberapa anak muda yang sedang berjongkok di dekat tiang listrik menyapa saya. Ada yang bermain gitar, mabok, nyanyi sebuah lagu dangdut yang liriknya bercerita tentang nasib seorang pemuda yang melarat hidupnya dan merana cintanya. Meskipun dengan suara pas-pasan tapi tampak penuh penghayatan. Salah seorang merendengi saya, dengan cukup sopan tapi berani minta uang pada saya untuk tambahan beli minuman. Dari mulutnya teruar keras bau alkohol. Saya kenal betul dia adalah anak tetangga saya. Saya berikan uang seribu rupiah sambil berpesan, boleh mabok asal tidak membuat onar. Dengan tertawa dia mengucapkan terima kasih dan berteriak pada teman-temannya bahwa saya adalah orang paling baik di dunia.

Saya sampai di rumah makan, sebuah restoran Padang yang saya kenal benar. Seorang pelayan menyambut saya dengan ramah. Pelayan-pelayan di sini sudah mengenali saya karena saya suka membawa isteri dan anak-anak saya kalau malam Minggu. Ruangannya tidak bisa dibilang cukup besar. Barangkali hanya sepuluh meja, tepatnya saya tidak pernah menghitung. Ketika saya melangkah masuk suara musik pop barat memenuhi ruang meskipun tidak terlalu keras. Sejenak saya memutar pandang, saya melihat sahabat saya duduk di sebuah meja di pojok ruangan, agak ke depan dekat jendela kaca yang besar. Dia pun rupanya melihat saya  karena langsung berdiri. Saya segera menghampirinya. Kami bersalaman, erat sekali, sulit berkata-kata. Dia merengkuh bahu saya, menepuk-nepuk dengan keras dan jabatan tangannya seperti tak mau lepas.

Kemudian saya mengambil duduk di seberangnya. Di meja telah ada tiga botol bir, dua sudah kosong. Di asbak sebatang rokok menyala. Abu rokok berceceran sekitar asbak. Pelayan menanyakan apakah saya mau makan, cepat saya menjawab tidak. Sahabat saya langsung meminta dua botol bir lagi. Dia mengajak saya minum bir. Sebetulnya saya mau menolak, tapi saya merasa tak enak. Saya meminta es batu, satu-satunya cara agar saya tidak banyak minum bir saja. Sahabat saya mengambil rokoknya di asbak dan menyedotnya dalam-dalam. Saya mengeluarkan rokok saya dari saku dan meletakkan di meja.

"Kamu masih tetap saja kurus, tak berubah," katanya sambil menuang bir ke gelasnya setelah minum dengan tandas.

"Ada orang yang bisa gemuk, tapi ada orang yang berbakat kurus. Aku percaya bahwa aku berbakat kurus," jawab saya sambil memperhatikannya.

Matanya merah, rambutnya agak kusut. Jaketnya mungkin mahal tapi warna jaket yang coklat seperti beludru membuat dia tampak lusuh. Dia tidak seperti yang saya bayangkan, rapi sebagai seorang menejer. Dan saya juga tidak pernah mengharap sejak tadi bahwa saya akan bertemu dia dalam keadaan setengah mabuk.

"Kamu masih menulis? Kamu bekerja di majalah, kan?" tanyanya.

"Ya. Masih menulis, tapi tidak mengarang. Sudah dua tahun mungkin."

"Aku punya cerita. Aku ingin bercerita."

"Kau ingin aku menuliskan ceritamu lagi?"

"Ya. Tapi ceritanya lain. Dulu kan cerita remaja. Sekarang cerita serius. Bukan rekaan."

"Tapi aku kuatir tak bisa menulisnya, maksudku... aku sedang enggan menulis cerita. Entah kapan aku akan mulai lagi."

"Aku tahu kau pasti akan menulisnya kelak. Tak usah dimasalahkan itu. Aku hanya ingin cerita dan tiba-tiba aku ingat kamu. Kau dengar saja ceritaku dulu. Pasti menarik."

Saya ingin tetap menolaknya dengan cara halus. Pelayan datang membawa dua botol bir, sebuah gelas, dan semangkuk es batu yang telah dipecah-pecah. Saya memasukkan beberapa potong es batu ke dalam gelas dan menuang bir pelan-pelan supaya tidak banyak busa. Sementara pikiran saya jauh ke belasan tahun lalu, waktu dulu kami masih sekolah. Sahabat saya ini sering memberi ide untuk cerita. Saya menuliskannya dengan baik dan jika ada majalah hiburan atau koran mingguan yang memuatnya, kami bersepeda motor mengambil honor. Dia yang punya sepeda motor, saya hanya membonceng. Lalu kami bolos sekolah, nongkrong di warung bakmi Babah Tang sambil makan mie bakso dan minum bir. Kami ngobrol segala macam tentang keresahan kami, mimpi kami, gadis-gadis, orang tua, sampai politik. Kami merasa senasib, dari keluarga yang berantakan. Bedanya bahwa saya dari keluarga miskin sedang dia dari keluarga yang lumayan. 

"Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Ingat-ingat ada dua belas tahun. Betul ya?" katanya sambil mematikan rokoknya di asbak.

 "Ya, mungkin," jawab saya begitu saja sambil meneguk pelan minuman saya. Dia menyalakan rokok lagi. Meneguk lagi bir seperti orang yang dahaga. Kemudian dia mengisi gelas kosongnya dengan ceroboh sampai busa bir meluap dan meleleh turun membasahi meja. Dia memindahkan gelasnya. Saya mengambil tisu dan melap bagian meja yang basah. Dia tertunduk dengan kedua tangan bertumpu di meja dan gelas bir berada di genggaman kedua tangannya. Dihisapnya lagi rokok dengan sedotan yang kuat. Diletakkannya di asbak. Dipandanginya asap rokok yang tipis seperti tirai halus. Saya mengambil sebungkus kacang di toples, membuka plastiknya dan menikmati kelezatan kacang goreng sambil terus memandanginya.

"Ya, dua belas tahun. Selama itu banyak sekali yang terjadi. Aku tidak tahu hidup macam apa. Aku kuliah. Kacau. Tapi tamat juga," katanya lagi sambil memainkan gelas di tangannya. "Aku kerja. Pindah-pindah. Aku kenal banyak perempuan. Pindah-pindah. Aku telah rasakan hidup seperti tak hidup. Waktu lewat begitu saja, tanpa permisi, sia-sia. Sampai aku kenal seseorang. Gadis yang sangat sederhana dan kesederhanaannya itu berhasil menjinakkan aku. Aku cerita rusaknya aku, bejatnya aku, kubuka semua. Tapi dia malah makin mencintai aku. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa lepas daripadanya, tak pernah bisa tega meninggalkannya seperti yang lain. Aku mungkin sudah muak pada kata cinta perempuan. Aku telah tahu perempuan dari A sampai Z luar dalam. Aku hampir tidak percaya lagi ada cinta. Tapi padanya, jika pada waktu itu tidak bisa disebut cinta, mungkin hanya iba. Seperti tak sadar, tiba-tiba aku bekerja keras, menjadi baik, dan kawin."

Dia mengangkat gelasnya dan minum lagi, beberapa teguk. Disapunya kumisnya yang basah dengan punggung tangannya. Gerakannya kasar sekali. Dihisapnya kembali rokoknya. Dihembusnya dengan kuat. Diketuk-ketuknya rokoknya di asbak. Saya pun minum seteguk. Saya mengambil rokok sebatang dan menyulutnya, menikmati kepulan asap yang seperti kabut bergumpal-gumpal dari mulut saya.

"Semua mungkin sudah baik. Berjalan dengan baik. Tapi jika waktu itu kau tanya padaku apakah aku sungguh-sungguh mencintainya, aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Kalau kau tanya apakah aku bahagia hidup bersamanya, aku berani menjawab ya. Lalu kami punya anak. Perempuan. Aku sangat mencintai anakku. Hidupku sudah sangat teratur. Pekerjaan pun lancar. Aku bisa mencapai jenjang menejer. Semua baik. Sangat baik. Aku telah mengubur semua masa laluku yang jelek dan aku pun tidak mau mengalaminya lagi. Sejak anakku lahir, aku merasa hidup makin jelas tujuannya. Aku pun menjadi sangat sederhana. Aku berpikir bahwa hidupku hanya untuk isteri dan anakku. Betul kan?"

"Ya. Mau apa lagi kita kalau kita sudah kawin?" jawab saya, "Kebahagiaan kita adalah mereka."

Dia tersenyum, samar. Saya tak bisa memastikan maknanya. Dia meneguk minumannya tandas. Mengisinya lagi. Mengisikan gelas saya. Meminta lagi dua botol pada pelayan.

"Aku tidak bisa minum banyak sekarang," kata saya, mencegah dia sambil memandang kepada pelayan dengan maksud supaya jangan dilayani. Saya merasa dia sudah minum cukup banyak. Pelayan berdiri ragu di samping meja."Dua botol lagi!" katanya tegas, "Kau takut aku mabuk, kan? Aku tidak bakal mabuk hanya karena kebanyakan bir."

Saya mengangkat bahu. Meminta pelayan mengangkat botol-botol kosong di meja. Terus terang, saya agak tidak enak dengan banyaknya botol kosong di meja. Serombongan orang masuk dan ramai memilih meja. Ada delapan orang. Tiga laki-laki dan lima wanita. Dua orang pelayan sibuk menggabungkan dua meja untuk dijadikan satu bagi rombongan ini. Tak lama kemudian mereka sudah duduk. Salah seorang wanita di rombongan itu memandang pada saya dengan tatapan yang nakal. Seorang lelaki agak tua, gendut, duduk diapit oleh dua orang wanita muda yang tampak bermanja-manja berlebihan. Ramai sekali mereka bicara sambil tertawa cekikikan. Pelayan sudah datang membawa piring-piring makanan dengan caranya yang khas dan membebernya di meja. Wanita yang lain ada yang menyisir rambut. Wanita tadi kembali mengerling pada saya. Rupanya mereka rombongan dari penginapan di seberang jalan. Saya meneguk minum saya dan mengalihkan pandang pada sahabat saya yang juga melempar pandang ke rombongan itu.

Ruangan tiba-tiba terasa panas. Musik disko mengalun keras. Saya mulai berkeringat. Sahabat saya lebih lagi, keringat penuh di dahinya. Saya mengeluarkan sapu tangan  dan menyeka keringat di leher saya. Sahabat saya menyeka keringat di dahinya dengan lengan jaketnya. Pelayan berlalu setelah meletakkan dua botol bir di meja. Teman saya langsung mengisi gelasnya.

"Apa kamu pernah berpikir suatu kali kamu akan berbuat seperti 'Bos' tua itu?" tanyanya tiba-tiba.

"Aku harap itu tidak akan pernah terjadi," jawab saya dengan tenang.

Sahabat saya tertawa. Mereguk birnya lagi dengan dahaga. Menyapu kumisnya yang basah dengan tangannya, kasar.

"Kamu tahu, siapa yang bisa tahu apa yang akan terjadi besok? Apa yang bisa kita katakan selain nasib? Dalam kehidupanku yang tenang. Ketika aku tidak lagi ingin macam-macam, tiba-tiba aku dihadapkan pada kenyataan yang lain. Seorang wanita lain masih harus hadir dalam hidupku. Seorang yang tiba-tiba kurasakan seperti datang dari dunia yang asing, penuh pesona, di mana aku tidak lagi bisa berpaling daripadanya. Setengah mati aku melawan diriku sendiri untuk tidak terjadi apa-apa. Tapi aku jatuh juga. Rasanya seperti cinta pertama. Di mana saja aku ada, dia selalu seperti ada di sebelahku. Jika aku tidak bertemu dengannya, mendengar suaranya di telepon rasanya sudah berada di surga. Tiba-tiba aku lupa segalanya. Katakanlah apa itu, penyelewengan, atau apa, itulah yang terjadi. Dan aku demikian takut kehilangan dia, sementara aku tahu bahwa aku punya keluarga, aku punya wanita yang setia dan sangat mencintai aku. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Aku linglung. Aku gila!"

Dada saya terasa sesak. Tubuh saya terasa panas seperti meriang. Keringat saya mengucur. Musik di ruangan ini terasa makin keras, mengelegar-gelegar seperti halilintar. Pelipis saya berdenyar-denyar tapi saya tahu bukan karena bir. Jantung saya berdetak kencang sampai telinga saya bisa mendengarnya seperti detak jam di tengah malam yang hening. Saya merasa ruangan pengap. Saya kehilangan selera meneguk bir lagi. Di meja sana, lelaki tua gendut itu digayuti dua wanita muda pada bahu kiri-kanannya. Saya tak kuasa memandang lama-lama. Saya alihkan pandang saya pada sahabat saya yang sekarang menatapi saya dengan matanya yang merah seperti bara.

"Akhirnya aku bicara terbuka pada isteriku. Dia menangis. Dia yang sangat sederhana itu mau memaafkan aku. Tapi aku seperti kena pesona gaib wanita itu. Aku tak bisa lepas darinya. Isteriku bilang, aku kena guna-guna. Dia mencari dukun, mencari penangkalnya. Aku betul-betul jadi sinting. Aku mandi air kembang, aku minum air bermantera dari berbagai dukun. Dukun sial! Aku ikuti semua maunya dukun. Aku cuci muka dengan air kencingku, aku cuci muka dengan air comberan, aku taruh penangkal dan menyebar menyan di rumah wanita itu. Semua sia-sia. Aku menyerah. Aku bilang pada isteriku, biarlah aku kawin lagi. Tapi dia tidak mau. Dia tidak ingin dimadu, tidak juga dicerai. Gila-gilaan! Aku hilang akal. Rasanya biarlah aku mati saja karena aku tidak tahan menghadapi kenyataan ini. Aku tak mau pisah dari isteriku, anakku, juga wanita itu. Kalau aku mati, mungkin persoalan selesai. Isteriku tak lagi memiliki aku. Wanita itu juga tidak. Tapi aku pikirkan anakku. Masa depannya. Aku teler seteler-telernya."

Saya tidak bisa berkata apa-apa. Lidah saya kelu. Tidak hanya pelipis saya saja yang berdenyar-denyar tapi rasanya seluruh rongga kepala saya. Mata sahabat saya yang merah bara itu tiba-tiba sayu. "Kamu tahu apa yang terjadi kemudian? Suatu hari aku  pulang ke rumah kudapatkan isteri dan anakku sudah menjadi mayat di kamar dalam keadaan berpelukan. Polisi memeriksaku. Wanita itu juga diperiksa. Tapi tak ada bukti bahwa mereka dibunuh. Mereka memang bunuh diri dengan racun serangga."

Tiba-tiba telinga saya seperti tuli. Jantung saya berdetak keras sekali seperti derak kereta api. Hanya itu yang saya dengar. Mata saya berkunang-kunang. Perut saya mual. Saya tahu, semua bukan karena bir.Seketika saya memanggil pelayan, menyuruh hitung semua yang sudah diminum dan dimakan. Saya mencoba berkata dengan tenang tanpa menyakitkan hati.

"Kukira sudah waktunya kita berpisah. Lain waktu bisa kita sambung lagi. Tadi aku janji pada isteriku untuk tidak lama-lama. Kasihan dia."

Sahabat saya muram sekali, matanya yang sayu kosong terus menatap saya. Saya bangkit dan mendekatinya, menepuk bahunya. Pelayan selesai menghitung dan menyodorkan bon. Saya membaca bon itu. Sahabat saya mengeluarkan dompetnya, mengambil beberapa uang puluhan ribu dan menyerahkan pada saya. Saya membayarkannya pada pelayan. Lalu saya setengah menyeretnya keluar. Sekilas saya masih melihat lelaki tua gendut itu terbahak-bahak sementara seorang wanita di sebelahnya mencubit pangkal lengannya dengan manja dan yang seorang lagi tak mau lepas dari bahunya. Di luar saya betul-betul muntah.

Sahabat saya menyetop taksi. Sebelum masuk ke dalam taksi dia masih berkata,"Kau tahu, semua itu takdir kan? Takdir! Bilang, takdir, bukan?!"

"Ya! Takdir!"

Dia tersenyum. Wajahnya pucat ditimpa sinar lampu merkuri. Dia melempar tubuhnya ke dalam taksi pada jok belakang. Dengan susah payah dia menyeret kakinya masuk ke dalam karena terkait pintu taksi. Saya menutupkan pintu. Dia berusaha mengangkat kepala, berseru,"Tulis itu! Kau akan tulis, ya? Janji!"

"Ya, ya."

Dan saya tinggalkan taksi itu. Saya berjalan dengan limbung untuk pulang. Saya merasa seperti ada gempa bumi. Saya muntah lagi. Di pertigaan jalan, anak-anak muda yang tadi nongkrong masih ada, masih menyanyi. Langkah saya tersaruk-saruk. Saya tengadah ke langit. Kelam, kelam sekali.

"Jangan, jangan, kau sakiti hatinya... jangan lagi, sayang...." Anak-anak muda itu sekarang menyenandungkan lagu pop yang sedang hit, lagu yang dibawakan oleh Iis Sugianto.

Saya lewat dekat mereka. Anak muda tetangga saya yang tadi minta uang menegur saya. Saya tidak menjawab tapi muntah lagi. Anak-anak segera memegangi saya. Saya mual sekali. Saya muntah banyak-banyak. Saya mual dan muntah, saya tahu, bukan karena bir.

Mereka memapah saya sampai ke rumah. Istri saya ngomel-ngomel. Tapi saya peluki dia, saya ciumi dia.

Saya mencoba melupakan malam yang jelek ini. Saya tidak pernah menulisnya sebagai cerita dan tak pernah punya keinginan itu. Sampai bertahun-tahun. Sampai sekarang ini, ketika tadi saya membaca koran sore. Pada sebuah iklan duka cita, ada nama sahabat saya itu bersama fotonya.


Palmeriam, 1984

Rabu, 01 April 2015

Orang Jahat dan Psikopat



Berita utama harian Kompas hari ini tentang kaburnya sepuluh tahanan Badan Narkotika Nasional (BNN). Saya catat, "Para tahanan yang kabur itu terlibat dalam sejumlah jaringan peredaran sabu di Aceh, Jakarta, dan Karawang. Semua tahanan narkoba itu terancam hukuman mati."

Saya tidak setuju hukuman mati. Tetapi Narkoba memang jahat sekali. Saya menyaksikan beberapa orang yang saya kenal menderita penyakit gangguan jiwa karena narkoba. Pengedar narkoba adalah orang jahat.

Saya harus mencatat bahwa perang di Yaman luar biasa hebatnya. Diberitakan bahwa proses evakuasi WNI sedang berlangsung. Perang itu jahat karena merusak manusia. Perang ada karena orang-orang jahat. Saya banyak membaca kisah perang yang selalu memilukan hati. Saya gampang tersentuh dan bersedih untuk ini.

Masih di halaman satu, judulnya "Warga Tetap Minta Raskin Dipertahankan". Alinea pembuka, "PONTIANAK, KOMPAS — Sekalipun masih diwarnai berbagai persoalan, warga penerima beras untuk keluarga miskin berharap program itu dilanjutkan. Raskin jangan diganti dengan uang tunai karena jumlahnya tak memadai jika mengacu pada harga beras di pasaran. Selain itu, pembagian uang tunai juga rawan penyimpangan serta penggunaannya bisa konsumtif di luar kebutuhan untuk pangan."

Saya pernah melihat beras raskin dan menurut saya mutunya sangat tidak layak untuk dibagikan kepada sesama manusia. Raskin ada karena banyak sekali orang miskin. Para koruptor harus bertanggung jawab kepada rakyat miskin karena mereka orang jahat yang sangat serakah dan memuaskan nafsunya yang merusak negara. Di Tiongkok para koruptor dihukum mati. Bukankah sama jahatnya para koruptor dan pengedar narkoba? Tapi saya tidak setuju hukuman mati.

Di halaman 24 ada berita berjudul, "Bupati Dituntut 8 Tahun Penjara, Istri 7 Tahun". Sub judul, "Birokrat Kerap Jadikan Perizinan Ladang Korupsi". Saya catat satu alinea:
"Ade dan Nurlatifah diduga memeras PT Tatar Kertabumi, dan keduanya menerima uang suap sebesar 424.349 dollar AS atau Rp 5 miliar terkait penerbitan surat persetujuan pemanfaatan ruang (SPPR) untuk proyek super blok. Permohonan diajukan 23 Januari 2013."

Korupsi merajalela karena pembiaran hukum. Orang jahat bisa seenaknya mempermainkan dan melecehkan hukum. Keserakahan untuk kaya raya dan hidup bermewah-mewah membuat orang menjadi jahat sekali. Jika dikatakan zaman sudah berubah, korupsi sudah menjadi budaya, orang jahat itu biasa dan ada di mana-mana, saya pikir perlu saya bagikan catatan saya di bawah ini.


Secara umum, seseorang yang digolongkan sebagai psikopat memenuhi berbagai kriteria berikut:

1. Pandai mengambil hati.
2. Rasa bangga diri berlebihan.
3. Perlu menciptakan sesuatu yang baru sebagai tanggapan atas kejemuan yang dirasakan.
4. Gemar berbohong.
5. Cenderung memanipulasi sesuatu.
6. Tidak pernah merasa menyesal atau bersalah.
7. Tidak terpengaruh secara emosional atau mereka menampilkan perasaan yang sesungguhnya tidak benar-benar mereka rasakan.
8. Kurangnya empati terhadap orang lain.
9. Cenderung memanfaatkan orang lain.
10. Cenderung meledak-ledak dan memperlihatkan pengendalian yang buruk terhadap perilakunya.
11. Cenderung bersikap kacau.
12. Permasalahan yang mereka alami ini diawali pada awal kehidupan mereka.
13. Tidak dapat menciptakan rencana jangka panjang yang realistis.
14. Bersikap impulsif serta tidak bertanggung jawab.
15. Tidak merasa bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan.
16. Perkawinan mereka tidak bertahan lama serta kawin cerai berulang-ulang.
17. Sering melanggar aturan.
18. Sering melanggar masa percobaan.
19. Catatan kejahatan mereka beraneka ragam.

Pada dasarnya, mereka gemar melanggar norma-norma sosial serta apa yang diharapkan orang lain terhadap diri mereka tanpa sedikit pun merasa bersalah atau menyesal guna memenuhi kehendak dan keinginan mereka.

Diperkirakan bahwa 1 hingga 4% populasi menderita sosiopat, tetapi kebanyakan dari mereka sanggup untuk mengendalikannya hingga berada dalam batasan-batasan toleransi masyarakat, dan hanya disebut sebagai "orang-orang yang berperilaku sedikit aneh".

(Dari buku "Sehatkah Jiwa & Kepribadian Anda-Memahami Gangguan Kejiwaan dan Kepribadian Agar Sukses dalam Hidup", karya Peter MacDonald. BC., MS., Psy.D. Penerbit Mirza Media Pustaka. Cetakan I: Januari 2009.)

(Cerita Pendek) Elegi Esok Hari

ELEGI ESOK HARI

Oleh Kiki Adrie


Aku tidak tahu tepat bagaimana perasaanku ketika kudengar Ika berhenti sekolah. Berita itu kudapat dari seorang guruku waktu SMP ketika bertemu di gereja. Bermula dari dia menanyakan bagaimana sekolahku setelah aku pindah ke Jakarta. Aku menjawab seadanya dengan baik, sedikit mengeluh karena Jakarta terlalu panas dan sekolah di STM yang muridnya pria melulu mempunyai suasana yang jauh berbeda seperti waktu SMP di sini. Dan aku pun bercerita tentang beberapa kawan yang juga sekolah di Jakarta, sampai aku menanyakan Ika. Guru muda itu bicara dengan wajah yang murung sementara hatiku jadi galau. Betapa tidak, dulu Ika adalah murid yang pandai sama-sama denganku. Kami berdua adalah murid kesayangannya. Waktu ujian nilai Ika berbeda tak jauh denganku yang duduk di tangga pertama.

Keluar halaman gereja, memandang bemo-bemo yang lalu lalang membawa suasana tersendiri bagiku. Setahun lebih sudah Bogor kutinggalkan, tak banyak perubahan. Suasana yang sejuk dan akrab jauh sekali berbeda dengan ibukota. Sambil menyusur jalan Bapak Guru ini terus membicarakan Ika.

“Ayahnya meninggal hampir setengah tahun lalu. Sebulan sebelum dia berhenti sekolah, dia sakit cukup parah. Kata dokter, Tifus. Kau tak dapat kabar tentang ini?”

Aku menggeleng. Guru muda yang telah menjadi bagai sahabat ini memandangku. Sulit aku menentang matanya. Aku cepat membuang muka. Kukira dia tahu bagaimana sesungguhnya perasaanku terhadap Ika.

“Kalian tidak bersuratan?” tanyanya. Ada nada heran.

Sekali lagi aku menggeleng.

“Sayang sekali kalau dia mesti berhenti sekolah. Padahal dia merupakan anak yang terpandai di SMA sini. Saya pernah datang ke rumahnya membicarakan masalah sekolahnya pada ibunya. Orang tua itu sulit diajak kompromi. Dia memaksakan Ika untuk berhenti dan membantu dagang di pasar. Saya telah mengusahakan untuk dapat dispensasi kalau tak mampu. Tapi ibunya terlalu kolot. Anak perempuan tak usah sekolah tinggi-tinggi, katanya. Ah, lucu juga.”

Dia tertawa kecil. Aku juga tertawa tak tahu karena apa. Mungkin karena masih ada orang tua yang berpikiran begitu sempit pada zaman yang sudah maju ini.

Di sebuah muka gang kami pisah. Guru muda ini meminta aku mampir ke rumahnya. Aku menolak dengan halus. Dan aku pulang dengan jalan kaki. Sementara pikiranku terus melayang pada Ika. Anak yang pandai itu cukup manis. Dulu duduk di belakangku. Tatap matanya selalu terasa meneduhkan hatiku. Apalagi kalau aku sedang ada kesusahan. Dia feminin sekali, tak suka pada kekerasan. Dia paling benci kalau aku berkelahi. Kami sering belajar bersama. dia memberi bingkisan pada hari ulangtahunku yang tak pernah dirayakan. Aku adalah anak dari keluarga tak mampu, besar di jalanan dengan segala macam mimpi heroik anak-anak. Dia seperti mengerti banyak tentangku. Aku ingat, dia pernah membayariku minum di kantin, membayarkan uang iuran berenang yang tertunggak. Mukaku bisa jadi merah mengingat peristiwa itu. Sering aku jadi bingung sendiri, mengapa dia bisa begitu baik kepadaku. Sering aku jadi gemas pada diriku sendiri mengapa aku selalu ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya tapi pada kenyataannya aku lebih banyak menjauhinya. Ah, cerita kanak-kanak! Sekarang aku tahu bahwa semua perhatiannya muncul dari dorongan sesuatu. Katakanlah itu cinta. Cinta anak puber. Dan aku menjauhinya karena kerendahdirian yang tak seharusnya.

Gerimis turun perlahan. Tipis sekali. Udara basah kota hujan mempunyai aroma tersendiri. Malam sudah mulai turun. di bawah pohon kenari tua dekat sebuah wihara aku tak sadar berhenti. Memandang pada tanah ketinggian seakan ingatanku kembali dengan bersih. Di sini dulu kami pernah berbincang lama. Aku bercerita tentang keadaan keluargaku yang miskin. Dia bercerita tentang ayahnya yang kasar dan suka berjudi. Rambutnya tergerai lepas dimainkan angin. Wajahnya yang putih begitu sendu. Matanya yang selalu bersinar menatapku dengan pandang redup. Oh Ika, aku masih terlalu kanak-kanak untuk bisa mengupas persoalan sebuah keluarga yang semrawut. Paling-paling aku hanya bisa menggeleng dan menghela napas mendengar cerita bagaimana ayahnya begitu jahat kalau mabuk, atau ibunya yang selalu menangis dan cuma bisa menangis ketika ayahnya memaksa minta uang atau barang berharga untuk diludaskan di meja judi.

Aku tak tahu kenapa sekali ini aku bisa mengingat seluruh wajahnya yang penuh duka pada sore yang gerimis itu. Dan aku tak tahu kenapa aku jadi naik di tanah ketinggian, berjongkok di sana memandang bemo-bemo yang lalu lalang. Bayang-bayang wajahnya tak mau lepas dari ingatanku. Ada suatu kesenyapan tiba-tiba ketika aku sadar bahwa aku cuma sendirian seperti orang gila berjongkok di sini sementara bajuku sudah basah dan gerimis mulai melebat. Dengan menyumpah-nyumpah aku loncat turun dan berlari pulang ke rumah, maksudku rumah pamanku di mana dulu waktu SMP aku tinggal.

Malamnya aku tak bisa tidur. Padahal hari sudah cukup larut. Padahal otakku sudah lelah setelah bermain catur dengan Paman. Potongan-potongan kejadian waktu SMP banyak berulang dalam ingatanku tanpa urutan yang jelas. Semua sekitar Ika. Aku ingat ketika bagaimana dia mengajariku berenang dengan gaya yang lebih tertib karena aku cuma bisa berenang dengan gaya kampungan. Aku ingat bagaimana dia memboncengiku naik sepeda ketika mau belajar bersama di rumah Yati. Aku ingat bagaimana dia marah ketika dia tahu aku berkelahi dengan Amri. Dan kuingat juga bagaimana dia jadi marah ketika belajar bersama di rumah Yati aku lebih suka membaca komik karena di rumah Yati ada persewaan buku. Oh, betapa lucu memandang wajahnya yang memerah dengan bibir yang tertekuk dan mata bersinar. Hanya begitu kalau dia marah. Tak pernah diucapkannya dengan kata-kata. Dan aku ingat juga bagaimana aku menulis serampangan di buku catatannya untuk minta maaf pada banyak hal yang kukira menyusahkan hatinya atas perbuatanku. Dan dia membalas dengan tulisan yang rapi di atas buku catatanku yang seperti biasa dipinjam sehari baru dipulangkan. Kami menulis surat, lebih banyak bicara lewat pinjam meminjam buku catatan daripada ngobrol biasa. Dan masih banyak... banyak lagi peristiwa-peristiwa sederhana yang sesungguhnya tertimbun di dalam hati. Begitu banyak juga yang teringat kembali dan membuatku menjadi lain, membawa perasaan tertentu, semacam kerinduan. Kukira sampai aku tertidur aku tak memikirkan hal lain.

Esoknya aku bangun agak siang. Hari minggu yang cerah kukira. Bergegas aku mandi. Tiba-tiba pikiran pada Ika menyergap lagi. Selesai makan pagi yang kurang selera kupastikan bahwa aku mesti menemui Ika. Aku tidak tahu hal apa yang bisa mendorong keberanian begini dengan tiba-tiba. Aku sering datang ke Bogor kalau hari Sabtu atau hari libur tapi tak pernah ada kehendak yang begitu kuat untuk menemui Ika. Hari ini lain. Kucoba berdalih bahwa ini cuma suatu perasaan iba terhadap kawan lama yang terpaksa harus berhenti sekolah. Maka aku pun berangkatlah.

Sebuah pasar kecil. Tak ada perubahan sepertinya. Maka tak sulit aku mencari kiosnya. Dulu waktu SMP aku pernah ke sini mengantarkannya. Bertemu dengan ibunya dan disambut dingin sekali. Dan hanya sekali itu saja. Sekarang untuk yang kedua kalinya. Kios itu masih seperti dulu, berdagang bahan-bahan keperluan pokok. Cukup ramai juga pembelinya. Melewati sela-sela antara para membeli itulah aku menangkap wajahnya. Hampir aku tak percaya bahwa itu Ika. Tak lagi seperti dulu. Tak juga serapi waktu masih sekolah. Wajahnya tampak keras dan kaku. Sigap sekali dia melayani permintaan pembeli, meraup barang, menimbang, menghitung uang dan mengembalikan. Hari-hari yang sibuk melandanya. Sekali-kali dia memberi perintah pada beberapa pembantu untuk melayani pembeli lain. Aku undur ke sisi kiosnya dan bersandar pada sebuah karung. Hatiku ragu, apakah aku harus menegurnya dan dengan begitu mengganggu pekerjaannya? Pada saat itulah secara tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku. Wajahnya seperti berubah sesaat. Tiba-tiba dia berteriak girang menyebut namaku. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Sejenak kami berpandangan dan kemudian dia meneruskan kerjanya tanpa bicara apa-apa. Kukira aku pun sulit untuk mengeluarkan kata-kata.

Tak lama wajahnya kemudian telah biasa lagi. Dia memanggilku supaya masuk ke dalam kiosnya. Kujawab bahwa aku lebih suka berdiri di luar daripada di dalam dan nanti bisa tambah merepotkan dia. Ika tersenyum dan kemudian menyuruh pembantunya melayani para pembeli. Dia keluar dari kios dan mendekatiku. Beberapa pertanyaan spontan tak menyempatkan aku untuk ingat berjabatan tangan.

“Kau masih saja kurus,” katanya kemudian.

Aku hanya mengangkat bahu dan tertawa.

“Kau belum pernah ke rumahku. Hari ini kau mesti ke rumah!” katanya dengan nada pasti.

Aku mengerutkan kening. Tanpa menunggu jawaban dia berteriak pada pembantunya bahwa dia akan pulang. Begitu pasti nadanya. Kemudian dia menarik tanganku. suatu keberanian yang membuat aku terkejut karena hal ini tak pernah dia lakukan sebelumnya. Kami meninggalkan pasar. Aku mengucapkan rasa duka cita dan menyesal tidak tahu bahwa ayahnya telah meninggal. Dia tertawa sinis. Aku seperti baru sadar bahwa dia sangat benci pada ayahnya yang penjudi dan pemabuk. Ketika keluar kompleks pasar aku baru sempat memperhatikan dia dengan jelas. Ika banyak sekali berubah. Pakaiannya tampak sembarangan. Sebuah kaos kuning lusuh dan jeans belel dengan rambut yang dibiarkan lepas. Tertawanya juga lepas. Dia tak lagi tampak sebagai Ika yang pemalu dan sedikit sekali bicara. Di sini aku sedikit kecewa.

Jarak rumah Ika dari pasar tak berapa jauh. Sambil jalan dia banyak bertanya tentang keadaanku di Jakarta. Aku jawab apa adanya. Aku heran, kenapa aku jadi kikuk menghadapinya. Apalagi kapan aku harus beradu pandang dengannya. Sebetulnya ada yang menyenangkan pada pertemuan kali ini. Adalah kenyataan bahwa Ika lebih terbuka. Maksudku lebih bebas. Aku suka pada gadis yang feminin dan lincah. Tapi aku paling benci gadis yang bawel. Aku suka bahwa dia banyak bicara, suatu keakraban yang lain. Tapi aku menyayangkan bahwa perubahan terasa sangat banyak daripadanya.

Duduk di ruang tamu dari rumah sederhana dengan perabotan yang agak berlebihan membuat aku merasa agak sulit. sofa empuk ini model mutakhir. Ada seperangkat tape-deck di lemari hias. Sebuah televisi berwarna terletak di sudut dengan kaku. Ada lampu pojok dengan warna mencolok. Sebuah meja hias dengan vas bunga dan bunga plastik yang sudah berdebu. Seorang pembantu membawakan minum sementara Ika masuk ke dalam. Ganti baju dia rupanya. Keluar lagi dengan rok terusan warna biru gelap. Hatiku berdetak keras. Itu warna kesukaanku. Dia mengambil duduk di hadapanku. Wajahnya ceria sekali. Ada polesan yang tidak bisa disebut sederhana.

“Musik?” tanyanya setelah menyuruhku minum. “Senang lagu lembut?”

Aku mengangguk saja.

Dia memutar kaset. “Willingly” lagunya. Aku meringis mendengarnya. Soalnya suara bass terdengar berdebum-debum.

“Kau jarang ke mari?” tanyanya setelah duduk lagi.

“Ada sebulan ini tiap minggu berturut-turut. Sebelumnya jarang.”

“Kenapa?”

“Ongkos mahal.”

Dia tertawa. Aku juga tertawa.

“Kudengar kau berhenti sekolah?” tanyaku kemudian.

“Begitulah. Mau tak mau,” jawabnya dengan nada biasa.

“Aku tak tahu ayahmu meninggal....”

“Itu sudah lama.”

“Kenapa kau mesti berhenti sekolah?”

“Tak ada jalan lain. Demi Mama. Semua sudah hancur. Kau tahu, Ki. Papa menggila sekali. Sampai malam yang naas itu. Papa kecelakaan. Tak seminggu di rumah sakit, meninggal. Yang lebih pahit adalah tak ada lagi rupanya yang bisa kami punya. Rumah ini dan kios pasar sudah digadaikan,” Ika menjelaskan dengan suara yang datar. Tapi wajahnya kaku sekali.

“Tapi, kenapa kau mesti berhenti sekolah?”

“Mau apa lagi? Kenyataan sulit sekali. Aku anak paling besar. Aku harus bantu Mama cari uang. Harus. Hanya itu, Ki. Mama terlalu menderita karena kelakuan Papa. Siapa lagi yang akan menyenangi hati Mama kalau bukan aku?”

Aku menggigit bibir. Aku tidak percaya bahwa jalan pikiran Ika yang cerdas itu bisa jadi demikian sederhana.

“Sedikitnya kau harus tamat SMA dulu. Aku sangat menyayangkan, Ika. Seperti juga guru-gurumu menyayangkannya.”

Dia menatapku. Aku menangkap sekilas pancaran duka. Tapi kemudian dia tersenyum. Terasa getir. Kutahu, dia mencoba menyembunyikan perasaannya.

“Terima kasih atas perhatianmu pada diriku,” katanya kemudian.

“Tapi... kukira selanjutnya kita tak usah omongkan hal itu. Katakanlah semua yang terjadi adalah nasib. Hanya itu yang membuat hatiku lega.”

Aku hanya mengangguk-angguk. Aku mau bilang apa?

“Mari kita bicara yang lain. Aku pernah dengar dari Nik bahwa di Jakarta kau sudah punya pacar?”

Aku tertawa. Dia tampak heran.

“Ada yang lucu?” tanyanya.

“Apa yang dikatakan Nik padamu?”

“Dia pernah cerita bertemu kau di Proyek Senen. Kau dengan seorang cewek. Tapi kau sombong katanya. Tak kau kenalkan dia pada pacarmu.”

“Begitu ceritanya? Nah, di situlah lucunya. Bagaimana aku sempat berpikir untuk memperkenalkannya sedangkan gadis itu belum kuketahui siapa namanya. Baru kukenal di sebuah toko kaset karena kebetulan memilih kaset yang sama. Saat itu aku ketemu Nik...”

“Ah, kau bohong!”

“Sungguh, Ika. Kau tahu siapa aku, kan? Mana mungkin aku mau membohongimu?”

“Begitukah?”

Dan dia tertawa ketika aku tersipu-sipu. Sudah kukatakan, sulit sekali bicara dengan Ika karena tampak dia begitu lincah sekarang. Lebih lagi sulitnya karena aku merasakan ada sesuatu di balik pembicaraan. Dia memberi sinyal. Kukira aku sudah harus memastikan bahwa hati Ika tak pernah lepas dari diriku. Itulah mungkin yang membuat aku agak sulit, gugup dan tersipu-sipu.

Seseorang keluar dari dalam. Mama Ika. Aku memberi salam dengan hormat. Dingin saja orang tua itu. Dan langsung mematikan tape yang masih berbunyi. Oh Tuhan, ulah apa ini? Seketika aku menjadi gerah.

“Mama! Apa-apaan sih?” Ika protes dengan keras.

“Siang begini tak usah putar lagu! Berisik! Kau tahu kan adikmu sakit?” jawab Mama Ika sambil masuk ke dalam.

Ada apa ini? Suasana tiba-tiba menjadi jelek. Ika menggerutu dan berjalan ke tape.

“Sudah,Ika. Kukira memang tak perlu lagu, apalagi ada yang sakit,” kataku.

“Mama memang konyol!”

Ika kembali duduk.

“Dari dulu Mamamu seperti tak suka melihatku. Apa dia masih mengenaliku?” kataku pelan. Kukira seharusnya kuucapkan dalam hati saja.

“Mama memang tidak suka pada siapa saja teman lelaki yang datang kemari. Mama kolot.

“Kau tak boleh bicara begitu.”

Ika menundukkan wajah. Ada sesuatu yang mengiris hati ketika memandangnya. Aku ingat waktu lampau di tanah ketinggian dekat wihara tua sekali waktu ketika gerimis mulai jatuh. Dia menunduk dengan gaya yang sama. Aku menghela napas. Ada rasa iba yang lain terhadap Ika. Suatu keharuan yang tiba-tiba menyergap. Hening seketika antara kami. Keadaan menjadi kaku.

“Kukira aku mesti pulang,” kataku.

Ika mengangkat muka.

Oh, mengapa harus....”

“Maafkan aku,Ika. Aku harus kembali ke Jakarta siang ini juga. Kalau sore bus akan penuh sekali.”

“Kapan kau kemari lagi?”

“Aku akan....”

“Oh, kau tak pernah bisa tepat janji, kan? Aku akan tulis surat. Boleh aku tulis surat, kan? Sebetulnya masih banyak yang akan kuomongkan padamu, Ki.”

“Yah, baiknya begitu.”

Dia bergegas berlari ke dalam mengambil kertas dan bolpen. Aku menuliskan alamatku. Dia tampak gembira sekali. Ketika aku pamit dia minta maaf untuk sikap ibunya yang memang agak “kurang menyenangkan” itu.

Di bus menuju Jakarta pikiranku masih tetap pada Ika. Aku merasakan sekali bahwa Ika sangat berubah. Barangkali kesulitan hidup dan kenyataan yang membuat dia seperti sekarang ini. Oh Ika... kalau saja aku bisa mendapat perlakuan lebih baik dari ibunya, kukira rasa ibaku bisa berkembang. Ya, aku tak menyangkal bahwa Ika mempunyai daya tarik tersendiri sejak masih sama-sama duduk di SMP. Tapi dulu semua masih terlalu sulit dimengerti, diterangjelaskan.
Selama dua minggu kemudian kukira aku mengharapkan akan ada surat dari Ika. Ternyata tidak. Kehidupan anak STM kiranya tak membutuhkan sentimentalitas berlebihan. Sebulan kemudian aku nyaris lupa kembali. Tapi saat itulah datang suratnya. Aku tak tahu perasaan apa yang ada ketika aku membacanya. Begini bunyinya:

“Kepada sahabatku Kiki,
Maafkan aku. Banyak hal yang membuat aku selama ini tidak menepati janji untuk menulis surat. Seharusnya aku ingin bercerita panjang. Tapi kukira tak ada gunanya. Namun perbolehkanlah kiranya aku berterus terang. Bahwa sesungguhnya aku mengharapkan bukan sekadar sampai persahabatan antara kita sejak kita masih sekolah bersama. Waktu-waktu berjalan terlalu cepat dan hidup bukan sebuah mimpi yang manis. Tahukah kau, aku akan segera bertunangan? Aku tahu kau akan terkejut. Demi Mama tercinta,Ki, itulah alasannya. Barangkali menurutmu aku telah berbuat suatu kebodohan. Tidak. Aku tak bisa lari dari kenyataan. Ada orang yang menolong keluargaku setelah Papa mati. Dia menebus rumah dan kios yang sudah digadaikan Papa. Dia membelikan banyak barang-barang di rumah. Dia membetulkan rumah, menambah modal usaha. Dia menyekolahkan adik-adikku. Dia mengangkat kami dari keputusasaan. Sebelum aku jatuh sakit dia telah melamarku dan Mama menerimanya dengan senang hati. Aku berkeras menentang keputusan Mama tapi bagaimana aku bisa menyakiti hatinya? Kau tahu, baru saja Mama jatuh sakit keras. Maka itu aku sekarang telah menerima lamaran itu. Nanti kalau aku kawin kau pasti kuundang. Doakan aku, Ki. Dari sahabat baikmu: Ika.”

Aku menghela napas panjang setelah membaca surat. Berbagai macam perasaan berbaur dalam hatiku. Ketika kulipat surat itu tanpa sadar aku menyebut nama Tuhan, meminta agar Ika bisa berbahagia kelak hidup dengan laki-laki yang mungkin tak dicintainya. Dan tanpa kusadari juga aku mencium surat itu. Jauh di dalam hatiku aku tak bisa ingkar. Ika...Ika, kau adalah gadis yang membawa cinta pertamaku.  

1981