Saya telah melewati masa sulit, masa yang paling kritis yang
pernah saya alami dalam hidup saya. Seminggu sudah lewat hari-hari penuh padat
melelahkan badan dan jiwa. Sekarang saya menulis catatan ini dalam keadaan
hampir waras, atau sehat sama sekali.
Saya sedang rindu dan saya menunggu kabar darimu.
Saya merasa mungkin keadaan saya jauh lebih baik daripada
keadaanmu sekarang. Kamu mungkin sedang susah-susahnya, berpikir dan
bertanya-tanya, dan menghadapi banyak orang yang sekarang sangat berbeda.
Mereka berlomba-lomba menunjukkan sayangnya kepadamu. Dan kamu tidak bisa
menyangkal bahwa mereka menyayangimu. Dan mereka tak henti-hentinya memberikan
pengertian bahwa mereka benar, bahwa kau yang masih sangat muda, yang baru
mengenal cinta dan dunia, telah melakukan kesalahan besar menurut mereka.
Mereka memang tidak akan menghukum kamu, demikian kata
mereka. Mereka hanya ingin menyadarkanmu bahwa apa pun alasanmu tentang kita
adalah tidak masuk akal. Bahkan menurut mereka kamu telah melakukan suatu dosa
yang besar. Maka kamu harus banyak berdoa memohon ampun kepada Tuhan, supaya
mereka semua bisa mengasihani kamu dengan iba. (Siapa yang memberikan hak ini
kepada manusia?)
Kamu adalah anak gadis yang malang, korban seorang lelaki
dewasa yang jahat. Demikian kesimpulannya.
Dan cinta milik kita mungkin sekarang sedang merengket
ketakutan di pojok ruangan, menunggu saat untuk kabur lewat jendela terbuka.
Dan mereka tidak pernah memperdulikannya sejak pertama kali mereka menemui kamu
dalam keadaan bahagia tapi takut ini.
Sayangku, menangislah terus, air matamu tak akan kering.
Saya pun masih menangis sekarang, air mata kita mengalir
dari telaga kebenaran.
"Siapakah mereka ini?" mungkin begitu tanyamu.
Menurutmu mereka adalah orang-orang yang kamu kenal, kerabat
penuh ceria hari kemarin. Tapi hari ini menjadi orang-orang asing. Dan kelak
..., kamu tak berani membayangkannya.
Dan kamu gemetar.
"Apakah sesungguhnya salahku?" tanyamu lagi
tersendat.
Dan mereka bergantian berebutan menyatakan kebijaksanaan.
"Kamu mencintai seorang pria yang telah berkeluarga.
Dan itu bukan lagi salah tetapi dosa!"
"Dengan itu kamu telah merusak martabatmu dan martabat
keluarga!"
"Kamu telah menjadi sangat bodoh dan memalukan!"
"Kamu telah memakan buah terlarang!"
"Kamu berteman dengan setan!"
Kamu semakin gemetar. Air matamu beku karena tangan-tangan
terulur ingin menjamahmu, mencabik-cabik dirimu.
Matamu nyalang membara. Tubuhmu panas api. Mereka segera
undur dan merapatkan barisan seperti polisi anti huru-hara.
Mereka telah menjadi musuh-musuhmu.
Saya telah mengalaminya, sayangku. Sekarang kamu betul-betul
sendiri. Sekarang kamu rasakan hidup yang sangat pribadi. Sekarang kamu seperti
maling ayam yang tertangkap basah dan akan digebukin orang sekampung. Tak ada
yang bisa kamu harapkan menolong kamu.
Apa jawabmu?
Kamu harus menjawab begini,
"Ya, kalian semua benar. Kami bersalah. Lelaki tua
bangka konyol yang tak tahu diri itu telah membuat kalian marah. Kebenaran dan
kemarahan kalian beranak kebencian. Kami bersalah. Tapi apakah kami harus
dihukum oleh kalian? Bagaimana kami harus dihukum sebab kami tidak merasa
salah? Kami benar dan kalian benar. Di sini perbedaannya. Kita berbeda."
"Kami tidak akan menghukum kamu, kami semua sayang
kepada kamu."
"Tetapi kenapa kalian memandangku demikian keji?"
"Karena kamu tersesat!"
Kamu melongo. Kamu mengkerut. Kamu sangat gemetar. Kamu
sangat takut. Air matamu bercucuran menjadi banjir. Kamu betul-betul sendirian,
menjadi pesakitan, dan akan dirajam dengan batu sayang orang-orang yang begitu
berkepentingan mengurus kamu.
Sayangku, aku telah mengalaminya. Janganlah takut. Aku
berteriak keras-keras agar seluruh dunia mendengar, tak kecuali mereka yang
telah jadi buta tuli di hadapanmu itu.
"Hai. Siapakah kalian? Siapakah kalian yang berhak atas
gadis yang tak berdaya ini? Siapakah kalian yang telah begitu berkelimpahan
sayang hingga ingin menimpuki sayang kepada gadis yang telah menderita ini?
Kalian telah terbenam dalam sayang kalian hingga kalian tidak kuasa lagi
melihat dan mendengar ratapan orang malang ini? Kalian akan bunuhkah orang yang
sedang keracunan buah terlarang ini?"
Nah, lihat, mereka sekarang ganti tertegun.
"Gadis ini sakit. Gadis ini sedang dalam menderita.
Lihatkah kamu luka-luka di sekujur jiwanya? Luka-luka sayang kalian yang
berkelimpahan yang akan disembuhkannya dengan memakan buah terlarang itu?"
"Bagaimana dia bisa sembuh dengan begitu?" protes
seseorang.
"Karena dia mempercayainya begitu."
"Bagaimana dia bisa percaya begitu?"
"Karena dia berbeda dengan kalian."
"Bagaimana kami berbeda?"
"Karena baginya bukan buah terlarang."
"Jadi, apa?"
"Itu adalah separuh hatiku yang sedang mencari paruh
lainnya. Dan dia tahu benar bahwa separuh yang lain itu adalah separuh hatinya
yang juga sedang mencari paruhannya."
Mereka betul-betul melongo.
"Kami telah menyatukannya. Kami jahit dengan
benang-benang peduli dan kami sedang menderita sakitnya untuk menjadi satu,
kuat dan sehat. Dan kalian tidak tahu, mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana
sakitnya persatuan ini tapi akan sehat sekali setelahnya, karena hati kalian
tetap kalian biarkan sebelah."
Mereka sibuk memeriksa hati.
Seseorang menunjukkan hatinya yang besar sekali, seperti
karung beras layaknya. Di dalamnya banyak sekali persediaan sayang. Wajahnya
begitu bangga.
"Kamu tidak akan menemukan pasangannya karena hati yang
serakah dengan sayang itu langka pasangannya," kataku.
Orang itu menangis meraung-raung dan pergi.
Orang-orang sibuk memeriksa hatinya dan menangis dan pergi
satu-satu.
Sayangku, kekasihku, menangislah, karena air matamu tak akan
pernah kering. Tak apa. Air matamu dari telaga kebenaran. Dan percayalah kamu
tak bersalah, dan tak ada yang berhak untuk menyatakan itu, karena kamu, karena
kita telah berbeda dari mereka.
(Palmeriam, 4 Juli 1998)
Keterangan: cerpen ini belum pernah diterbitkan.
Ilustrasi dari Facebook, karya seorang teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar