Minggu, 04 Oktober 2015

(Cerita pendek) Di antara Mereka yang Berlebih Sayang dan Iba




Saya telah melewati masa sulit, masa yang paling kritis yang pernah saya alami dalam hidup saya. Seminggu sudah lewat hari-hari penuh padat melelahkan badan dan jiwa. Sekarang saya menulis catatan ini dalam keadaan hampir waras, atau sehat sama sekali.

Saya sedang rindu dan saya menunggu kabar darimu.

Saya merasa mungkin keadaan saya jauh lebih baik daripada keadaanmu sekarang. Kamu mungkin sedang susah-susahnya, berpikir dan bertanya-tanya, dan menghadapi banyak orang yang sekarang sangat berbeda. Mereka berlomba-lomba menunjukkan sayangnya kepadamu. Dan kamu tidak bisa menyangkal bahwa mereka menyayangimu. Dan mereka tak henti-hentinya memberikan pengertian bahwa mereka benar, bahwa kau yang masih sangat muda, yang baru mengenal cinta dan dunia, telah melakukan kesalahan besar menurut mereka.

Mereka memang tidak akan menghukum kamu, demikian kata mereka. Mereka hanya ingin menyadarkanmu bahwa apa pun alasanmu tentang kita adalah tidak masuk akal. Bahkan menurut mereka kamu telah melakukan suatu dosa yang besar. Maka kamu harus banyak berdoa memohon ampun kepada Tuhan, supaya mereka semua bisa mengasihani kamu dengan iba. (Siapa yang memberikan hak ini kepada manusia?)

Kamu adalah anak gadis yang malang, korban seorang lelaki dewasa yang jahat. Demikian kesimpulannya.

Dan cinta milik kita mungkin sekarang sedang merengket ketakutan di pojok ruangan, menunggu saat untuk kabur lewat jendela terbuka. Dan mereka tidak pernah memperdulikannya sejak pertama kali mereka menemui kamu dalam keadaan bahagia tapi takut ini.

Sayangku, menangislah terus, air matamu tak akan kering.

Saya pun masih menangis sekarang, air mata kita mengalir dari telaga kebenaran.

"Siapakah mereka ini?" mungkin begitu tanyamu.

Menurutmu mereka adalah orang-orang yang kamu kenal, kerabat penuh ceria hari kemarin. Tapi hari ini menjadi orang-orang asing. Dan kelak ..., kamu tak berani membayangkannya.

Dan kamu gemetar.

"Apakah sesungguhnya salahku?" tanyamu lagi tersendat.

Dan mereka bergantian berebutan menyatakan kebijaksanaan.

"Kamu mencintai seorang pria yang telah berkeluarga. Dan itu bukan lagi salah tetapi dosa!"
"Dengan itu kamu telah merusak martabatmu dan martabat keluarga!"
"Kamu telah menjadi sangat bodoh dan memalukan!"
"Kamu telah memakan buah terlarang!"
"Kamu berteman dengan setan!"

Kamu semakin gemetar. Air matamu beku karena tangan-tangan terulur ingin menjamahmu, mencabik-cabik dirimu.

Matamu nyalang membara. Tubuhmu panas api. Mereka segera undur dan merapatkan barisan seperti polisi anti huru-hara.

Mereka telah menjadi musuh-musuhmu.

Saya telah mengalaminya, sayangku. Sekarang kamu betul-betul sendiri. Sekarang kamu rasakan hidup yang sangat pribadi. Sekarang kamu seperti maling ayam yang tertangkap basah dan akan digebukin orang sekampung. Tak ada yang bisa kamu harapkan menolong kamu.

Apa jawabmu?

Kamu harus menjawab begini,
"Ya, kalian semua benar. Kami bersalah. Lelaki tua bangka konyol yang tak tahu diri itu telah membuat kalian marah. Kebenaran dan kemarahan kalian beranak kebencian. Kami bersalah. Tapi apakah kami harus dihukum oleh kalian? Bagaimana kami harus dihukum sebab kami tidak merasa salah? Kami benar dan kalian benar. Di sini perbedaannya. Kita berbeda."

"Kami tidak akan menghukum kamu, kami semua sayang kepada kamu."

"Tetapi kenapa kalian memandangku demikian keji?"

"Karena kamu tersesat!"

Kamu melongo. Kamu mengkerut. Kamu sangat gemetar. Kamu sangat takut. Air matamu bercucuran menjadi banjir. Kamu betul-betul sendirian, menjadi pesakitan, dan akan dirajam dengan batu sayang orang-orang yang begitu berkepentingan mengurus kamu.

Sayangku, aku telah mengalaminya. Janganlah takut. Aku berteriak keras-keras agar seluruh dunia mendengar, tak kecuali mereka yang telah jadi buta tuli di hadapanmu itu.

"Hai. Siapakah kalian? Siapakah kalian yang berhak atas gadis yang tak berdaya ini? Siapakah kalian yang telah begitu berkelimpahan sayang hingga ingin menimpuki sayang kepada gadis yang telah menderita ini? Kalian telah terbenam dalam sayang kalian hingga kalian tidak kuasa lagi melihat dan mendengar ratapan orang malang ini? Kalian akan bunuhkah orang yang sedang keracunan buah terlarang ini?"

Nah, lihat, mereka sekarang ganti tertegun.

"Gadis ini sakit. Gadis ini sedang dalam menderita. Lihatkah kamu luka-luka di sekujur jiwanya? Luka-luka sayang kalian yang berkelimpahan yang akan disembuhkannya dengan memakan buah terlarang itu?"

"Bagaimana dia bisa sembuh dengan begitu?" protes seseorang.
"Karena dia mempercayainya begitu."
"Bagaimana dia bisa percaya begitu?"
"Karena dia berbeda dengan kalian."
"Bagaimana kami berbeda?"
"Karena baginya bukan buah terlarang."
"Jadi, apa?"
"Itu adalah separuh hatiku yang sedang mencari paruh lainnya. Dan dia tahu benar bahwa separuh yang lain itu adalah separuh hatinya yang juga sedang mencari paruhannya."

Mereka betul-betul melongo.

"Kami telah menyatukannya. Kami jahit dengan benang-benang peduli dan kami sedang menderita sakitnya untuk menjadi satu, kuat dan sehat. Dan kalian tidak tahu, mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana sakitnya persatuan ini tapi akan sehat sekali setelahnya, karena hati kalian tetap kalian biarkan sebelah."

Mereka sibuk memeriksa hati.

Seseorang menunjukkan hatinya yang besar sekali, seperti karung beras layaknya. Di dalamnya banyak sekali persediaan sayang. Wajahnya begitu bangga.

"Kamu tidak akan menemukan pasangannya karena hati yang serakah dengan sayang itu langka pasangannya," kataku.

Orang itu menangis meraung-raung dan pergi.

Orang-orang sibuk memeriksa hatinya dan menangis dan pergi satu-satu.

Sayangku, kekasihku, menangislah, karena air matamu tak akan pernah kering. Tak apa. Air matamu dari telaga kebenaran. Dan percayalah kamu tak bersalah, dan tak ada yang berhak untuk menyatakan itu, karena kamu, karena kita telah berbeda dari mereka.

(Palmeriam, 4 Juli 1998)

Keterangan: cerpen ini belum pernah diterbitkan.
Ilustrasi dari Facebook, karya seorang teman.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar