Sabtu, 19 September 2015
Surat: Sedikit tentang "Merah yang Meremah"
Kawan yang baik,
saya punya catatan:
Di tangan saya ada buku kumpulan puisi "Merah Yang Meremah", sebuah antologi 10 penyair. Di bagian atas sampul muka tertulis, "10 Penyair Perempuan di Facebook". Buku ini saya terima dari tangan sahabat saya Syamsudin Noer Moenadi dalam keadaan sampul yang mencuat agak lusuh, dan lembar-lembar terjilid yang jelas sudah dibolak-bolak. Buku ini baru setengah harian ada di tangan SNM. Dia mendapatkannya sebagai pemberian dari salah seorang teman barunya yang baru dikenalnya tadi malam. Dia telah membolak-baliknya tadi malam mungkin sebagai pengantar tidur, mungkin diteruskan pagi ini di busway ketika dalam perjalanan ke rumah saya. Dia menyerahkannya kepada saya untuk saya melihatnya. Demikianlah buku setebal 136 halaman ini berada di tangan saya sekarang ini.
Saya membalik-balik lembar-lembar buku membaca puisi-puisi yang cukup banyak itu (97 buah). Rasanya tidak sabaran. Saya kembali ke depan, membaca pengantar Kurniawan Junaedhie, pada baris pertama saya terhenyak, sebuah kejutan. Katanya, "Kriteria apa yang dipakai untuk memuat puisi para penyair yang ada di Facebook ke dalam buku ini? Tidak ada."
Teman saya Kurniawan yang baik hati menerangkan tentang dunia Facebook. Serba instan itulah sifat utama Facebook. Katanya lagi, "Facebook memang melahirkan puisi-puisi instan, dan penyair-penyair instan. Dan yang disayangkan pula, Facebook ternyata juga hanya mengundang opini, tanggapan atau komentar pembaca yang juga instan, yaitu bersifat 'artificial' , dan tidak 'in depth' (mendalam). Padahal, menurut saya, mestinya penyair juga berhak mendapat keuntungan dari 'feedback' yang konstruktif, meskipun kritik itu terkadang kejam. Tanpa memperoleh 'feedback' berarti, bagaimana para penyair bisa mengevaluasi diri untuk meningkatkan kualitas puisinya di kemudian hari?"
Maka saya melonggarkan selonggar-longgarnya yang mungkin dari kaidah2 perpuisian yang saya tahu, saya berusaha menikmati kembali buku kumpulan puisi yang cantik ini. Saya bayangkan penulisnya cantik-cantik dan wangi pula. Dan kebanyakan sudah berumah tangga. Jadi agak lebih mudahlah membacanya tanpa mencurigai keseriusannya. Mereka memang menulis puisi. Mereka menulis dalam bentuk puisi maksud saya. Saya ingin percaya bahwa, seperti kata Kurniawan juga dalam kata pengantarnya, "...ke-10 teman ini sudah jelas-jelas menulis puisi, bukan cerpen atau warta berita."
Ternyata saya masih bisa kecewa. Karena hanya sedikit saja puisi yang saya temukan. Saya tidak akan membicarakan teknik dan ilmu puisi yang kadang2 menjadi berlebihan. Saya bicara rasa puisi. Kebanyakan rasanya prosa. Hanya tulisan catatan, laporan, keluhan, bahkan omelan untuk diri sendiri. Bisa saja dikatakan bahwa mereka mengangkat tema-tema zaman sekarang dengan berani.Tetapi untuk apa? Apa maknanya? Setelah itu apa? So what? Karena memang sekarang ini semua orang bisa dan boleh saja menulis puisi tanpa susah-susah lagi.
Ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan bahwa, menulis puisi adalah mencipta. Mencipta adalah memberikan yang terbaik terutama seninya. Karya cipta harus menunjukkan keunggulan. Dia tidak sekadar hanya menjadi ada.
Jakarta, 26 Februari 2010
Jumat, 18 September 2015
The Sickness Unto Death, oleh Kierkegaard
Aku belajar bahwa orang dewasa adalah orang yang bertarung melawan penderitaan sebagai manusia. Orang yang memahami bahwa setiap orang mempunyai kehidupannya masing-masing.
Di dunia ini ada banyak kehidupan. Dan bersama dengan itu... banyak kesulitan, kebingungan dan keragu-raguan. Bukan aku saja yang memiliki masalah kehidupan, ayahku dulu juga, kamu juga. Baiklah. Mulai sekarang aku harus memikirkan bagaimana kita semua hidup. Daripada hanya memikirkan bagaimana aku hidup.
Substansi manusia itu adalah jiwa. Makhluk yang hidup dengan berbagai perasaan yang muncul setiap hari. Manusia itu tak bisa tidak memikirkan berbagai hubungan yang ada kaitannya dengan dirinya. Orang tua, teman, kekasih, pekerjaan, masa depan, dll. Saat ini aku punya hubungan yang berhubungan. Itulah yang disebut diri! Ini dan itu yang terkait diri sendiri.
Saat itu kalau begini, kalau begitu, ya... Waktu terus maju ke depan. Tapi kehidupan manusia hanya bisa dilihat ke belakang. Kehidupan itu menjengkelkan, ya? Aku banyak mengalami kesulitan dan mulai mengerti... dunia manusia.
Ada dua kehidupan manusia. Yang pertama adalah cara hidup yang bersifat sensitif. Cara hidup ini hanya mementingkan perasaan, ingin memenuhi hidupnya dengan rangsangan dari luar, hidup yang menyedihkan. Yang penting kesenangan sesaat, tidak berpikir panjang, tapi perlu hubungan yang dalam... Harta, barang bermerek, nama besar, penghargaan, jabatan. Cara hidup yang tergantung pada apa yang ada dari luar diri sendiri ini selalu membutuhkan rangsangan dari luar! Cara hidup ini membuat kemandirian hilang, dan jadi tidak bisa mengontrol diri. Orang itu selalu terbawa-bawa oleh rangsangan dari luar diri sendiri. Tak ada kedamaian dan ketenangan hati. Orang itu selalu terbawa-bawa oleh segala yang ada di luar. Sebetulnya... kehilangan diri itu sama saja dengan putus asa.
Tapi perasaan putus asa ini bisa tidak dirasakan asal tenggelam semakin dalam ke dalam rangsangan. Dan siapapun bisa hidup sehari-hari seperti biasa. Sambil terbawa ke tempat dangkal secara kejiwaan.
Tapi... masalah utama dari cara hidup ini adalah tidak bertanggung jawab pada diri sendiri. Orang itu berpikir semua tindakannya berasal dari efek luar. Dan membuang tanggung jawabnya sendiri. Dulu karena ingin menghindar dari kesulitan, aku lari ke kesenangan. Dan aku kehilangan diriku sendiri! Aku membuang tanggung jawab bagi diri sendiri. Merusak menghancurkan diri sendiri. Menuju kematian.
Tapi... untungnya aku bisa kembali ke diriku sendiri. Berkat orang yang kucintai.
Tapi memang betul dunia ini bersifat kebetulan, tapi konsekuen dan tidak realistis. Karena itu manusia mudah menjalani cara hidup sensitif yang dikuasai pengaruh dari luar.
Tapi ada cara hidup lainnya, yang kedua: cara hidup etis! Etis itu bagaimana seseorang selayaknya hidup. Jelasnya, cara hidup etis itu cara hidup yang mengandalkan diri sendiri. Dan cara hidup ini bertujuan melepaskan diri dari putus asa yang bersifat sensitif melalui tekad yang kuat. Cara hidup etis itu menerima semua tanggung jawab yang berkaitan dengan diri sendiri, memilih yang paling pantas untuk diri sendiri. Bukan orang lain yang membuat aku begini tapi aku dari keinginan aku sendiri yang kupilih dari berbagai kemungkinan. Di antara kemungkinan-kemungkinan yang ada di diri yang didapat dari tekad yang kuat saat menghadapi dunia.
Tentu saja dengan usaha sendiri. Memilih diri sendiri dengan tanggung jawab sendiri. Untuk menjadi diri yang baru, diri yang aku inginkan. Aku harus maju terus dengan kekuatan sendiri. Memilih diri sendiri dari masa depan yang tak jelas, tanpa menyalahkan orang lain. Mengalahkan kematian. Hidup.
Komik. Penerbit PT Elex Media Computindo, 2010
Sabtu, 12 September 2015
Catatan Selasa, 13 September 1994, jam setengah empat pagi.
Setiap pelukis harus menemukan seni rupanya sendiri. Sama seperti setiap penyair harus menemukan bahasanya.
Maknanya adalah setiap pelukis harus mempunyai banyak pengalaman seni rupa, menyadari segala aspek seni rupa, mempertanyakannya, membuat konsep dan mengerti jelas tujuan.
Pada tahun 1974, ketika saya berusia dua puluh tahun, saya masuk LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dengan kesiapan yang luar biasa untuk menjadi pelukis. Saya merasa bahwa saya sudah tidak punya masalah dalam menggambar. Saya telah matang teknik dan pengalaman praktek karena saya sudah menggambar sejak kecil. Saat itu saya telah berhenti melukis komik, tapi masih menjadi ilustrator dan kartunis untuk majalah hiburan. Selain merasa unggul dalam menggambar, saya pikir pengetahuan saya tentang seni lukis juga memadai. Saya merasa juga telah mengerti seni lukis abstrak.
Betapa kecewanya saya pada kenyataan bahwa saya tidak lulus seleksi masuk dan harus diulang lagi. Pada saat itu saya merasa ada yang salah pada para penilai, tapi juga mungkin pada diri saya sendiri. Ketika tes ulang, saya menggambar sebebas mungkin, atraktif tentang garis dan warna, dan saya harus akui sekarang bahwa hanya pamer teknik dan keberanian atau pengalaman lamanya latihan saya. Saya lulus dengan kesombongan penuh, bahwa saya telah menunjukkan semua kehebatan saya.
Tapi apakah betul saya telah mengerti seni rupa?
Hal itu bukan persoalan utama. Persoalannya adalah teman-teman yang di kiri kanan meja saya, yang menggambar bentuk saja tidak becus, garisnya tidak kuat, warnanya tidak berani, dan dalam bekerja selalu mengeluh "Bagaimana, ya?" sambil lihat sana sini membandingkan pekerjaannya dengan yang lain, eh, lulus dalam tes pertama. Gila betul! Padahal mereka itu kurang berbakat menurut saya, hanya ingin seni-senian saja. Dan saya? Huh! Lihat nantilah!
Semester pertama semua hancur-hancuran. Yang berbakat atau tidak jadi bego dalam menggambar. Saya sendiri yang berpegang kepada keberanian beraksi dan kebebasan melukis rasanya tinggal sedikit mempunyai kepercayaan diri. Untuk mata kuliah Menggambar Bentuk rasanya tidak masalah. Tapi ketika menggambar bebas, terpuruk di museum memelototi batu-batu, berusaha keras mengambil 'jiwa' dari arca yang karya besar abad-abad lampau, apa-apaan ini? Pak Danarto, sang dosen, tak pernah sungguh-sungguh mau mengomentari karya kami selain senyum-senyum melulu. Dan sekali-kali entah memberi petujuk atau kritik, tak pernah jelas.
Ketika workshop lebih gila lagi. Dosennya dua orang, Zaini dan Rujito. Acaranya enak, jalan-jalan melulu, naik bus tidak bayar karena disediakan, kalau ke luar kota pergi sendiri-sendiri tapi dikasih ongkos. Kertas gambar dapat jatah beberapa lembar kertas padalarang dan puluhan lembar kertas duplikator. Menggambarnya di Monas, Lapangan Banteng, Glodok, Senen, Kali Baru, Ragunan, Kebun Raya, Ciloto atau seputar Taman Ismail marzuki. Seminggu sekali giliran. Piknik terus! Mau menggambar habis-habisan boleh, bebas, alat gambar apa saja. Dan tidak mau menggambar juga boleh, bebas, cuma ngobrol-ngobrol, godain teman yang serius, atau pacaran. Dosen sungguh-sungguh tak peduli. Diumbar seperti ayam lepas kandang.
Tak pernah ada teori dalam mata kuliah Menggambar Bebas dan Workshop. Harinya berturutan Jumat dan Sabtu. Kalau ke Ciloto menginap sampai Minggu sore. Inilah hari-hari bahagia setiap minggu tapi sering juga hari neraka. Karena jenuh menggambar, tidak ada kemajuan, makin bingung dan bodoh, eh ketemu Mas Rujito dicibiri pula. atau kebetulan ketemu Pak Nashar, bertanya, malah diomelin disuruh mempertanggungjawabkan satu coretan atau satu titik. Bertanya pada kakak kelas tetapi ternyata sama bingungnya. Dan sialnya atau bagusnya, tiap ketemu Pak Zaini dan dimintai pendapat, komentarnya selalu "Bagus dan teruskan." Seperti Pak Tino Sidin di tivi. Komentarnya sambil senyum dan mengangguk-angguk dan terus jalan lagi. Beda dengan Rujito yang memegang kelas kami (Zaini untuk kakak kelas), kami diomeli tapi tidak diajari bagaimana mestinya. Pokoknya jelek dan teruskan! Terus meskipun kepala sudah mau pecah, semangat merosot, bingung, dan seperti bertahan sia-sia entah untuk apa.
Tak heran bukan jika pada awalnya kelas ada enam puluh orang dan di semester dua tak lebih dari separuhnya. Dan pada semester tiga berkurang hampir separuh lagi. Semester empat saya berhenti. Bukan karena gagal, tapi karena tidak punya uang, harus bekerja, bertekad tetap menjadi pelukis tapi tak mau menjalani hidup bohemian. Saya merasa banyak mendapatkan pengalaman dan kesadaran seni rupa di LPKJ ini.
Cerita sudah cukup panjang. terus terang, keluar dari LPKJ saya merasa lebih mantap pilihan, tapi tidak merasa lebih pintar. Saya sekarang bisa melukis di kanvas, tidak hanya di kertas, sadar akan bakat saya, dan sadar pula bahwa masih jauh perjalanan seni rupa saya. Tanpa saya sadari saya belajar berpikir dalam seni rupa. Sekarang saya menyadari benar bahwa bakat saja tidak cukup. Benar kata Picasso, "Melukis adalah berpikir." Saya dapatkan semua ilmu bukan karena teori-teori para dosen, tapi lebih dari karena saya berpikir dalam bergumul dengan seni rupa.
Dalam pencarian saya, saya menemukan seni rupa saya pada tahun sembilan puluh, dan kematangan pada tahun 1993. Sekarang saya boleh sombong untuk mengatakan bahwa saya tidak lagi punya masalah besar. Saya telah mendapatkan pencerahan. Saya telah menemukan seni rupa saya, gaya saya sendiri.
Rasanya saya tidak banyak berbeda seperti pada tahun 1974. Kelebihannya adalah sekarang ini saya telah mengerti masalah. Saya telah banyak mengalami dan saya memiliki konsep dan tujuan yang jelas.
(Palmeriam, 13-9-1994)
Jumat, 11 September 2015
Catatan Minggu, 11 September 1994, 01.42
Saya seorang naturalis.
Sebagai pelukis saya sering berpikir tentang aliran seni rupa saya. Hal ini tidak menjadi masalah pada saat sekarang. Tapi sepuluh tahun yang lalu adalah masalah besar. Mau ke mana saya? Sementara saya mencoba percaya untuk melukis abstrak, memperhitungkan segala warna dan sapuan, bertahan pada teori-teori abstrak dan mitos-mitos seni rupa, dan selalu merasa kurang jika tidak mau disebut gagal.
Saya pernah sangat frustrasi jadinya, dan membakar banyak karya-karya saya, dan terus meradang, di mana salahnya?
Di tahun 1990 saya bertekad untuk melukis kembali dengan baik. Paling tidak dengan seluruh ketekunan yang ada. Rasanya menghasilkan kurang lebih lima puluh lukisan. Sebuah kerja keras dan merupakan salah satu tahun yang sangat keras dalam kehidupan saya.
Di penghujung tahun 1990, saya mencoba mengevaluasi hasil. saya gembira dengan produktivitas saya. Saya merasa mutu telah memadai. Ada perkembangan. Pengalaman teknik semakin kaya. Tapi saya merasa tidak beranjak jauh. Meskipun saya merasa makin mantap dengan pilihan hidup sebagai pelukis, tapi kemajuan yang tak banyak mengendorkan semangat juga. Kesibukan mengurus rumah menjelang Natal membuat saya libur melukis dan lebih banyak berpikir. Dan kesimpulannya saya masih belum menemukan yang saya cari.
Di awal tahun 1991 saya disibukkan kembali oleh kerja rutin TTS (Teka Teki Silang). Saya membenahi banyak hal, berusaha membuat penyegaran, dan larut di dalamnya. Saya menangguhkan kerja melukis saya dan tanpa saya sadari tahun baru kembali datang. Tidak ada satu pun karya saya di tahun ini. Tapi rasanya banyak sekali pemikiran dan renungan. Mungkin ini termasuk tahun alpa, atau tahun pencarian tanpa aksi apa-apa. Ini betul-betul tahun diam dalam kebangkitan saya.
Pada tahun 1992 hanya ada tiga buah karya cat minyak saya. Lukisan kecil "Bulan Sakit", "Penari Bali", dan "Perahu Cilincing" semua dalam warna biru dan pucat. Ketiganya saya kerjakan pada akhir Juni dan berlanjut ke bulan Juli. Pada saat ini saya menemukan biru. Compossed Blue dari cat Nouvel menjadi warna favorit saya. Tiba-tiba biru menjadi sakral bagi saya. Tiba-tiba biru menjadi awal mulanya. Biru menjadi napas baru dalam kekeringan satu setengah tahun ini. Dan biru menjadi dasar iman seni rupa saya, penyelamat, sandaran, ibu, juga bumi. Ini tampak pada tahun-tahun kemudian, dan mungkin seterusnya, bahwa pada saat saya begitu tak berdaya, saya kembali kepada biru. Pada tahun 1994 ini banyak lukisan yang bermula bukan biru akhirnya dominan dengan biru.
Mengapa biru? Ketika saya masih kuliah LPKJ, 1994, awal saya menggambar di atas kanvas, seorang sahabat yang bernama Tulanmoro menunjukkan Prussian Blue kepada saya. Sambil menunjukkan satu tube cat dan kanvas yang dikerjakannya dengan warna itu dia berkata, "Nih, Yus, ini baru warna!" Ya, saya jatuh cinta. Sebetulnya bukan warna asing, saya melihatnya sejak saya kecil karena itulah warna tinta tulis. Tapi pada saat itu pertemuan saya dengan Prussian Blue membuka cakrawala warna saya, sebuah kesadaran tentang rasa warna bagi seorang pelukis. Prussian Blue menjadi sahabat saya, periang ria kanvas saya. Sesungguhnya favorit saya adalah merah darah. Entah bagaimana saya malah cocok dengan Vermillion. Dan pertemuan Vermillion dengan Prussian Blue betul-betul menyenangkan saya, seperti sebuah pesta.
Lanjutnya begini. 23 Juni bapak mertua tercinta Ignasius Buchari Kusnandar meninggal dunia dalam usia 78 tahun. Malam setelah penguburan saya tidak bisa tidur meskipun saya merasa lelah sekali. Saya tidak merasa sedih, saya hanya merasa sedikit hampa ketika saya sendirian di sofa di bawah sinar neon. Ketika merenung-renung inilah tiba-tiba saya teringat bahwa saya masih mempunyai kanvas kosong. Saya ingin melukis! Saya ambil cat, tapi apa yang ingin saya lukis? Apa idenya? Saya memungut warna putih dan Compossed Blue. Gambar apa? Apa saja! Muntahkan saja! Jadilah lukisan bulan yang kemudian saya namai "Bulan Sakit" itu.
Sebuah lukisan yang sangat sederhana, dengan warna-warna biru dan putih. Tapi saya merasa begitu dahsyat. Gumpalan-gumpalan cat dari plototan dan torehan palet serta sapuan kuas lebar itu mengantarkan kesadaran baru pada saya, kesederhanaan dalam seni rupa. Mengapa tidak melukis dalam biru saja? Wilayah biru kan bisa dari hampir hijau sampai ungu dan hampir hitam? Dan di tengah itu ada Compossed Blue. Netral dan anggun, dan menjadi primadona.
Penemuan ini tidak membuat saya bergairah dan produktif. Nyatanya saya hanya membuat dua lukisan lagi dan mengaso lagi, sibuk dengan kerja rutin. Tapi biru menjadi iman. Selalu saja saya katakan kepada diri saya ketika saya berpikir tentang seni rupa, "Suatu saat saya akan habis-habisan dengan biru."
Masuk tahun 1993. Beberapa lukisan di bulan-bulan awal tahun ini adalah mutlak studi biru. Yang ketika melukis saya selalu seperti bernyanyi bahwa biru adalah langit, adalah laut, adalah udara, adalah air, adalah inti kehidupan. Salah satu ide saya adalah lukisan biru yang entah bagaimana yang berkata, "Pada Awalnya Adalah Biru". Sebuah judul yang bagus tapi sampai pada kanvas yang terakhir belakangan hari ini gagal untuk yang kesekian.
Pengalaman dengan Prussian Blue dan Compossed Blue membuat biru mempunya arti banyak pada saya. Tapi jangan salah, saya tidak bergantung kepada biru. Biru bukan warna yang mutlak harus ada pada kanvas saya. Tapi biru mempunya makna psikologis kepada saya, ketakberdayaan. Saya akan sering kembali kepada biru karena saya percaya hakekat manusia adalah ketidakberdayaan. Ketika saya merasa tidak berdaya, saya percaya kepada alam, kepada biru. Ketika banyak warna pun tak berdaya dalam seni lukis saya, saya percayakan kepada biru.
Jadi, memang benar saya seorang naturalis.
(Palmeriam, 11-9-1994)
Tambahan:
Lukisan "Bulan Sakit" telah dikoleksi seseorang.
Saya berterima kasih lagi kepada kolektor yang baik hati.
Kamis, 10 September 2015
Saya Suka Menangis
Saya suka bilang pada diri saya sendiri, "Jangan cengeng!"
Kalimat ini lebih banyak berupa bentakan yang saya dengar waktu saya kecil.
Saya suka curhat kepada teman-teman baik bahwa saya cengeng. Teman seniman bilang, itu adalah modal untuk menjadi seniman, yaitu sentimental dan melankolis. Seniman harus mengasah perasaannya, harus kaya dengan 'rasa'. Ditambahkannya, juga harus romantis. Apakah saya romantis? Hanya isteri saya yang tahu benar. Saya pernah tanya padanya dan jawabnya membuat saya kecewa, karena menurutnya saya kasar dan egois.
Belum lama ini saya membaca ulang sebuah novelet pop (sudah dipublisir tahun 80-an) yang pernah saya tulis dan saya kecewa karena cerita itu tentang perselingkuhan suami yang baik dengan perempuan tidak baik, penuh ratapan cinta egois yang rasanya konyol bagi lelaki tua seumur saya sekarang. Tapi dulu seorang teman penulis memuja saya karena kehebatan saya menulis cerita ini. Jika dia seorang perempuan mungkin telah membuat cerita khayalan saya itu menjadi nyata saya alami.
Saya dididik dengan sangat keras, penuh kekerasan (KDRT). Tidak heran saya banyak menangis. Menangis adalah jatah setiap hari. Saya menangisi diri sendiri. Dan saya belajar menangisi orang lain. Saya suka mengamati orang lain, pertanyaannya selalu "apakah dia lebih beruntung dari saya?" Di masa remaja saya telah menjadi orang aneh yang suka menyendiri, asyik menulis dan menggambar apa saja. Dan saya sudah bisa mencari uang dengan berkarya sejak masih di Sekolah Menengah Pertama. Tetapi saya masih suka menangis jua. Saya menyaksikan banyak kekerasan di sekeliling saya, saya mendengar berita kekerasan di seluruh dunia, saya anti kekerasan. Saya menangisi dunia karena saya mengalami kekerasan dengan banyak bentuknya. Saya bertumbuh untuk mengerti jahat.
Jika saya ditanya apa jahat itu, jawab saya, "Perbuatan kepada orang yang membuat orang itu menangis". Banyak orang yang menangis diam-diam dan menangis dalam diam. Banyak orang berbuat jahat tanpa disadarinya. Banyak kejadian yang jahat dalam hubungan cinta (Teman curhat saya bilang, "Saya tahu dia sayang saya tapi dia tidak tahu bahwa perbuatannya menyakiti saya."). Tetapi di dalam cinta tidak ada jahat. Cinta itu menguatkan, tidak pernah melemahkan.
Saya salin potongan email saya kepada seorang teman baik baru-baru ini:
Saya orang yang hidup banyak kecewa dan dirundung sedih (saya memang penyedih sejak kecil) tetapi Tuhan YME selalu menguatkan saya. Sekarang saya bisa bahagia meskipun penderitaan terus saja ada. Puji Tuhan.
Ya, saya suka menangis.
saya suka menangis sampai sekarang. Baru saja saya menangis lagi membaca ini:
PERJANJIAN DALAM KANDUNGAN
Jangan pernah bunuh dia
Jangan pernah menghalangi rencana indahnya
Jangan pernah malu untuk melahirkannya
Jangan pernah menyesal telah memilikinya
Jangan pernah merasa hina dengan kehadirannya
Jangan pernah merasa dunia tiada tempat untuknya
Jangan pernah takut pengharaman mereka
Percayalah dia bagian dari rencana indahNya
Rabu, 09 September 2015
Cinta adalah menerimamu menjadi bagian yang paling sulit dalam hidupku....
MY FOOLISH HEART
- mengapa engkau begitu cantik?
denganmu aku menggenggam bara
selalu ada ceritamu
yang membuatku alpa
Sajak pendek ini lahir dari sebuah cerita (baca: fakta).
Begini:
Seorang teman muda cantik di fesbuk entah mengapa memilih
saya untuk mendengarkan kisah cintanya yang tragis. Dalam sebulanan saya
mendapatkan surat-suratnya (inbox) saya menyimpulkan bahwa saya salah sangka
sejak awalnya. Percintaan itu indah. Ini cerita perselingkuhan seorang
perempuan muda dua puluhan tahun dengan pria enam puluhan. Kira-kira sekitar
itulah, detil jelasnya tidak saya perlukan. Saya mau percaya bahwa
perselingkuhan juga tidak selalu salah, bisa membahagiakan untuk yang menjalaninya.
Tetapi saya harus balik lagi percaya bahwa perselingkuhan adalah sebuah
kutukan. Percintaan yang indah itu hanya berlangsung lebih setahun, tanpa
perkawinan resmi, membuahkan seorang anak, si pria tua yang penuh cinta dan
sangat baik ini meninggal dunia.
Hubungan mereka bermula di Facebook.
Semakin indah....
Semakin indah ceritanya, kalau hanya sebuah cerita.
*
Berapa banyak pasangan yang menikah karena cinta sejati
mereka?
Pertanyaan ini tak penting, mungkin kedengarannya lucu, atau
terlalu mengada-ada.
Di dalam pesta pernikahan kita selalu percaya kepada cinta
murni kedua mempelai, ikut merestui,
merayakan saat yang terindah dalam hidup kedua orang yang berbahagia ini. Kita
percaya mereka akan selalu bersama-sama sampai kakek-nenek, sampai kematian
yang memisahkan.
Bahkan pun pada pernikahan yang murung dan tergesa,
pernikahan karena 'kecelakaan'.
(Betapa indahnya cinta.)
Saya pernah mendampingi mempelai kerabat belia yang sudah
hamil empat bulan. Ketika saya memandang dia menggenggam erat-erat tangan
suaminya yang juga masih belia, saya bertanya kepada Tuhan, "Apa yang
terjadi?"
Sesungguhnya saya tidak mengerti, saya seketika menjadi
tipis iman.
*
Saya salinkan potongan email dari seorang teman yang cerdas,
mengharukan, saya abadikan di sini.
(Terima kasih kepada teman yang saya kagumi yang telah
memberi izin untuk ini.)
"Belakangan saya ingat mantan pacar saya yang dulu,
orang Australia. Putus 1998. Saya yang putusin gara-gara dia selingkuh sama
Cina Penang dan bule Australia di GC (kurang ajar kan rangkap tiga). Saya
minggat lagi ke AS. Waktu itulah saya beberapa kali mencoba bunuh diri karena
saya sangat mencintai dia. Obsessed. Kalau nggak ada teman saya L yang
mendukung saya, barangkali saya sudah mati beneran. Meski kemudian saya kenal
banyak orang dan bahkan pacaran beberapa kali...sesungguhnyalah saya tidak
pernah berhenti mencintai dia. Beberapa kali saya mencari-cari info tentang
keberadaannya, tapi nggak pernah ketemu. Namun saya nyari nggak dengan sepenuh
hati karena saya terpikir "kalau sudah ketemu mau apa". Tahu-tahu
sudah 14 tahun, dan beberapa bulan terakhir ini malah setiap hari saya ingat
padanya. Saya nemu fotonya tahun 2005 waktu dia jadi volunteer di Aceh setelah
tsunami. Saya sudah telepon beberapa alamat tetapi dia selalu sudah
meninggalkan tempat itu. Saya ingin ketemu dia lagi meski pertanyaan
"setelah itu apa" tetap mengganjal. Bayangan saya tentang dia kan dia
14 tahun yang lalu, sekarang mungkin sudah berubah (sama seperti saya). Foto
yang ketemu di Google itu kan tahun 2005. Dia nggak banyak berubah sih
Saya nggak tau bagaimana menemukan dia. Belakangan ini saya
sedih banget karena saya tau saya tetap mencintai dia."
*
Jika harus memuja cinta, contoh utama yang akan saya
kemukakan tentang cinta sejati adalah film "Original Sin". Film ini
sudah beberapa kali saya tonton karena saya tadinya tidak percaya ada cinta
seperti ini. Pada akhirnya saya berhenti menontonnya karena saya takut berjumpa
dengan perempuan dalam film ini yang diperankan dengan sangat berbakat oleh
Angelina Jolie sebagai Julia.
(Adegan ranjangnya digarap apik dan cantik.)
http://www.imdb.com/title/tt0218922/
Julia: No this is not a love story, but it is a story about
love. About those who give in into it, and the price they pay. And those who
run away from it, because they are afraid, or because they do not believe
they're worthy of it. She ran away. He gave in.
[first lines]
Julia: You cannot walk away from love. That was the
advertisement in a Baltimore newspaper. And that is how he found her.
Dan ini teriakan Antonio Banderas (berperan sebagai Louis)
yang membuat saya (waktu itu) malu jadi lelaki:
Louis: Whore! Liar! Thief! Don't you see? Don't you see that
I cannot breath without you? I cannot live without you? Don't you see that?
Don't you see how much I love you?
*
Berapa banyak pasangan yang menikah dan berbahagia sampai
mati karena cinta sejati mereka?
Saya percaya ada banyak.
Saya harus percaya....
*
Film "Love Story" hadir menggemparkan di awal tahun
70-an. Dibintangi oleh Ali MacGrouw dan Ryan O'Neal. Diangkat dari buku
bestseller karya "Erich Segal".
Lihat: http://www.imdb.com/title/tt0066011/
Buku "Love Story" yang saya punya diterjemahkan
oleh L. Naam. Penerbit Tanah Air Press, 1971.
Mari kita membayangkan dialog ini terjadi:
"Hai Oliver, apa kusebut aku cinta padamu?"
"Ndak, Jen."
"Kenapa tak kau tanyakan?"
"Terus terang, aku tak berani."
"Tanyalah aku sekarang."
"Cintakah kau padaku, Jenny?"
Dia melihat padaku dan tak hendak mengelak dikatakannya,
"Kau pikir bagaimana?"
"Yah. Saya kira. Boleh jadi."
Kucium lehernya.
"Oliver?"
"Ya."
"Aku tidak hanya cinta padamu ...."
"Oh Tuhan, ada apa ini?"
Selasa, 08 September 2015
(Cerita Pendek) SUATU KALI DICINTAI
Saya cuma tersenyum ketika mendengar dia mengatakan cinta
pada saya. Cinta, satu kata itu, saya merasa ganjil sekali. Dan dia mencium
pipi saya. Bibirnya yang mungil dan selalu merah itu, yang selalu tampak segar,
terasa dingin. Saya memalingkan wajah menghindar dari tatapannya. Saya merasa
risi yang tiba-tiba. Ya, saya hanya bisa tersenyum. Masih terngiang kalimatnya,
ketika pulang, berbaring di ranjang --Saya cinta kepadamu-- lembut dan
bergetar, seperti desir angin yang sejuk. Tapi dinginnya menusuk tulang.
Hari-hari kemudian kami jadi sering ketemu. Berulang-ulang
membuat janji, pertemuan, janji lagi, bertemu lagi. Saban mata saya bentrok
dengan pandangannya, saya seperti menggigil. Kapan dia mengucap kata itu lagi
--cinta-- saya selalu merasa aneh. Sungguh perasaan yang ganjil. Seharusnya
saya berbahagia. Dia seorang gadis yang cantik, mahasiswi, cukup berada,
modern. Sedang saya boleh dibilang orang yang tidak menentu. Pernah menginjak
perguruan tinggi, tapi macet karena kesulitan biaya. Kemudian menulis,
sesekali, tak bisa cukup untuk hidup. Sekarang saya bekerja di sebuah majalah
hiburan, sebagai korektor. Rasanya tak ada yang bisa dibanggakan. Seharusnya
saya mesti merasa beruntung. Tapi tidak, saya seperti tersiksa.
Apa saya bilang tadi? Tersiksa? Tidak, itu terlalu
berlebihan. Saya hanya merasa tidak bisa menjadi orang yang beruntung. Banyak
kali saya bertemu gadis-gadis, sejak masih di sekolah menengah. Banyak sekali
saya membuat kebodohan. Saya pernah merasa hambar, ini juga keterlaluan, kapan
saya ingat bahwa betapa gampang saya menyebut cinta. Dan semua, cinta saya
kepada banyak gadis-gadis, menguap begitu saja. Saya terlalu banyak kecewa
dalam hal ini. Sungguh. Empat tahun lamanya saya mencoba hidup tanpa berpikir
tentang dicintai dan mencintai wanita. Seakan saya sudah bosan, seakan cinta
cuma jadi beban. Seakan bercinta juga cuma merupakan satu kebodohan. Saya boleh
dibilang nyaris jera. Empat tahun saya hidup fantastis sebagai orang muda, tak
mau memandang gadis-gadis, tak memasang kalender bergambar wanita cantik, tak
membeli majalah, tertutup betul-betul untuk wanita.
Sampai saya bertemu dia. Saya betul-betul terkejut melihat
bibirnya yang mungil dan memerah. Matanya seperti mempunyai magnit. Begitu saja
saya kemudian terbayang-bayang pada senyumnya, pada tatapannya. Saya tak berani
memastikan perasaan apa yang ada. Tapi saya tak mengelak bahwa saya tertarik.
Ya, dia sangat menarik. Lincah dan berani. Dia selalu berinisiatif. Untuk
nonton misalnya, atau melihat-lihat tempat rekreasi, atau makan di restoran.
Saya pikir, saya tidak boleh terjebak untuk cinta. Hanya persahabatan. Dia
banyak kali membayar untuk segala ongkos ketika kami jalan berdua. Ini yang
membuat saya terikat.
Sampai hari itu, sebuah senja. Suasana memang memungkinkan
untuk menjadi romantis. Dia menyebut cinta. Dan saya hanya tersenyum. Sungguh
mati, saya tak menanggapi. Saya harus merasa sebagai sebuah gurauan. Tapi
kemudian saya tahu, dia serius sekali. Saya tahu betul itu ketika dia mengajak
mampir ke rumahnya, bertemu dengan orang tuanya. Firasat saya mengatakan, saya
tak disukai. Maka kapan dia menyebut cinta lagi, saya tak hanya merasa ganjil,
tapi merinding. Bayangkan, saya telah berkali-kali patah hati.
Suatu hari, dia betul-betul sangat serius. Dia bicara
tentang masa depan. Bagai impian anak remaja. Cinta dapat membuat segalanya
menjadi indah konon. Meskipun saya tak banyak menanggapi, tapi rupanya dalam
pembicaraan saya tidak konsekuen. Saya seperti memberi angin. Saya katakan
padanya, andai kata saja bahwa kami berjodoh, apakah orang tuanya akan merestui
kami? Dia menjawab tegas, "Mengapa tidak?" Dia begitu gigih dan
berapi-api.
Tapi perhitungan saya ternyata benar. Saya tidak kecewa
ketika saya mendengar dia mengeluh bahwa orang tuanya tak suka dia begitu dekat
dengan saya. Saya malah mengatakan kepadanya, "Saya bukan jodohmu. Saya
tahu itu. Dan saya merasa pasti itu." Dia berang sekali.
Hari ini adalah pertemuan yang kesekian. Tapi suasananya
sangat lain. Lain sekali. Dia datang dengan mata yang sembap, menenteng dua
buah koper. Saya sangat terkejut. Dia menyerbu ke dalam kamar pemondokan saya.
Menangis. Dan berteriak minta kawin. Gila!
"Apa-apaan kamu?" tanya saya.
"Saya akan dijodohkan," jawabnya sambil tersendat.
"Lantas?"
"Saya tidak mau karena saya sudah punya pilihan
sendiri. Saya jadi bertengkar. Saya tetap ngotot pilih kamu. Saya putuskan lari
dari rumah. Kita kawin saja. Kawin!"
Saya menghela napas panjang-panjang. Dia menatapi saya
dengan mata yang basah.
"Konyol sekali kamu bikin cerita!" kata saya.
"Saya tidak konyol. Saya tidak mau dipaksa-paksa.
Meskipun saya anak, saya punya hak menentukan nasib saya sendiri.
Saya ..."
"Ya. Kamu benar. Kamu punya hak. Tapi ... kawin? Saya
pikir itu benar-benar konyol!"
"Konyol bagaimana?"
"Apa kamu kira saya mau kawin dengan kamu?"
Dia melotot.
"Kamu gila-gilaan!" pekiknya.
"Kamu yang gila. Kamu pikir saya bisa kawin? Saya bisa
mengawinimu?"
"Kenapa tidak? Saya cinta padamu."
"Tapi saya kan tidak pernah mengatakan bahwa saya juga
mencintai kamu?"
Dia seperti menggigil. Matanya makin lebar terbuka.
Memandang saya tajam sekali.
"Kamu ... apa kamu bilang? Kamu tidak cinta saya?
Lantas untuk apa kita bersama-sama? Lantas atas dasar apa kamu sering mencium saya?
Atas dasar apa kita sering bikin janji? Berkencan? Bukan cinta itu
namanya?"
"Kalaupun saya mencintai kamu, saya tidak bisa
mengawinimu. Saya tahu, kamu betul-betul mabok cinta, kegilaan pada saya. Tapi
tahukah kamu bahwa itu menyiksa saya?"
"Menyiksa?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena ada yang tidak beres dalam diri saya. Kamu
ngerti?"
Dia masih terbelalak menatap saya. Saya mendekatinya dan
berbisik,
"Saya tidak bisa punya anak."
Mukanya pucat.
"Sekarang pulanglah. Kamu harus kembali ke rumah."
Saya tak menunggu reaksinya lagi. Cepat saya angkat kedua
kopernya dan saya bawa ke luar. Di jalan raya saya memanggil taksi. Kemudian
saya membimbing dia ke luar, membukakan pintu taksi. Dia duduk seperti orang
linglung. Ketika taksi itu meluncur, saya tersenyum getir. Saya merasa
kehilangan. Saya telah menyelesaikan persoalan dengan baik, saya kira. Dia
mungkin tidak akan menemui saya lagi. Kalaupun dia masih penasaran, akan saya
katakan bahwa saya menderita impotensi.
Ya. saya akan katakan itu. Tapi sesungguhnya saya tak
segawat itu. Saya masih tetap laki-laki normal. Tak ada keanehan. Sedikit
keanehan pada diri saya mungkin, adalah: saya memang takut pada cinta. Bisa
dibayangkan sekarang: Saya tak punya kerabat, sendiri di kota besar ini, hanya
seorang korektor majalah dengan gaji yang pas-pasan untuk hidup sendiri. Dia
seorang gadis yang cantik, mahasiswi, calon sarjana, anak orang berada. Begitu
banyak perbedaan antara kami. Dan kawin? Itu kan lucu. Mungkin saya sampai tua
akan tetap jadi seorang korektor, tak ada yang bisa saya banggakan. Dan besok
dia jadi sarjana, hidup dengan lingkungan yang beda dengan dunia saya. Omong
kosong untuk perkawinan. Omong kosong untuk cinta kami!
Sebab saya percaya, cinta adalah harapan terus-menerus untuk
masa depan. Cinta harus diletakkan pada tempatnya. Cinta adalah untuk
kebahagiaan. Bahagiakah kelak seorang sarjana mempunyai suami seorang korektor
majalah seperti saya? Saya pastikan jawabnya tidak. Karena itulah saya lebih
suka dia mengenal pria lain saja, seorang calon sarjana juga sedikitnya, kalau
bisa juga orang yang berada, lebih tampan dari saya dan lebih luas
pergaulannya, dan lebih banyak bisa dibanggakan tentunya. Saya kira, cinta juga
harus pakai perhitungan! Ini pelajaran mahal dari berkali-kali patah hati yang
pernah saya alami.
(Kumpulan Cerpen "Aneka", 1981)
Senin, 07 September 2015
Saya Percaya Keajaiban
5 September 2015
Saya sudah 61 tahun. Saya hidup dengan bertanya-tanya. Saya tidak mengerti hidup ini. Saya mengalami penuh hal yang baik dan buruk dan saya menderita. Sampai Tuhan memeluk saya.
Saya menerima takdirku.
Saya percaya Tuhan, saya percaya keajaiban.
Syukur kepada Allah.
Saya sudah 61 tahun. Saya hidup dengan bertanya-tanya. Saya tidak mengerti hidup ini. Saya mengalami penuh hal yang baik dan buruk dan saya menderita. Sampai Tuhan memeluk saya.
Saya menerima takdirku.
Saya percaya Tuhan, saya percaya keajaiban.
Syukur kepada Allah.
Langganan:
Postingan (Atom)