T E N T A N G S E O R A N G S A H A B A T
Oleh Julius Yusidjaya
Saya sangat gembira ketika membaca sebuah kartu nama di mana tercetak nama salah seorang sahabat lama waktu di sekolah menengah dulu. Kartu nama itu terbuat dari kertas yang mahal, dengan cetakan yang rapi dan desain yang tidak sembarang. Sebuah perusahaan terkenal pada bagian atas kartu nama itu menambah kegembiraan saya. Dan di bawah nama sahabat saya tercetak jabatannya sebagai Kepala Penjualan dari perusahaan tersebut. Saya gembira dan bangga bahwa sahabat saya itu telah meraih kedudukan yang baik di sebuah perusahaan terkenal.
Kartu nama itu diserahkan oleh istri saya pas ketika saya baru pulang dari toko buku. Ada sedikit kecewa saya bahwa saya merasa sayang karena tak sempat bertatap muka. Tapi kekecewaan itu segera hilang ketika istri saya mengatakan bahwa, sahabat saya itu mungkin masih bisa saya temui di rumah makan, di pinggir jalan raya, kira-kira dua ratus meter dari rumah saya.
"Dia tidak mau menunggu meskipun saya sudah mengatakan bahwa sebentar lagi kau pasti pulang. Dia menyerahkan kartu nama itu dan berpesan bahwa dia akan menunggu di rumah makan sampai setengah jam kira-kira. Dia berlalu ada seperempat jam yang lalu," istri saya menjelaskan.
"Saya harus menemuinya," kata saya sambil bergegas ke luar rumah. Langkah saya lebar-lebar menapak di jalan yang setengah parah aspalnya. Debu dan pasir terasa menyelusup di sepatu sandal. Malam jam delapan, langit tak begitu cerah. Di simpang tiga jalan beberapa anak muda yang sedang berjongkok di dekat tiang listrik menyapa saya. Ada yang bermain gitar, mabok, nyanyi sebuah lagu dangdut yang liriknya bercerita tentang nasib seorang pemuda yang melarat hidupnya dan merana cintanya. Meskipun dengan suara pas-pasan tapi tampak penuh penghayatan. Salah seorang merendengi saya, dengan cukup sopan tapi berani minta uang pada saya untuk tambahan beli minuman. Dari mulutnya teruar keras bau alkohol. Saya kenal betul dia adalah anak tetangga saya. Saya berikan uang seribu rupiah sambil berpesan, boleh mabok asal tidak membuat onar. Dengan tertawa dia mengucapkan terima kasih dan berteriak pada teman-temannya bahwa saya adalah orang paling baik di dunia.
Saya sampai di rumah makan, sebuah restoran Padang yang saya kenal benar. Seorang pelayan menyambut saya dengan ramah. Pelayan-pelayan di sini sudah mengenali saya karena saya suka membawa isteri dan anak-anak saya kalau malam Minggu. Ruangannya tidak bisa dibilang cukup besar. Barangkali hanya sepuluh meja, tepatnya saya tidak pernah menghitung. Ketika saya melangkah masuk suara musik pop barat memenuhi ruang meskipun tidak terlalu keras. Sejenak saya memutar pandang, saya melihat sahabat saya duduk di sebuah meja di pojok ruangan, agak ke depan dekat jendela kaca yang besar. Dia pun rupanya melihat saya karena langsung berdiri. Saya segera menghampirinya. Kami bersalaman, erat sekali, sulit berkata-kata. Dia merengkuh bahu saya, menepuk-nepuk dengan keras dan jabatan tangannya seperti tak mau lepas.
Kemudian saya mengambil duduk di seberangnya. Di meja telah ada tiga botol bir, dua sudah kosong. Di asbak sebatang rokok menyala. Abu rokok berceceran sekitar asbak. Pelayan menanyakan apakah saya mau makan, cepat saya menjawab tidak. Sahabat saya langsung meminta dua botol bir lagi. Dia mengajak saya minum bir. Sebetulnya saya mau menolak, tapi saya merasa tak enak. Saya meminta es batu, satu-satunya cara agar saya tidak banyak minum bir saja. Sahabat saya mengambil rokoknya di asbak dan menyedotnya dalam-dalam. Saya mengeluarkan rokok saya dari saku dan meletakkan di meja.
"Kamu masih tetap saja kurus, tak berubah," katanya sambil menuang bir ke gelasnya setelah minum dengan tandas.
"Ada orang yang bisa gemuk, tapi ada orang yang berbakat kurus. Aku percaya bahwa aku berbakat kurus," jawab saya sambil memperhatikannya.
Matanya merah, rambutnya agak kusut. Jaketnya mungkin mahal tapi warna jaket yang coklat seperti beludru membuat dia tampak lusuh. Dia tidak seperti yang saya bayangkan, rapi sebagai seorang menejer. Dan saya juga tidak pernah mengharap sejak tadi bahwa saya akan bertemu dia dalam keadaan setengah mabuk.
"Kamu masih menulis? Kamu bekerja di majalah, kan?" tanyanya.
"Ya. Masih menulis, tapi tidak mengarang. Sudah dua tahun mungkin."
"Aku punya cerita. Aku ingin bercerita."
"Kau ingin aku menuliskan ceritamu lagi?"
"Ya. Tapi ceritanya lain. Dulu kan cerita remaja. Sekarang cerita serius. Bukan rekaan."
"Tapi aku kuatir tak bisa menulisnya, maksudku... aku sedang enggan menulis cerita. Entah kapan aku akan mulai lagi."
"Aku tahu kau pasti akan menulisnya kelak. Tak usah dimasalahkan itu. Aku hanya ingin cerita dan tiba-tiba aku ingat kamu. Kau dengar saja ceritaku dulu. Pasti menarik."
Saya ingin tetap menolaknya dengan cara halus. Pelayan datang membawa dua botol bir, sebuah gelas, dan semangkuk es batu yang telah dipecah-pecah. Saya memasukkan beberapa potong es batu ke dalam gelas dan menuang bir pelan-pelan supaya tidak banyak busa. Sementara pikiran saya jauh ke belasan tahun lalu, waktu dulu kami masih sekolah. Sahabat saya ini sering memberi ide untuk cerita. Saya menuliskannya dengan baik dan jika ada majalah hiburan atau koran mingguan yang memuatnya, kami bersepeda motor mengambil honor. Dia yang punya sepeda motor, saya hanya membonceng. Lalu kami bolos sekolah, nongkrong di warung bakmi Babah Tang sambil makan mie bakso dan minum bir. Kami ngobrol segala macam tentang keresahan kami, mimpi kami, gadis-gadis, orang tua, sampai politik. Kami merasa senasib, dari keluarga yang berantakan. Bedanya bahwa saya dari keluarga miskin sedang dia dari keluarga yang lumayan.
"Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Ingat-ingat ada dua belas tahun. Betul ya?" katanya sambil mematikan rokoknya di asbak.
"Ya, mungkin," jawab saya begitu saja sambil meneguk pelan minuman saya. Dia menyalakan rokok lagi. Meneguk lagi bir seperti orang yang dahaga. Kemudian dia mengisi gelas kosongnya dengan ceroboh sampai busa bir meluap dan meleleh turun membasahi meja. Dia memindahkan gelasnya. Saya mengambil tisu dan melap bagian meja yang basah. Dia tertunduk dengan kedua tangan bertumpu di meja dan gelas bir berada di genggaman kedua tangannya. Dihisapnya lagi rokok dengan sedotan yang kuat. Diletakkannya di asbak. Dipandanginya asap rokok yang tipis seperti tirai halus. Saya mengambil sebungkus kacang di toples, membuka plastiknya dan menikmati kelezatan kacang goreng sambil terus memandanginya.
"Ya, dua belas tahun. Selama itu banyak sekali yang terjadi. Aku tidak tahu hidup macam apa. Aku kuliah. Kacau. Tapi tamat juga," katanya lagi sambil memainkan gelas di tangannya. "Aku kerja. Pindah-pindah. Aku kenal banyak perempuan. Pindah-pindah. Aku telah rasakan hidup seperti tak hidup. Waktu lewat begitu saja, tanpa permisi, sia-sia. Sampai aku kenal seseorang. Gadis yang sangat sederhana dan kesederhanaannya itu berhasil menjinakkan aku. Aku cerita rusaknya aku, bejatnya aku, kubuka semua. Tapi dia malah makin mencintai aku. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa lepas daripadanya, tak pernah bisa tega meninggalkannya seperti yang lain. Aku mungkin sudah muak pada kata cinta perempuan. Aku telah tahu perempuan dari A sampai Z luar dalam. Aku hampir tidak percaya lagi ada cinta. Tapi padanya, jika pada waktu itu tidak bisa disebut cinta, mungkin hanya iba. Seperti tak sadar, tiba-tiba aku bekerja keras, menjadi baik, dan kawin."
Dia mengangkat gelasnya dan minum lagi, beberapa teguk. Disapunya kumisnya yang basah dengan punggung tangannya. Gerakannya kasar sekali. Dihisapnya kembali rokoknya. Dihembusnya dengan kuat. Diketuk-ketuknya rokoknya di asbak. Saya pun minum seteguk. Saya mengambil rokok sebatang dan menyulutnya, menikmati kepulan asap yang seperti kabut bergumpal-gumpal dari mulut saya.
"Semua mungkin sudah baik. Berjalan dengan baik. Tapi jika waktu itu kau tanya padaku apakah aku sungguh-sungguh mencintainya, aku tidak bisa menjawab dengan pasti. Kalau kau tanya apakah aku bahagia hidup bersamanya, aku berani menjawab ya. Lalu kami punya anak. Perempuan. Aku sangat mencintai anakku. Hidupku sudah sangat teratur. Pekerjaan pun lancar. Aku bisa mencapai jenjang menejer. Semua baik. Sangat baik. Aku telah mengubur semua masa laluku yang jelek dan aku pun tidak mau mengalaminya lagi. Sejak anakku lahir, aku merasa hidup makin jelas tujuannya. Aku pun menjadi sangat sederhana. Aku berpikir bahwa hidupku hanya untuk isteri dan anakku. Betul kan?"
"Ya. Mau apa lagi kita kalau kita sudah kawin?" jawab saya, "Kebahagiaan kita adalah mereka."
Dia tersenyum, samar. Saya tak bisa memastikan maknanya. Dia meneguk minumannya tandas. Mengisinya lagi. Mengisikan gelas saya. Meminta lagi dua botol pada pelayan.
"Aku tidak bisa minum banyak sekarang," kata saya, mencegah dia sambil memandang kepada pelayan dengan maksud supaya jangan dilayani. Saya merasa dia sudah minum cukup banyak. Pelayan berdiri ragu di samping meja."Dua botol lagi!" katanya tegas, "Kau takut aku mabuk, kan? Aku tidak bakal mabuk hanya karena kebanyakan bir."
Saya mengangkat bahu. Meminta pelayan mengangkat botol-botol kosong di meja. Terus terang, saya agak tidak enak dengan banyaknya botol kosong di meja. Serombongan orang masuk dan ramai memilih meja. Ada delapan orang. Tiga laki-laki dan lima wanita. Dua orang pelayan sibuk menggabungkan dua meja untuk dijadikan satu bagi rombongan ini. Tak lama kemudian mereka sudah duduk. Salah seorang wanita di rombongan itu memandang pada saya dengan tatapan yang nakal. Seorang lelaki agak tua, gendut, duduk diapit oleh dua orang wanita muda yang tampak bermanja-manja berlebihan. Ramai sekali mereka bicara sambil tertawa cekikikan. Pelayan sudah datang membawa piring-piring makanan dengan caranya yang khas dan membebernya di meja. Wanita yang lain ada yang menyisir rambut. Wanita tadi kembali mengerling pada saya. Rupanya mereka rombongan dari penginapan di seberang jalan. Saya meneguk minum saya dan mengalihkan pandang pada sahabat saya yang juga melempar pandang ke rombongan itu.
Ruangan tiba-tiba terasa panas. Musik disko mengalun keras. Saya mulai berkeringat. Sahabat saya lebih lagi, keringat penuh di dahinya. Saya mengeluarkan sapu tangan dan menyeka keringat di leher saya. Sahabat saya menyeka keringat di dahinya dengan lengan jaketnya. Pelayan berlalu setelah meletakkan dua botol bir di meja. Teman saya langsung mengisi gelasnya.
"Apa kamu pernah berpikir suatu kali kamu akan berbuat seperti 'Bos' tua itu?" tanyanya tiba-tiba.
"Aku harap itu tidak akan pernah terjadi," jawab saya dengan tenang.
Sahabat saya tertawa. Mereguk birnya lagi dengan dahaga. Menyapu kumisnya yang basah dengan tangannya, kasar.
"Kamu tahu, siapa yang bisa tahu apa yang akan terjadi besok? Apa yang bisa kita katakan selain nasib? Dalam kehidupanku yang tenang. Ketika aku tidak lagi ingin macam-macam, tiba-tiba aku dihadapkan pada kenyataan yang lain. Seorang wanita lain masih harus hadir dalam hidupku. Seorang yang tiba-tiba kurasakan seperti datang dari dunia yang asing, penuh pesona, di mana aku tidak lagi bisa berpaling daripadanya. Setengah mati aku melawan diriku sendiri untuk tidak terjadi apa-apa. Tapi aku jatuh juga. Rasanya seperti cinta pertama. Di mana saja aku ada, dia selalu seperti ada di sebelahku. Jika aku tidak bertemu dengannya, mendengar suaranya di telepon rasanya sudah berada di surga. Tiba-tiba aku lupa segalanya. Katakanlah apa itu, penyelewengan, atau apa, itulah yang terjadi. Dan aku demikian takut kehilangan dia, sementara aku tahu bahwa aku punya keluarga, aku punya wanita yang setia dan sangat mencintai aku. Aku tidak tahu mau berbuat apa. Aku linglung. Aku gila!"
Dada saya terasa sesak. Tubuh saya terasa panas seperti meriang. Keringat saya mengucur. Musik di ruangan ini terasa makin keras, mengelegar-gelegar seperti halilintar. Pelipis saya berdenyar-denyar tapi saya tahu bukan karena bir. Jantung saya berdetak kencang sampai telinga saya bisa mendengarnya seperti detak jam di tengah malam yang hening. Saya merasa ruangan pengap. Saya kehilangan selera meneguk bir lagi. Di meja sana, lelaki tua gendut itu digayuti dua wanita muda pada bahu kiri-kanannya. Saya tak kuasa memandang lama-lama. Saya alihkan pandang saya pada sahabat saya yang sekarang menatapi saya dengan matanya yang merah seperti bara.
"Akhirnya aku bicara terbuka pada isteriku. Dia menangis. Dia yang sangat sederhana itu mau memaafkan aku. Tapi aku seperti kena pesona gaib wanita itu. Aku tak bisa lepas darinya. Isteriku bilang, aku kena guna-guna. Dia mencari dukun, mencari penangkalnya. Aku betul-betul jadi sinting. Aku mandi air kembang, aku minum air bermantera dari berbagai dukun. Dukun sial! Aku ikuti semua maunya dukun. Aku cuci muka dengan air kencingku, aku cuci muka dengan air comberan, aku taruh penangkal dan menyebar menyan di rumah wanita itu. Semua sia-sia. Aku menyerah. Aku bilang pada isteriku, biarlah aku kawin lagi. Tapi dia tidak mau. Dia tidak ingin dimadu, tidak juga dicerai. Gila-gilaan! Aku hilang akal. Rasanya biarlah aku mati saja karena aku tidak tahan menghadapi kenyataan ini. Aku tak mau pisah dari isteriku, anakku, juga wanita itu. Kalau aku mati, mungkin persoalan selesai. Isteriku tak lagi memiliki aku. Wanita itu juga tidak. Tapi aku pikirkan anakku. Masa depannya. Aku teler seteler-telernya."
Saya tidak bisa berkata apa-apa. Lidah saya kelu. Tidak hanya pelipis saya saja yang berdenyar-denyar tapi rasanya seluruh rongga kepala saya. Mata sahabat saya yang merah bara itu tiba-tiba sayu. "Kamu tahu apa yang terjadi kemudian? Suatu hari aku pulang ke rumah kudapatkan isteri dan anakku sudah menjadi mayat di kamar dalam keadaan berpelukan. Polisi memeriksaku. Wanita itu juga diperiksa. Tapi tak ada bukti bahwa mereka dibunuh. Mereka memang bunuh diri dengan racun serangga."
Tiba-tiba telinga saya seperti tuli. Jantung saya berdetak keras sekali seperti derak kereta api. Hanya itu yang saya dengar. Mata saya berkunang-kunang. Perut saya mual. Saya tahu, semua bukan karena bir.Seketika saya memanggil pelayan, menyuruh hitung semua yang sudah diminum dan dimakan. Saya mencoba berkata dengan tenang tanpa menyakitkan hati.
"Kukira sudah waktunya kita berpisah. Lain waktu bisa kita sambung lagi. Tadi aku janji pada isteriku untuk tidak lama-lama. Kasihan dia."
Sahabat saya muram sekali, matanya yang sayu kosong terus menatap saya. Saya bangkit dan mendekatinya, menepuk bahunya. Pelayan selesai menghitung dan menyodorkan bon. Saya membaca bon itu. Sahabat saya mengeluarkan dompetnya, mengambil beberapa uang puluhan ribu dan menyerahkan pada saya. Saya membayarkannya pada pelayan. Lalu saya setengah menyeretnya keluar. Sekilas saya masih melihat lelaki tua gendut itu terbahak-bahak sementara seorang wanita di sebelahnya mencubit pangkal lengannya dengan manja dan yang seorang lagi tak mau lepas dari bahunya. Di luar saya betul-betul muntah.
Sahabat saya menyetop taksi. Sebelum masuk ke dalam taksi dia masih berkata,"Kau tahu, semua itu takdir kan? Takdir! Bilang, takdir, bukan?!"
"Ya! Takdir!"
Dia tersenyum. Wajahnya pucat ditimpa sinar lampu merkuri. Dia melempar tubuhnya ke dalam taksi pada jok belakang. Dengan susah payah dia menyeret kakinya masuk ke dalam karena terkait pintu taksi. Saya menutupkan pintu. Dia berusaha mengangkat kepala, berseru,"Tulis itu! Kau akan tulis, ya? Janji!"
"Ya, ya."
Dan saya tinggalkan taksi itu. Saya berjalan dengan limbung untuk pulang. Saya merasa seperti ada gempa bumi. Saya muntah lagi. Di pertigaan jalan, anak-anak muda yang tadi nongkrong masih ada, masih menyanyi. Langkah saya tersaruk-saruk. Saya tengadah ke langit. Kelam, kelam sekali.
"Jangan, jangan, kau sakiti hatinya... jangan lagi, sayang...." Anak-anak muda itu sekarang menyenandungkan lagu pop yang sedang hit, lagu yang dibawakan oleh Iis Sugianto.
Saya lewat dekat mereka. Anak muda tetangga saya yang tadi minta uang menegur saya. Saya tidak menjawab tapi muntah lagi. Anak-anak segera memegangi saya. Saya mual sekali. Saya muntah banyak-banyak. Saya mual dan muntah, saya tahu, bukan karena bir.
Mereka memapah saya sampai ke rumah. Istri saya ngomel-ngomel. Tapi saya peluki dia, saya ciumi dia.
Saya mencoba melupakan malam yang jelek ini. Saya tidak pernah menulisnya sebagai cerita dan tak pernah punya keinginan itu. Sampai bertahun-tahun. Sampai sekarang ini, ketika tadi saya membaca koran sore. Pada sebuah iklan duka cita, ada nama sahabat saya itu bersama fotonya.
Palmeriam, 1984