Sabtu, 19 September 2015

Surat: Sedikit tentang "Merah yang Meremah"



Kawan yang baik,
saya punya catatan:

Di tangan saya ada buku kumpulan puisi "Merah Yang Meremah", sebuah antologi 10 penyair. Di bagian atas sampul muka tertulis, "10 Penyair Perempuan di Facebook". Buku ini saya terima dari tangan sahabat saya Syamsudin Noer Moenadi dalam keadaan sampul yang mencuat agak lusuh, dan lembar-lembar terjilid yang jelas sudah dibolak-bolak. Buku ini baru setengah harian ada di tangan SNM. Dia mendapatkannya sebagai pemberian dari salah seorang teman barunya yang baru dikenalnya tadi malam. Dia telah membolak-baliknya tadi malam mungkin sebagai pengantar tidur, mungkin diteruskan pagi ini di busway ketika dalam perjalanan ke rumah saya. Dia menyerahkannya kepada saya untuk saya melihatnya. Demikianlah buku setebal 136 halaman ini berada di tangan saya sekarang ini.

Saya membalik-balik lembar-lembar buku membaca puisi-puisi yang cukup banyak itu (97 buah). Rasanya tidak sabaran. Saya kembali ke depan, membaca pengantar Kurniawan Junaedhie, pada baris pertama saya terhenyak, sebuah kejutan. Katanya, "Kriteria apa yang dipakai untuk memuat puisi para penyair yang ada di Facebook ke dalam buku ini? Tidak ada."

Teman saya Kurniawan yang baik hati menerangkan tentang dunia Facebook. Serba instan itulah sifat utama Facebook. Katanya lagi, "Facebook memang melahirkan puisi-puisi instan, dan penyair-penyair instan. Dan yang disayangkan pula, Facebook ternyata juga hanya mengundang opini, tanggapan atau komentar pembaca yang juga instan, yaitu bersifat 'artificial' , dan tidak 'in depth' (mendalam). Padahal, menurut saya, mestinya penyair juga berhak mendapat keuntungan dari 'feedback' yang konstruktif, meskipun kritik itu terkadang kejam. Tanpa memperoleh 'feedback' berarti, bagaimana para penyair bisa mengevaluasi diri untuk meningkatkan kualitas puisinya di kemudian hari?"

Maka saya melonggarkan selonggar-longgarnya yang mungkin dari kaidah2 perpuisian yang saya tahu, saya berusaha menikmati kembali buku kumpulan puisi yang cantik ini. Saya bayangkan penulisnya cantik-cantik dan wangi pula. Dan kebanyakan sudah berumah tangga. Jadi agak lebih mudahlah membacanya tanpa mencurigai keseriusannya. Mereka memang menulis puisi. Mereka menulis dalam bentuk puisi maksud saya. Saya ingin percaya bahwa, seperti kata Kurniawan juga dalam kata pengantarnya, "...ke-10 teman ini sudah jelas-jelas menulis puisi, bukan cerpen atau warta berita."

Ternyata saya masih bisa kecewa. Karena hanya sedikit saja puisi yang saya temukan. Saya tidak akan membicarakan teknik dan ilmu puisi yang kadang2 menjadi berlebihan. Saya bicara rasa puisi. Kebanyakan rasanya prosa. Hanya tulisan catatan, laporan, keluhan, bahkan omelan untuk diri sendiri. Bisa saja dikatakan bahwa mereka mengangkat tema-tema zaman sekarang dengan berani.Tetapi untuk apa? Apa maknanya? Setelah itu apa? So what? Karena memang sekarang ini semua orang bisa dan boleh saja menulis puisi tanpa susah-susah lagi.

Ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan bahwa, menulis puisi adalah mencipta. Mencipta adalah memberikan yang terbaik terutama seninya. Karya cipta harus menunjukkan keunggulan. Dia tidak sekadar hanya menjadi ada.

Jakarta, 26 Februari 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar