”Aku merasa bentuk pohon itu puitis sekali. Merunduk namun tak jatuh. Di Barat, pohon itu dinamakan Weeping Willow. Di sini, banyak yang menamainya Janda Merana. Kurasa-rasa pohon itu memang tampak sedih. Mungkin karena itu aku menyukainya. Karena aku menyukai kesedihan.”
Satu alinea ini saya ambil dari cerpen Kompas hari ini, Minggu, 5 April 2015. Judulnya "Liang Liu" karya Dewi Ria Utari. Saya membacanya sebagai cerita misteri.
Judulnya membawa saya kembali ke masa kecil. Saya mengenal pohon Liang Liu ketika saya di pangkuan nenek di dalam becak yang berdesakan dengan ibu, kakak dan adik saya. Di jalan banyak pohon yang sangat menarik perhatian saya, dan saya menanyakan itu pohon apa. Nenek menjawab, "Liang Liu". Entah mengapa saya suka pohon ini. Setelah SD saya tahu jalan itu bernama Kepu Selatan, jalur saya berjalan kaki ke sekolah di Bungur Besar. Pulang sekolah jika tidak menyusur jalan kereta api maka saya menembus lewat jalan rumah sepupu saya Ernia Setiawan, jl. Kepu Utara. Rumah Ernia luas dan banyak pohonan. Mungkin ada pohon Liang Liu juga, karena waktu itu banyak saya temukan di mana-mana. Sekarang sudah tidak ada karena pelebaran jalan di seluruh ibukota, Halaman depan rumah habis diambil jalan raya. Jika ada jalur hijau kebanyakan pohon Angsana. Tiba-tiba saya rindu pada Liang Liu dan ingin memandangnya lama-lama. Saya pernah membawa Liang Liu ke dalam sajak saya waktu saya remaja. Bunyi lariknya begini, "Di luar, pohon liangliu diam, daunnya tiba-tiba kaku!"
Sekarang tentang bayi. Di rubrik Nama & Peristiwa ada foto pesohor Happy Salma bersama bayinya. Dia baru melahirkan secara normal, padahal kini zaman operasi caesar. Saya salin satu alinea,
"Sejak awal kehamilannya, aktris serba bisa ini sudah memantapkan hati untuk melahirkan secara normal. Ia menolak berbagai tawaran melahirkan gratis di rumah sakit besar asalkan mau caesar dan bersedia mengadakan jumpa pers. Kelahiran normal itu, kata Happy, membuatnya bisa merasakan betapa dulu ibundanya dengan susah payah melahirkannya. ”Itu sakit sekali, tetapi itulah saat paling bahagia, di mana aku jadi tahu gimana dulu ibuku melahirkan, apalagi dengan fasilitas kedokteran yang tidak seperti sekarang,” kata Happy."
Saya suka bayi karena sejak kecil saya berteman dengan bayi. Saya membantu mengasuh adik-adik saya, dan ketika SMP tinggal di Bogor saya mengasuh sepupu, anak paman. Saya punya putra pertama di usia 24, senang bercampur bingung menjadi ayah pada usia muda. Putra saya tiga, berteman dengan mereka sejak bayi karena saya bekerja di rumah. Kenangan saya kepada cucu cantik pertama adalah menggendongnya dan meninabobokannya dengan lagu rohani yang liriknya saya nyanyikan berulang-ulang, "Aku memuji kebesaranMu/Sungguh besar kuasaMu." dan dia selalu terlelap dalam pelukan saya.
Ketiga putra saya lahir di RS Carolus tak jauh dari rumah kami. Semua ditangani bidan dan lahir secara normal. Waktu istri saya melahirkan putra sulung saya pingsan di ruang tunggu dan dibawa ke UGD. Saya trauma waktu kelahiran anak kedua tetapi kerabat dan teman menghibur saya dengan bermain kartu gaple di ruang tunggu. Untung tidak menunggu terlalu lama hingga saya tidak pingsan lagi. Waktu kelahiran anak ketiga semua baik-baik saja.
Saya suka bayi. Saya menulis sajak ini setelah menengok istri teman baik yang melahirkan, di kebidanan jauh dari rumah saya, di kampung pinggir kota. saya pun kemudian menjadi bapak permandian sang bayi yang sekarang sudah jadi mahasiswa. Sukses selalu, nak.
BAYI
lamat kudengar tangis bayi
dari sulung yang kini remaja
atau putramu yang baru lahir, kawan
mungkin dari rumah sakit dekat rumah
atau di negeri jauh
yang penuh perang dan kelaparan
kubayangkan bayi tergolek merah
dengan kedua tangan mencakar-cakar
di rumah ini, kamarmu, atau boks rumah sakit
di dada wanita hitam yang sudah kaku
di emper toko
di dalam kantong plastik di semak-semak
bayi adalah keajaiban, katamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar