ELEGI ESOK HARI
Oleh Kiki Adrie
Aku tidak tahu tepat bagaimana perasaanku ketika kudengar Ika berhenti sekolah. Berita itu kudapat dari seorang guruku waktu SMP ketika bertemu di gereja. Bermula dari dia menanyakan bagaimana sekolahku setelah aku pindah ke Jakarta. Aku menjawab seadanya dengan baik, sedikit mengeluh karena Jakarta terlalu panas dan sekolah di STM yang muridnya pria melulu mempunyai suasana yang jauh berbeda seperti waktu SMP di sini. Dan aku pun bercerita tentang beberapa kawan yang juga sekolah di Jakarta, sampai aku menanyakan Ika. Guru muda itu bicara dengan wajah yang murung sementara hatiku jadi galau. Betapa tidak, dulu Ika adalah murid yang pandai sama-sama denganku. Kami berdua adalah murid kesayangannya. Waktu ujian nilai Ika berbeda tak jauh denganku yang duduk di tangga pertama.
Keluar halaman gereja, memandang bemo-bemo yang lalu lalang membawa suasana tersendiri bagiku. Setahun lebih sudah Bogor kutinggalkan, tak banyak perubahan. Suasana yang sejuk dan akrab jauh sekali berbeda dengan ibukota. Sambil menyusur jalan Bapak Guru ini terus membicarakan Ika.
“Ayahnya meninggal hampir setengah tahun lalu. Sebulan sebelum dia berhenti sekolah, dia sakit cukup parah. Kata dokter, Tifus. Kau tak dapat kabar tentang ini?”
Aku menggeleng. Guru muda yang telah menjadi bagai sahabat ini memandangku. Sulit aku menentang matanya. Aku cepat membuang muka. Kukira dia tahu bagaimana sesungguhnya perasaanku terhadap Ika.
“Kalian tidak bersuratan?” tanyanya. Ada nada heran.
Sekali lagi aku menggeleng.
“Sayang sekali kalau dia mesti berhenti sekolah. Padahal dia merupakan anak yang terpandai di SMA sini. Saya pernah datang ke rumahnya membicarakan masalah sekolahnya pada ibunya. Orang tua itu sulit diajak kompromi. Dia memaksakan Ika untuk berhenti dan membantu dagang di pasar. Saya telah mengusahakan untuk dapat dispensasi kalau tak mampu. Tapi ibunya terlalu kolot. Anak perempuan tak usah sekolah tinggi-tinggi, katanya. Ah, lucu juga.”
Dia tertawa kecil. Aku juga tertawa tak tahu karena apa. Mungkin karena masih ada orang tua yang berpikiran begitu sempit pada zaman yang sudah maju ini.
Di sebuah muka gang kami pisah. Guru muda ini meminta aku mampir ke rumahnya. Aku menolak dengan halus. Dan aku pulang dengan jalan kaki. Sementara pikiranku terus melayang pada Ika. Anak yang pandai itu cukup manis. Dulu duduk di belakangku. Tatap matanya selalu terasa meneduhkan hatiku. Apalagi kalau aku sedang ada kesusahan. Dia feminin sekali, tak suka pada kekerasan. Dia paling benci kalau aku berkelahi. Kami sering belajar bersama. dia memberi bingkisan pada hari ulangtahunku yang tak pernah dirayakan. Aku adalah anak dari keluarga tak mampu, besar di jalanan dengan segala macam mimpi heroik anak-anak. Dia seperti mengerti banyak tentangku. Aku ingat, dia pernah membayariku minum di kantin, membayarkan uang iuran berenang yang tertunggak. Mukaku bisa jadi merah mengingat peristiwa itu. Sering aku jadi bingung sendiri, mengapa dia bisa begitu baik kepadaku. Sering aku jadi gemas pada diriku sendiri mengapa aku selalu ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya tapi pada kenyataannya aku lebih banyak menjauhinya. Ah, cerita kanak-kanak! Sekarang aku tahu bahwa semua perhatiannya muncul dari dorongan sesuatu. Katakanlah itu cinta. Cinta anak puber. Dan aku menjauhinya karena kerendahdirian yang tak seharusnya.
Gerimis turun perlahan. Tipis sekali. Udara basah kota hujan mempunyai aroma tersendiri. Malam sudah mulai turun. di bawah pohon kenari tua dekat sebuah wihara aku tak sadar berhenti. Memandang pada tanah ketinggian seakan ingatanku kembali dengan bersih. Di sini dulu kami pernah berbincang lama. Aku bercerita tentang keadaan keluargaku yang miskin. Dia bercerita tentang ayahnya yang kasar dan suka berjudi. Rambutnya tergerai lepas dimainkan angin. Wajahnya yang putih begitu sendu. Matanya yang selalu bersinar menatapku dengan pandang redup. Oh Ika, aku masih terlalu kanak-kanak untuk bisa mengupas persoalan sebuah keluarga yang semrawut. Paling-paling aku hanya bisa menggeleng dan menghela napas mendengar cerita bagaimana ayahnya begitu jahat kalau mabuk, atau ibunya yang selalu menangis dan cuma bisa menangis ketika ayahnya memaksa minta uang atau barang berharga untuk diludaskan di meja judi.
Aku tak tahu kenapa sekali ini aku bisa mengingat seluruh wajahnya yang penuh duka pada sore yang gerimis itu. Dan aku tak tahu kenapa aku jadi naik di tanah ketinggian, berjongkok di sana memandang bemo-bemo yang lalu lalang. Bayang-bayang wajahnya tak mau lepas dari ingatanku. Ada suatu kesenyapan tiba-tiba ketika aku sadar bahwa aku cuma sendirian seperti orang gila berjongkok di sini sementara bajuku sudah basah dan gerimis mulai melebat. Dengan menyumpah-nyumpah aku loncat turun dan berlari pulang ke rumah, maksudku rumah pamanku di mana dulu waktu SMP aku tinggal.
Malamnya aku tak bisa tidur. Padahal hari sudah cukup larut. Padahal otakku sudah lelah setelah bermain catur dengan Paman. Potongan-potongan kejadian waktu SMP banyak berulang dalam ingatanku tanpa urutan yang jelas. Semua sekitar Ika. Aku ingat ketika bagaimana dia mengajariku berenang dengan gaya yang lebih tertib karena aku cuma bisa berenang dengan gaya kampungan. Aku ingat bagaimana dia memboncengiku naik sepeda ketika mau belajar bersama di rumah Yati. Aku ingat bagaimana dia marah ketika dia tahu aku berkelahi dengan Amri. Dan kuingat juga bagaimana dia jadi marah ketika belajar bersama di rumah Yati aku lebih suka membaca komik karena di rumah Yati ada persewaan buku. Oh, betapa lucu memandang wajahnya yang memerah dengan bibir yang tertekuk dan mata bersinar. Hanya begitu kalau dia marah. Tak pernah diucapkannya dengan kata-kata. Dan aku ingat juga bagaimana aku menulis serampangan di buku catatannya untuk minta maaf pada banyak hal yang kukira menyusahkan hatinya atas perbuatanku. Dan dia membalas dengan tulisan yang rapi di atas buku catatanku yang seperti biasa dipinjam sehari baru dipulangkan. Kami menulis surat, lebih banyak bicara lewat pinjam meminjam buku catatan daripada ngobrol biasa. Dan masih banyak... banyak lagi peristiwa-peristiwa sederhana yang sesungguhnya tertimbun di dalam hati. Begitu banyak juga yang teringat kembali dan membuatku menjadi lain, membawa perasaan tertentu, semacam kerinduan. Kukira sampai aku tertidur aku tak memikirkan hal lain.
Esoknya aku bangun agak siang. Hari minggu yang cerah kukira. Bergegas aku mandi. Tiba-tiba pikiran pada Ika menyergap lagi. Selesai makan pagi yang kurang selera kupastikan bahwa aku mesti menemui Ika. Aku tidak tahu hal apa yang bisa mendorong keberanian begini dengan tiba-tiba. Aku sering datang ke Bogor kalau hari Sabtu atau hari libur tapi tak pernah ada kehendak yang begitu kuat untuk menemui Ika. Hari ini lain. Kucoba berdalih bahwa ini cuma suatu perasaan iba terhadap kawan lama yang terpaksa harus berhenti sekolah. Maka aku pun berangkatlah.
Sebuah pasar kecil. Tak ada perubahan sepertinya. Maka tak sulit aku mencari kiosnya. Dulu waktu SMP aku pernah ke sini mengantarkannya. Bertemu dengan ibunya dan disambut dingin sekali. Dan hanya sekali itu saja. Sekarang untuk yang kedua kalinya. Kios itu masih seperti dulu, berdagang bahan-bahan keperluan pokok. Cukup ramai juga pembelinya. Melewati sela-sela antara para membeli itulah aku menangkap wajahnya. Hampir aku tak percaya bahwa itu Ika. Tak lagi seperti dulu. Tak juga serapi waktu masih sekolah. Wajahnya tampak keras dan kaku. Sigap sekali dia melayani permintaan pembeli, meraup barang, menimbang, menghitung uang dan mengembalikan. Hari-hari yang sibuk melandanya. Sekali-kali dia memberi perintah pada beberapa pembantu untuk melayani pembeli lain. Aku undur ke sisi kiosnya dan bersandar pada sebuah karung. Hatiku ragu, apakah aku harus menegurnya dan dengan begitu mengganggu pekerjaannya? Pada saat itulah secara tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku. Wajahnya seperti berubah sesaat. Tiba-tiba dia berteriak girang menyebut namaku. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Sejenak kami berpandangan dan kemudian dia meneruskan kerjanya tanpa bicara apa-apa. Kukira aku pun sulit untuk mengeluarkan kata-kata.
Tak lama wajahnya kemudian telah biasa lagi. Dia memanggilku supaya masuk ke dalam kiosnya. Kujawab bahwa aku lebih suka berdiri di luar daripada di dalam dan nanti bisa tambah merepotkan dia. Ika tersenyum dan kemudian menyuruh pembantunya melayani para pembeli. Dia keluar dari kios dan mendekatiku. Beberapa pertanyaan spontan tak menyempatkan aku untuk ingat berjabatan tangan.
“Kau masih saja kurus,” katanya kemudian.
Aku hanya mengangkat bahu dan tertawa.
“Kau belum pernah ke rumahku. Hari ini kau mesti ke rumah!” katanya dengan nada pasti.
Aku mengerutkan kening. Tanpa menunggu jawaban dia berteriak pada pembantunya bahwa dia akan pulang. Begitu pasti nadanya. Kemudian dia menarik tanganku. suatu keberanian yang membuat aku terkejut karena hal ini tak pernah dia lakukan sebelumnya. Kami meninggalkan pasar. Aku mengucapkan rasa duka cita dan menyesal tidak tahu bahwa ayahnya telah meninggal. Dia tertawa sinis. Aku seperti baru sadar bahwa dia sangat benci pada ayahnya yang penjudi dan pemabuk. Ketika keluar kompleks pasar aku baru sempat memperhatikan dia dengan jelas. Ika banyak sekali berubah. Pakaiannya tampak sembarangan. Sebuah kaos kuning lusuh dan jeans belel dengan rambut yang dibiarkan lepas. Tertawanya juga lepas. Dia tak lagi tampak sebagai Ika yang pemalu dan sedikit sekali bicara. Di sini aku sedikit kecewa.
Jarak rumah Ika dari pasar tak berapa jauh. Sambil jalan dia banyak bertanya tentang keadaanku di Jakarta. Aku jawab apa adanya. Aku heran, kenapa aku jadi kikuk menghadapinya. Apalagi kapan aku harus beradu pandang dengannya. Sebetulnya ada yang menyenangkan pada pertemuan kali ini. Adalah kenyataan bahwa Ika lebih terbuka. Maksudku lebih bebas. Aku suka pada gadis yang feminin dan lincah. Tapi aku paling benci gadis yang bawel. Aku suka bahwa dia banyak bicara, suatu keakraban yang lain. Tapi aku menyayangkan bahwa perubahan terasa sangat banyak daripadanya.
Duduk di ruang tamu dari rumah sederhana dengan perabotan yang agak berlebihan membuat aku merasa agak sulit. sofa empuk ini model mutakhir. Ada seperangkat tape-deck di lemari hias. Sebuah televisi berwarna terletak di sudut dengan kaku. Ada lampu pojok dengan warna mencolok. Sebuah meja hias dengan vas bunga dan bunga plastik yang sudah berdebu. Seorang pembantu membawakan minum sementara Ika masuk ke dalam. Ganti baju dia rupanya. Keluar lagi dengan rok terusan warna biru gelap. Hatiku berdetak keras. Itu warna kesukaanku. Dia mengambil duduk di hadapanku. Wajahnya ceria sekali. Ada polesan yang tidak bisa disebut sederhana.
“Musik?” tanyanya setelah menyuruhku minum. “Senang lagu lembut?”
Aku mengangguk saja.
Dia memutar kaset. “Willingly” lagunya. Aku meringis mendengarnya. Soalnya suara bass terdengar berdebum-debum.
“Kau jarang ke mari?” tanyanya setelah duduk lagi.
“Ada sebulan ini tiap minggu berturut-turut. Sebelumnya jarang.”
“Kenapa?”
“Ongkos mahal.”
Dia tertawa. Aku juga tertawa.
“Kudengar kau berhenti sekolah?” tanyaku kemudian.
“Begitulah. Mau tak mau,” jawabnya dengan nada biasa.
“Aku tak tahu ayahmu meninggal....”
“Itu sudah lama.”
“Kenapa kau mesti berhenti sekolah?”
“Tak ada jalan lain. Demi Mama. Semua sudah hancur. Kau tahu, Ki. Papa menggila sekali. Sampai malam yang naas itu. Papa kecelakaan. Tak seminggu di rumah sakit, meninggal. Yang lebih pahit adalah tak ada lagi rupanya yang bisa kami punya. Rumah ini dan kios pasar sudah digadaikan,” Ika menjelaskan dengan suara yang datar. Tapi wajahnya kaku sekali.
“Tapi, kenapa kau mesti berhenti sekolah?”
“Mau apa lagi? Kenyataan sulit sekali. Aku anak paling besar. Aku harus bantu Mama cari uang. Harus. Hanya itu, Ki. Mama terlalu menderita karena kelakuan Papa. Siapa lagi yang akan menyenangi hati Mama kalau bukan aku?”
Aku menggigit bibir. Aku tidak percaya bahwa jalan pikiran Ika yang cerdas itu bisa jadi demikian sederhana.
“Sedikitnya kau harus tamat SMA dulu. Aku sangat menyayangkan, Ika. Seperti juga guru-gurumu menyayangkannya.”
Dia menatapku. Aku menangkap sekilas pancaran duka. Tapi kemudian dia tersenyum. Terasa getir. Kutahu, dia mencoba menyembunyikan perasaannya.
“Terima kasih atas perhatianmu pada diriku,” katanya kemudian.
“Tapi... kukira selanjutnya kita tak usah omongkan hal itu. Katakanlah semua yang terjadi adalah nasib. Hanya itu yang membuat hatiku lega.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Aku mau bilang apa?
“Mari kita bicara yang lain. Aku pernah dengar dari Nik bahwa di Jakarta kau sudah punya pacar?”
Aku tertawa. Dia tampak heran.
“Ada yang lucu?” tanyanya.
“Apa yang dikatakan Nik padamu?”
“Dia pernah cerita bertemu kau di Proyek Senen. Kau dengan seorang cewek. Tapi kau sombong katanya. Tak kau kenalkan dia pada pacarmu.”
“Begitu ceritanya? Nah, di situlah lucunya. Bagaimana aku sempat berpikir untuk memperkenalkannya sedangkan gadis itu belum kuketahui siapa namanya. Baru kukenal di sebuah toko kaset karena kebetulan memilih kaset yang sama. Saat itu aku ketemu Nik...”
“Ah, kau bohong!”
“Sungguh, Ika. Kau tahu siapa aku, kan? Mana mungkin aku mau membohongimu?”
“Begitukah?”
Dan dia tertawa ketika aku tersipu-sipu. Sudah kukatakan, sulit sekali bicara dengan Ika karena tampak dia begitu lincah sekarang. Lebih lagi sulitnya karena aku merasakan ada sesuatu di balik pembicaraan. Dia memberi sinyal. Kukira aku sudah harus memastikan bahwa hati Ika tak pernah lepas dari diriku. Itulah mungkin yang membuat aku agak sulit, gugup dan tersipu-sipu.
Seseorang keluar dari dalam. Mama Ika. Aku memberi salam dengan hormat. Dingin saja orang tua itu. Dan langsung mematikan tape yang masih berbunyi. Oh Tuhan, ulah apa ini? Seketika aku menjadi gerah.
“Mama! Apa-apaan sih?” Ika protes dengan keras.
“Siang begini tak usah putar lagu! Berisik! Kau tahu kan adikmu sakit?” jawab Mama Ika sambil masuk ke dalam.
Ada apa ini? Suasana tiba-tiba menjadi jelek. Ika menggerutu dan berjalan ke tape.
“Sudah,Ika. Kukira memang tak perlu lagu, apalagi ada yang sakit,” kataku.
“Mama memang konyol!”
Ika kembali duduk.
“Dari dulu Mamamu seperti tak suka melihatku. Apa dia masih mengenaliku?” kataku pelan. Kukira seharusnya kuucapkan dalam hati saja.
“Mama memang tidak suka pada siapa saja teman lelaki yang datang kemari. Mama kolot.
”
“Kau tak boleh bicara begitu.”
Ika menundukkan wajah. Ada sesuatu yang mengiris hati ketika memandangnya. Aku ingat waktu lampau di tanah ketinggian dekat wihara tua sekali waktu ketika gerimis mulai jatuh. Dia menunduk dengan gaya yang sama. Aku menghela napas. Ada rasa iba yang lain terhadap Ika. Suatu keharuan yang tiba-tiba menyergap. Hening seketika antara kami. Keadaan menjadi kaku.
“Kukira aku mesti pulang,” kataku.
Ika mengangkat muka.
Oh, mengapa harus....”
“Maafkan aku,Ika. Aku harus kembali ke Jakarta siang ini juga. Kalau sore bus akan penuh sekali.”
“Kapan kau kemari lagi?”
“Aku akan....”
“Oh, kau tak pernah bisa tepat janji, kan? Aku akan tulis surat. Boleh aku tulis surat, kan? Sebetulnya masih banyak yang akan kuomongkan padamu, Ki.”
“Yah, baiknya begitu.”
Dia bergegas berlari ke dalam mengambil kertas dan bolpen. Aku menuliskan alamatku. Dia tampak gembira sekali. Ketika aku pamit dia minta maaf untuk sikap ibunya yang memang agak “kurang menyenangkan” itu.
Di bus menuju Jakarta pikiranku masih tetap pada Ika. Aku merasakan sekali bahwa Ika sangat berubah. Barangkali kesulitan hidup dan kenyataan yang membuat dia seperti sekarang ini. Oh Ika... kalau saja aku bisa mendapat perlakuan lebih baik dari ibunya, kukira rasa ibaku bisa berkembang. Ya, aku tak menyangkal bahwa Ika mempunyai daya tarik tersendiri sejak masih sama-sama duduk di SMP. Tapi dulu semua masih terlalu sulit dimengerti, diterangjelaskan.
Selama dua minggu kemudian kukira aku mengharapkan akan ada surat dari Ika. Ternyata tidak. Kehidupan anak STM kiranya tak membutuhkan sentimentalitas berlebihan. Sebulan kemudian aku nyaris lupa kembali. Tapi saat itulah datang suratnya. Aku tak tahu perasaan apa yang ada ketika aku membacanya. Begini bunyinya:
“Kepada sahabatku Kiki,
Maafkan aku. Banyak hal yang membuat aku selama ini tidak menepati janji untuk menulis surat. Seharusnya aku ingin bercerita panjang. Tapi kukira tak ada gunanya. Namun perbolehkanlah kiranya aku berterus terang. Bahwa sesungguhnya aku mengharapkan bukan sekadar sampai persahabatan antara kita sejak kita masih sekolah bersama. Waktu-waktu berjalan terlalu cepat dan hidup bukan sebuah mimpi yang manis. Tahukah kau, aku akan segera bertunangan? Aku tahu kau akan terkejut. Demi Mama tercinta,Ki, itulah alasannya. Barangkali menurutmu aku telah berbuat suatu kebodohan. Tidak. Aku tak bisa lari dari kenyataan. Ada orang yang menolong keluargaku setelah Papa mati. Dia menebus rumah dan kios yang sudah digadaikan Papa. Dia membelikan banyak barang-barang di rumah. Dia membetulkan rumah, menambah modal usaha. Dia menyekolahkan adik-adikku. Dia mengangkat kami dari keputusasaan. Sebelum aku jatuh sakit dia telah melamarku dan Mama menerimanya dengan senang hati. Aku berkeras menentang keputusan Mama tapi bagaimana aku bisa menyakiti hatinya? Kau tahu, baru saja Mama jatuh sakit keras. Maka itu aku sekarang telah menerima lamaran itu. Nanti kalau aku kawin kau pasti kuundang. Doakan aku, Ki. Dari sahabat baikmu: Ika.”
Aku menghela napas panjang setelah membaca surat. Berbagai macam perasaan berbaur dalam hatiku. Ketika kulipat surat itu tanpa sadar aku menyebut nama Tuhan, meminta agar Ika bisa berbahagia kelak hidup dengan laki-laki yang mungkin tak dicintainya. Dan tanpa kusadari juga aku mencium surat itu. Jauh di dalam hatiku aku tak bisa ingkar. Ika...Ika, kau adalah gadis yang membawa cinta pertamaku.
1981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar