Selasa, 08 September 2015

(Cerita Pendek) SUATU KALI DICINTAI



Saya cuma tersenyum ketika mendengar dia mengatakan cinta pada saya. Cinta, satu kata itu, saya merasa ganjil sekali. Dan dia mencium pipi saya. Bibirnya yang mungil dan selalu merah itu, yang selalu tampak segar, terasa dingin. Saya memalingkan wajah menghindar dari tatapannya. Saya merasa risi yang tiba-tiba. Ya, saya hanya bisa tersenyum. Masih terngiang kalimatnya, ketika pulang, berbaring di ranjang --Saya cinta kepadamu-- lembut dan bergetar, seperti desir angin yang sejuk. Tapi dinginnya menusuk tulang.

Hari-hari kemudian kami jadi sering ketemu. Berulang-ulang membuat janji, pertemuan, janji lagi, bertemu lagi. Saban mata saya bentrok dengan pandangannya, saya seperti menggigil. Kapan dia mengucap kata itu lagi --cinta-- saya selalu merasa aneh. Sungguh perasaan yang ganjil. Seharusnya saya berbahagia. Dia seorang gadis yang cantik, mahasiswi, cukup berada, modern. Sedang saya boleh dibilang orang yang tidak menentu. Pernah menginjak perguruan tinggi, tapi macet karena kesulitan biaya. Kemudian menulis, sesekali, tak bisa cukup untuk hidup. Sekarang saya bekerja di sebuah majalah hiburan, sebagai korektor. Rasanya tak ada yang bisa dibanggakan. Seharusnya saya mesti merasa beruntung. Tapi tidak, saya seperti tersiksa.

Apa saya bilang tadi? Tersiksa? Tidak, itu terlalu berlebihan. Saya hanya merasa tidak bisa menjadi orang yang beruntung. Banyak kali saya bertemu gadis-gadis, sejak masih di sekolah menengah. Banyak sekali saya membuat kebodohan. Saya pernah merasa hambar, ini juga keterlaluan, kapan saya ingat bahwa betapa gampang saya menyebut cinta. Dan semua, cinta saya kepada banyak gadis-gadis, menguap begitu saja. Saya terlalu banyak kecewa dalam hal ini. Sungguh. Empat tahun lamanya saya mencoba hidup tanpa berpikir tentang dicintai dan mencintai wanita. Seakan saya sudah bosan, seakan cinta cuma jadi beban. Seakan bercinta juga cuma merupakan satu kebodohan. Saya boleh dibilang nyaris jera. Empat tahun saya hidup fantastis sebagai orang muda, tak mau memandang gadis-gadis, tak memasang kalender bergambar wanita cantik, tak membeli majalah, tertutup betul-betul untuk wanita.

Sampai saya bertemu dia. Saya betul-betul terkejut melihat bibirnya yang mungil dan memerah. Matanya seperti mempunyai magnit. Begitu saja saya kemudian terbayang-bayang pada senyumnya, pada tatapannya. Saya tak berani memastikan perasaan apa yang ada. Tapi saya tak mengelak bahwa saya tertarik. Ya, dia sangat menarik. Lincah dan berani. Dia selalu berinisiatif. Untuk nonton misalnya, atau melihat-lihat tempat rekreasi, atau makan di restoran. Saya pikir, saya tidak boleh terjebak untuk cinta. Hanya persahabatan. Dia banyak kali membayar untuk segala ongkos ketika kami jalan berdua. Ini yang membuat saya terikat.

Sampai hari itu, sebuah senja. Suasana memang memungkinkan untuk menjadi romantis. Dia menyebut cinta. Dan saya hanya tersenyum. Sungguh mati, saya tak menanggapi. Saya harus merasa sebagai sebuah gurauan. Tapi kemudian saya tahu, dia serius sekali. Saya tahu betul itu ketika dia mengajak mampir ke rumahnya, bertemu dengan orang tuanya. Firasat saya mengatakan, saya tak disukai. Maka kapan dia menyebut cinta lagi, saya tak hanya merasa ganjil, tapi merinding. Bayangkan, saya telah berkali-kali patah hati.

Suatu hari, dia betul-betul sangat serius. Dia bicara tentang masa depan. Bagai impian anak remaja. Cinta dapat membuat segalanya menjadi indah konon. Meskipun saya tak banyak menanggapi, tapi rupanya dalam pembicaraan saya tidak konsekuen. Saya seperti memberi angin. Saya katakan padanya, andai kata saja bahwa kami berjodoh, apakah orang tuanya akan merestui kami? Dia menjawab tegas, "Mengapa tidak?" Dia begitu gigih dan berapi-api.

Tapi perhitungan saya ternyata benar. Saya tidak kecewa ketika saya mendengar dia mengeluh bahwa orang tuanya tak suka dia begitu dekat dengan saya. Saya malah mengatakan kepadanya, "Saya bukan jodohmu. Saya tahu itu. Dan saya merasa pasti itu." Dia berang sekali.

Hari ini adalah pertemuan yang kesekian. Tapi suasananya sangat lain. Lain sekali. Dia datang dengan mata yang sembap, menenteng dua buah koper. Saya sangat terkejut. Dia menyerbu ke dalam kamar pemondokan saya. Menangis. Dan berteriak minta kawin. Gila!

"Apa-apaan kamu?" tanya saya.
"Saya akan dijodohkan," jawabnya sambil tersendat.
"Lantas?"
"Saya tidak mau karena saya sudah punya pilihan sendiri. Saya jadi bertengkar. Saya tetap ngotot pilih kamu. Saya putuskan lari dari rumah. Kita kawin saja. Kawin!"

Saya menghela napas panjang-panjang. Dia menatapi saya dengan mata yang basah.

"Konyol sekali kamu bikin cerita!" kata saya.
"Saya tidak konyol. Saya tidak mau dipaksa-paksa. Meskipun saya anak, saya punya hak menentukan  nasib saya sendiri. Saya ..."
"Ya. Kamu benar. Kamu punya hak. Tapi ... kawin? Saya pikir itu benar-benar konyol!"
"Konyol bagaimana?"
"Apa kamu kira saya mau kawin dengan kamu?"
Dia melotot.
"Kamu gila-gilaan!" pekiknya.
"Kamu yang gila. Kamu pikir saya bisa kawin? Saya bisa mengawinimu?"
"Kenapa tidak? Saya cinta padamu."
"Tapi saya kan tidak pernah mengatakan bahwa saya juga mencintai kamu?"

Dia seperti menggigil. Matanya makin lebar terbuka. Memandang saya tajam sekali.

"Kamu ... apa kamu bilang? Kamu tidak cinta saya? Lantas untuk apa kita bersama-sama? Lantas atas dasar apa kamu sering mencium saya? Atas dasar apa kita sering bikin janji? Berkencan? Bukan cinta itu namanya?"
"Kalaupun saya mencintai kamu, saya tidak bisa mengawinimu. Saya tahu, kamu betul-betul mabok cinta, kegilaan pada saya. Tapi tahukah kamu bahwa itu menyiksa saya?"
"Menyiksa?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena ada yang tidak beres dalam diri saya. Kamu ngerti?"

Dia masih terbelalak menatap saya. Saya mendekatinya dan berbisik,
"Saya tidak bisa punya anak."
Mukanya pucat.
"Sekarang pulanglah. Kamu harus kembali ke rumah."

Saya tak menunggu reaksinya lagi. Cepat saya angkat kedua kopernya dan saya bawa ke luar. Di jalan raya saya memanggil taksi. Kemudian saya membimbing dia ke luar, membukakan pintu taksi. Dia duduk seperti orang linglung. Ketika taksi itu meluncur, saya tersenyum getir. Saya merasa kehilangan. Saya telah menyelesaikan persoalan dengan baik, saya kira. Dia mungkin tidak akan menemui saya lagi. Kalaupun dia masih penasaran, akan saya katakan bahwa saya menderita impotensi.

Ya. saya akan katakan itu. Tapi sesungguhnya saya tak segawat itu. Saya masih tetap laki-laki normal. Tak ada keanehan. Sedikit keanehan pada diri saya mungkin, adalah: saya memang takut pada cinta. Bisa dibayangkan sekarang: Saya tak punya kerabat, sendiri di kota besar ini, hanya seorang korektor majalah dengan gaji yang pas-pasan untuk hidup sendiri. Dia seorang gadis yang cantik, mahasiswi, calon sarjana, anak orang berada. Begitu banyak perbedaan antara kami. Dan kawin? Itu kan lucu. Mungkin saya sampai tua akan tetap jadi seorang korektor, tak ada yang bisa saya banggakan. Dan besok dia jadi sarjana, hidup dengan lingkungan yang beda dengan dunia saya. Omong kosong untuk perkawinan. Omong kosong untuk cinta kami!

Sebab saya percaya, cinta adalah harapan terus-menerus untuk masa depan. Cinta harus diletakkan pada tempatnya. Cinta adalah untuk kebahagiaan. Bahagiakah kelak seorang sarjana mempunyai suami seorang korektor majalah seperti saya? Saya pastikan jawabnya tidak. Karena itulah saya lebih suka dia mengenal pria lain saja, seorang calon sarjana juga sedikitnya, kalau bisa juga orang yang berada, lebih tampan dari saya dan lebih luas pergaulannya, dan lebih banyak bisa dibanggakan tentunya. Saya kira, cinta juga harus pakai perhitungan! Ini pelajaran mahal dari berkali-kali patah hati yang pernah saya alami.

(Kumpulan Cerpen "Aneka", 1981)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar