Jumat, 11 September 2015

Catatan Minggu, 11 September 1994, 01.42



Saya seorang naturalis.
Sebagai pelukis saya sering berpikir tentang aliran seni rupa saya. Hal ini tidak menjadi masalah pada saat sekarang. Tapi sepuluh tahun yang lalu adalah masalah besar. Mau ke mana saya? Sementara saya mencoba percaya untuk melukis abstrak, memperhitungkan segala warna dan sapuan, bertahan pada teori-teori abstrak dan mitos-mitos seni rupa, dan selalu merasa kurang jika tidak mau disebut gagal.

Saya pernah sangat frustrasi jadinya, dan membakar banyak karya-karya saya, dan terus meradang, di mana salahnya?

Di tahun 1990 saya bertekad untuk melukis kembali dengan baik. Paling tidak dengan seluruh ketekunan yang ada. Rasanya menghasilkan kurang lebih lima puluh lukisan. Sebuah kerja keras dan merupakan salah satu tahun yang sangat keras dalam kehidupan saya.

Di penghujung tahun 1990, saya mencoba mengevaluasi hasil. saya gembira dengan produktivitas saya. Saya merasa mutu telah memadai. Ada perkembangan. Pengalaman teknik semakin kaya. Tapi saya merasa tidak beranjak jauh. Meskipun saya merasa makin mantap dengan pilihan hidup sebagai pelukis, tapi kemajuan yang tak banyak mengendorkan semangat juga. Kesibukan mengurus rumah menjelang Natal membuat saya libur melukis dan lebih banyak berpikir. Dan kesimpulannya saya masih belum menemukan yang saya cari.

Di awal tahun 1991 saya disibukkan kembali oleh kerja rutin TTS (Teka Teki Silang). Saya membenahi banyak hal, berusaha membuat penyegaran, dan larut di dalamnya. Saya menangguhkan kerja melukis saya dan tanpa saya sadari tahun baru kembali datang. Tidak ada satu pun karya saya di tahun ini. Tapi rasanya banyak sekali pemikiran dan renungan. Mungkin ini termasuk tahun alpa, atau tahun pencarian tanpa aksi apa-apa. Ini betul-betul tahun diam dalam kebangkitan saya.

Pada tahun 1992 hanya ada tiga buah karya cat minyak saya. Lukisan kecil "Bulan Sakit", "Penari Bali", dan "Perahu Cilincing" semua dalam warna biru dan pucat. Ketiganya saya kerjakan pada akhir Juni dan berlanjut ke bulan Juli. Pada saat ini saya menemukan biru. Compossed Blue dari cat Nouvel menjadi warna favorit saya. Tiba-tiba biru menjadi sakral bagi saya. Tiba-tiba biru menjadi awal mulanya. Biru menjadi napas baru dalam kekeringan satu setengah tahun ini. Dan biru menjadi dasar iman seni rupa saya, penyelamat, sandaran, ibu, juga bumi. Ini tampak pada tahun-tahun kemudian, dan mungkin seterusnya, bahwa pada saat saya begitu tak berdaya, saya kembali kepada biru. Pada tahun 1994 ini banyak lukisan yang bermula bukan biru akhirnya dominan dengan biru.

Mengapa biru? Ketika saya masih kuliah LPKJ, 1994, awal saya menggambar di atas kanvas, seorang sahabat yang bernama Tulanmoro menunjukkan Prussian Blue kepada saya. Sambil menunjukkan satu tube cat dan kanvas yang dikerjakannya dengan warna itu dia berkata, "Nih, Yus, ini baru warna!" Ya, saya jatuh cinta. Sebetulnya bukan warna asing, saya melihatnya sejak saya kecil karena itulah warna tinta tulis. Tapi pada saat itu pertemuan saya dengan Prussian Blue membuka cakrawala warna saya, sebuah kesadaran tentang rasa warna bagi seorang pelukis. Prussian Blue menjadi sahabat saya, periang ria kanvas saya. Sesungguhnya favorit saya adalah merah darah. Entah bagaimana saya malah cocok dengan Vermillion. Dan pertemuan Vermillion dengan Prussian Blue betul-betul menyenangkan saya, seperti sebuah pesta.

Lanjutnya begini. 23 Juni bapak mertua tercinta Ignasius Buchari Kusnandar meninggal dunia dalam usia 78 tahun. Malam setelah penguburan saya tidak bisa tidur meskipun saya merasa lelah sekali. Saya tidak merasa sedih, saya hanya merasa sedikit hampa ketika saya sendirian di sofa di bawah sinar neon. Ketika merenung-renung inilah tiba-tiba saya teringat bahwa saya masih mempunyai kanvas kosong. Saya ingin melukis! Saya ambil cat, tapi apa yang ingin saya lukis? Apa idenya? Saya memungut warna putih dan Compossed Blue. Gambar apa? Apa saja! Muntahkan saja! Jadilah lukisan bulan yang kemudian saya namai "Bulan Sakit" itu.

Sebuah lukisan yang sangat sederhana, dengan warna-warna biru dan putih. Tapi saya merasa begitu dahsyat. Gumpalan-gumpalan cat dari plototan dan torehan palet serta sapuan kuas lebar itu mengantarkan kesadaran baru pada saya, kesederhanaan dalam seni rupa. Mengapa tidak melukis dalam biru saja? Wilayah biru kan bisa dari hampir hijau sampai ungu dan hampir hitam? Dan di tengah itu ada Compossed Blue. Netral dan anggun, dan menjadi primadona.

Penemuan ini tidak membuat saya bergairah dan produktif. Nyatanya saya hanya membuat dua lukisan lagi dan mengaso lagi, sibuk dengan kerja rutin. Tapi biru menjadi iman. Selalu saja saya katakan kepada diri saya ketika saya berpikir tentang seni rupa, "Suatu saat saya akan habis-habisan dengan biru."

Masuk tahun 1993. Beberapa lukisan di bulan-bulan awal tahun ini adalah mutlak studi biru. Yang ketika melukis saya selalu seperti bernyanyi bahwa biru adalah langit, adalah laut, adalah udara, adalah air, adalah inti kehidupan. Salah satu ide saya adalah lukisan biru yang entah bagaimana yang berkata, "Pada Awalnya Adalah Biru". Sebuah judul yang bagus tapi sampai pada kanvas yang terakhir belakangan hari ini gagal untuk yang kesekian.

Pengalaman dengan Prussian Blue dan Compossed Blue membuat biru mempunya arti banyak pada saya. Tapi jangan salah, saya tidak bergantung kepada biru. Biru bukan warna yang mutlak harus ada pada kanvas saya. Tapi biru mempunya makna psikologis kepada saya, ketakberdayaan. Saya akan sering kembali kepada biru karena saya percaya hakekat manusia adalah ketidakberdayaan. Ketika saya merasa tidak berdaya, saya percaya kepada alam, kepada biru. Ketika banyak warna pun tak berdaya dalam seni lukis saya, saya percayakan kepada biru.

Jadi, memang benar saya seorang naturalis.


(Palmeriam, 11-9-1994)


Tambahan:
Lukisan "Bulan Sakit" telah dikoleksi seseorang.
Saya berterima kasih lagi kepada kolektor yang baik hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar