Sabtu, 12 September 2015

Catatan Selasa, 13 September 1994, jam setengah empat pagi.



Setiap pelukis harus menemukan seni rupanya sendiri. Sama seperti setiap penyair harus menemukan bahasanya.

Maknanya adalah setiap pelukis harus mempunyai banyak pengalaman seni rupa, menyadari segala aspek seni rupa, mempertanyakannya, membuat konsep dan mengerti jelas tujuan.

Pada tahun 1974, ketika saya berusia dua puluh tahun, saya masuk LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dengan kesiapan yang luar biasa untuk menjadi pelukis. Saya merasa bahwa saya sudah tidak punya masalah dalam menggambar. Saya telah matang teknik dan pengalaman praktek karena saya sudah menggambar sejak kecil. Saat itu saya telah berhenti melukis komik, tapi masih menjadi ilustrator dan kartunis untuk majalah hiburan. Selain merasa unggul dalam menggambar, saya pikir pengetahuan saya tentang seni lukis juga memadai. Saya merasa juga telah mengerti seni lukis abstrak.

Betapa kecewanya saya pada kenyataan bahwa saya tidak lulus seleksi masuk dan harus diulang lagi. Pada saat itu saya merasa ada yang salah pada para penilai, tapi juga mungkin pada diri saya sendiri. Ketika tes ulang, saya menggambar sebebas mungkin, atraktif tentang garis dan warna, dan saya harus akui sekarang bahwa hanya pamer teknik dan keberanian atau pengalaman lamanya latihan saya. Saya lulus dengan kesombongan penuh, bahwa saya telah menunjukkan semua kehebatan saya.

Tapi apakah betul saya telah mengerti seni rupa?

Hal itu bukan persoalan utama. Persoalannya adalah teman-teman yang di kiri kanan meja saya, yang menggambar bentuk saja tidak becus, garisnya tidak kuat, warnanya tidak berani, dan dalam bekerja selalu mengeluh "Bagaimana, ya?" sambil lihat sana sini membandingkan pekerjaannya dengan yang lain, eh, lulus dalam tes pertama. Gila betul! Padahal mereka itu kurang berbakat menurut saya, hanya ingin seni-senian saja. Dan saya? Huh! Lihat nantilah!

Semester pertama semua hancur-hancuran. Yang berbakat atau tidak jadi bego dalam menggambar. Saya sendiri yang berpegang kepada keberanian beraksi dan kebebasan melukis rasanya tinggal sedikit mempunyai kepercayaan diri. Untuk mata kuliah Menggambar Bentuk rasanya tidak masalah. Tapi ketika menggambar bebas, terpuruk di museum memelototi batu-batu, berusaha keras mengambil 'jiwa' dari arca yang karya besar abad-abad lampau, apa-apaan ini? Pak Danarto, sang dosen, tak pernah sungguh-sungguh mau mengomentari karya kami selain senyum-senyum melulu. Dan sekali-kali entah memberi petujuk atau kritik, tak pernah jelas.

Ketika workshop lebih gila lagi. Dosennya dua orang, Zaini dan Rujito. Acaranya enak, jalan-jalan melulu, naik bus tidak bayar karena disediakan, kalau ke luar kota pergi sendiri-sendiri tapi dikasih ongkos. Kertas gambar dapat jatah beberapa lembar kertas padalarang dan puluhan lembar kertas duplikator. Menggambarnya di Monas, Lapangan Banteng, Glodok, Senen, Kali Baru, Ragunan, Kebun Raya, Ciloto atau seputar Taman Ismail marzuki. Seminggu sekali giliran. Piknik terus! Mau menggambar habis-habisan boleh, bebas, alat gambar apa saja. Dan tidak mau menggambar juga boleh, bebas, cuma ngobrol-ngobrol, godain teman yang serius, atau pacaran. Dosen sungguh-sungguh tak peduli. Diumbar seperti ayam lepas kandang.

Tak pernah ada teori dalam mata kuliah Menggambar Bebas dan Workshop. Harinya berturutan Jumat dan Sabtu. Kalau ke Ciloto menginap sampai Minggu sore. Inilah hari-hari bahagia setiap minggu tapi sering juga hari neraka. Karena jenuh menggambar, tidak ada kemajuan, makin bingung dan bodoh, eh ketemu Mas Rujito dicibiri pula. atau kebetulan ketemu Pak Nashar, bertanya, malah diomelin disuruh mempertanggungjawabkan satu coretan atau satu titik. Bertanya pada kakak kelas tetapi ternyata sama bingungnya. Dan sialnya atau bagusnya, tiap ketemu Pak Zaini dan dimintai pendapat, komentarnya selalu "Bagus dan teruskan." Seperti Pak Tino Sidin di tivi. Komentarnya sambil senyum dan mengangguk-angguk dan terus jalan lagi. Beda dengan Rujito yang memegang kelas kami (Zaini untuk kakak kelas), kami diomeli tapi tidak diajari bagaimana mestinya. Pokoknya jelek dan teruskan! Terus meskipun kepala sudah mau pecah, semangat merosot, bingung, dan seperti bertahan sia-sia entah untuk apa.

Tak heran bukan jika pada awalnya kelas ada enam puluh orang  dan di semester dua tak lebih dari separuhnya. Dan pada semester tiga berkurang hampir separuh lagi. Semester empat saya berhenti. Bukan karena gagal, tapi karena tidak punya uang, harus bekerja, bertekad tetap menjadi pelukis tapi tak mau menjalani hidup bohemian. Saya merasa banyak mendapatkan pengalaman dan kesadaran seni rupa di LPKJ ini.

Cerita sudah cukup panjang. terus terang, keluar dari LPKJ saya merasa lebih mantap pilihan, tapi tidak merasa lebih pintar. Saya sekarang bisa melukis di kanvas, tidak hanya di kertas, sadar akan bakat saya, dan sadar pula bahwa masih jauh perjalanan seni rupa saya. Tanpa saya sadari saya belajar berpikir dalam seni rupa. Sekarang saya menyadari benar bahwa bakat saja tidak cukup. Benar kata Picasso, "Melukis adalah berpikir." Saya dapatkan semua ilmu bukan karena teori-teori para dosen, tapi lebih dari karena saya berpikir dalam bergumul dengan seni rupa.

Dalam pencarian saya, saya menemukan seni rupa saya pada tahun sembilan puluh, dan kematangan pada tahun 1993. Sekarang saya boleh sombong untuk mengatakan bahwa saya tidak lagi punya masalah besar. Saya telah mendapatkan pencerahan. Saya telah menemukan seni rupa saya, gaya saya sendiri.

Rasanya saya tidak banyak berbeda seperti pada tahun 1974. Kelebihannya adalah sekarang ini saya telah mengerti masalah. Saya telah banyak mengalami dan saya memiliki konsep dan tujuan yang jelas.

(Palmeriam, 13-9-1994)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar