Jumat, 03 April 2015

Hari Ini Jumat Agung




Saya Katolik, saya dibaptis waktu kelas 2 SMP, 1968. Sebelumnya saya tidak punya agama, tidak peduli agama. Saya orang Katolik yang pertama di keluarga.

Awalnya saya membaca kisah Yesus dan saya kasihan kepadaNya sebagai  orang baik yang mati disalib. Tapi pada hari ketiga Dia bangkit dari Kematian. Dia Tuhan, Juru Selamat umat manusia. Saya tidak mengerti. Saya ingin punya Tuhan, punya agama, dan jadi orang baik.

Saya besar dengan KDRT dan cinta. Kedua paman saya yang mendidik saya dengan keras (penuh kekerasan fisik) juga selalu mengatakan bahwa hukuman adalah tanda sayang. Saya merasa tidak masuk akal tetapi secara hati saya percaya. Sejak kecil otak dan hati saya tidak mau kompromi. Sayang atau cinta hanya bisa dipercaya saja, jangan dipikirkan, dan jadilah penyayang. Saya selalu percaya banyak orang yang menyayangi saya dan Tuhan sangat sayang.

Jumat Agung mengusik saya tentang kematian, mengingatkan maut. Semua orang mesti mati, tetapi bagaimana cara matinya? Kematian Yesus adalah kematian yang paling menyedihkan (lihat buku "Dinasti Yesus" oleh James D. Tabor), membuat bergidik dan tak terbayangkan.

Saya pernah dihantui takut mati, tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena merasa banyak dosa dan takut masuk neraka. Saya pernah tidak peduli lagi pada mati, saat saya merasa sangat menderita di dunia ini, saat doa pun sudah tak bisa diucapkan dan sia-sia belaka. Saat saya pun berani bertanya seperti Yesus, "Tuhanku, mengapa Kau tinggalkan daku."

Hari ini Jumat Agung.  Mengenang kematian Tuhan Yesus. Mengingat maut untuk merayakan hidup.

Saya menutup catatan saya ini dengan mengutip Nassim Nicholas Thaleb, seorang esais sastra yang saya sangat pujikan, dari bagian penutup bukunya "The Black Swan", alinea kedua dari belakang:

"Saya kadang-kadang tertegun oleh kenyataan bagaimana orang bisa mengalami hari yang mengenaskan atau naik pitam karena merasa tertipu oleh makanan yang tidak lezat, kopi yang dingin, penolakan dalam pergaulan, atau penerimaan yang tidak ramah. Ingat pembahasan saya dalam Bab 8 tentang kesulitan dalam menerima keganjilan-keganjilan sejati dalam peristiwa yang mendatangi hidup Anda sendiri. Kita dengan cepat lupa bahwa tetap hidup adalah sebuah kemujuran yang luar biasa, sebuah peristiwa langka, sebuah kejadian di antara sejumlah kemungkinan lain yang tak terhingga."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar