Senin, 20 April 2015

Saya Suka Orat-Oret Koran Bekas



Koran bekas mempunyai arti yang penting untuk saya. Hampir setiap hari saya orat-oret koran bekas. Saya memakai kuas dan cat akrilik. Orat-oret ini menjadi permainan yang menarik. Anak kecil dalam diri saya selalu gembira jika bisa bermain cat warna-warni.

Nantinya koran-koran bekas yang sudah penuh coreng moreng akan saya sobek-sobek. Anak kecil dalam diri saya selalu gembira menyobek. Dulu saya suka menyobek dan membakar karya saya yang entah mengapa tiba-tiba rasanya jelek. Padahal waktu baru selesai saya melihatnya bagus dan saya pun menyimpannya. Sejak serius melukis abstrak saya tidak pernah lagi menyobek atau membakar karya yang sudah jadi. Semua lukisan abstrak bagus, siapapun penciptanya. Masalah suka atau tidak suka adalah urusan lain.



Sekarang saya sedang gemar membuat karya kolase. Saya menggunakan karton manila, menempelkan sobekan-sobekan kertas koran di atasnya. Orang dewasa dalam diri saya bekerja setelah mengusir 'orang besar' yang suka sekali nongkrong di dalam otak saya.

Saya asyik berkarya dengan biaya murah dan mudah menyimpan hasilnya. Karena masalah saya sekarang adalah saya kehabisan tempat untuk menyimpan lukisan kanvas saya. Dan saya tidak punya uang untuk terus melukis di kanvas (yang kemudian jadi terasa mewah). Jika saya memakai cat minyak yang bermutu di atas kanvas maka saya akan mati kelaparan. Almarhum pelukis Sriwidodo selalu berseloroh bahwa setiap satu kali tarikan kuasnya berarti seharga satu tusuk sate kambing. Bayangkan jika satu kanvas harus selesai paling sedikit dengan seribu tarikan kuas. Adalah sangat sedih jika ada teman yang minta lukisan gratis, atau kolektor yang menawar lukisan semurah mungkin. Saya pernah marah kepada kerabat istri yang mau membeli lukisan kanvas saya untuk menghias dinding kantor barunya, setelah setuju harga eh esoknya menawar lagi. Saya ngambek untuk batal menjual, titik. Yang susah jadinya istri saya. Betapa menderitanya dia mempunyai suami pelukis abstrak yang tak terkenal.

Orang besar dalam diri saya selalu bicara tentang pameran di Paris, punya apartemen sebagai studio, punya museum galeri khusus karya saya dengan gedung bertingkat-tingkat. Dia tidak suka anak-anak bermain cat di atas koran bekas, karena menurutnya seni harus diajarkan serius sejak bocah. Dia marah jika melihat orang tidak serius membuat karya seni. Dia muak membaca puisi-puisi penyair dadakan di Facebook. Dia berteman dengan Vincent van Gogh dan Picasso yang sudah lama meninggal. Dia lupa bahwa seni adalah hiburan.

Anak kecil di dalam diri saya selalu menghibur diri saya dengan ulah orat-oretnya. Orang dewasa dalam diri saya selalu sibuk bekerja untuk sehat. Orang besar dalam diri saya menemani saya menjelang tidur, mendongeng cerita sejuta satu malam.

Anak kecil di dalam diri saya selalu membangunkan saya pada dini hari dan mengajak saya ke studio 'ngeleukeup' di loteng belakang rumah. Saya ingat kenangan terjauh waktu bocah, acara setiap pagi di pekarangan rumah pada latar tanah yang berdebu. Anak kecil itu berjongkok buang air besar sambil mencorat-coret tanah berdebu dengan patahan ranting atau lidi atau pecahan genteng. Sampai ibu datang dengan pengki bambu dan sapu lidi, menyaup kotoran sekaligus menghapus lukisan di tanah karena harus menimbun kotoran dengan debu. Kenangan masa kecil yang indah.


https://www.facebook.com/pelukis.yusidjaya/media_set?set=a.657796524352136.1073741828.100003653841074&type=3

https://www.facebook.com/pelukis.yusidjaya/media_set?set=a.658266984305090.1073741829.100003653841074&type=3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar