Sabtu, 04 April 2015

Saya Percaya Tuhan


Seketika altar kosong  begitu saja. Tak ada penutup pada misa. Umat bubar. Jumat Agung, Tuhan Yesus sudah wafat.
Tiga hari lagi Dia bangkit dari kematian. Umat Kristiani merayakan Paskah.

Di buku "Pidato-Pidato yang Mengubah Dunia" (penerbit Esensi, divisi Penerbit Erlangga, 2008) disalin "Khotbah di Bukit" dari Alkitab (Matius 5-7). Saya salinkan alinea pertama pengantar pada bagian "Yesus dari Nazareth":

"Bagi banyak orang, kata-kata Yesus yang terangkum dalam "Khotbah di Bukit" merupakan intisari kekristenan -- pokok-pokok ajaran Yesus. Yesus dari Nazareth adalah seorang guru Yahudi abad pertama yang disalibkan oleh orang Romawi. Orang-orang Kristen percaya bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan merupakan Anak Allah. Melalui Yesuslah Allah menampakkan diri kepada dunia, dan melalui kematian Yesus dunia didamaikan kembali dengan Allah. Kekristenan adalah salah satu agama besar di dunia dan didasarkan atas ajaran Yesus dan murid-muridnya yang ditulis dalam Injil Perjanjian Baru."


Saya paling enggan bicara tentang Tuhan dan agama. Bagi saya Tuhan sangat pribadi, pengalaman saya bersama Tuhan di luar nalar. Dan membicarakan agama hanya membuat saya merasa menjadi orang yang paling beriman. Semua orang fanatik dengan agamanya.

Pernah seorang teman mengatakan dengan serius bahwa dia lebih Katolik dari saya. Saya tertawa dan bertanya, bagaimana dia mengukurnya? Apa karena saya malas ke gereja dan tidak memakai kalung rosario? Padahal saya rajin berdoa, sangat suka berdoa, dan waktu melukis saya berdoa panjang.

Saya dibesarkan dalam keluarga yang percaya mistik dan tahayul, akrab dengan hio, kemenyan dan sesajen. Dulu ada banyak sekali larangan yang tidak saya mengerti alasannya tetapi saya percaya. Waktu bocah saya harus 'numpang-numpang' kalau mau buang air kecil di alam bebas. Jika lewat pohon besar saya diajarkan untuk minta permisi dengan berbisik, "Numpang-numpang... numpang lewat, Nek." Selesai berucap saya lari sekencang-kencangnya. Pohon Asam besar dan pohon Waru besar dekat rumah seperti nenek raksasa hitam di waktu malam.

Saya pernah mengalami 'kiamat', kejadian yang sangat menghancurkan hati saya dan tak pernah sedikit pun saya membayangkan bisa terjadi dalam hidup saya. Saya terus-terusan menangis dan meratap, jika bisa saya pasti telah memeluki Dinding Ratapan di Yerusalem. Saya membaca Kitab Ratapan di Perjanjian Lama (saya sangat suka mengulang membacanya sebagai puisi). Saya kehilangan Tuhan sampai suatu saat saya roboh di kamar mandi dalam ratapan tangis terakhir. Tuhan menggantikan hati saya yang hancur dengan hatiNya. Saya hidup baru.

Belum lama ini teman saya yang pelukis realis datang. Meskipun beda aliran tetapi kami merasa punya persamaan: pelukis tak terkenal dan miskin. Kami ngobrol penuh tawa getir karena menertawakan coreng-moreng hidup kami. Katanya, sebagai pelukis kami hidup terlalu berperasaan. Banyak temannya pelukis yang menjadi dukun atau penyembuh orang sakit. Ada yang jadi paranormal kaya dan berhenti melukis. "Kita juga bisa jadi paranormal tapi kita memilih tetap jadi pelukis," lanjutnya sambil tertawa lagi. Saya meng-iya-kan.

Saya suka lagu "Imagine" John Lennon. Pada waktu kehilangan Tuhan saya ikut membayangkan apa yang dikatakan lirik lagu ini. Ya, jika  di atas langit tidak ada surga, tidak ada neraka, di dunia tetap harus ada cinta. Orang harus bisa menyayangi sesamanya karena sama-sama terdiri dari tulang-daging-darah, karena sama-sama bisa merasa sakit dan menderita, karena semua orang ingin hidup aman dan bahagia sampai ajal tiba.

Saya membaca buku "Sejarah Tuhan" karya Karen Armstrong dengan semangat sastra. Buku ini saya pujikan, banyak menambah pemahaman saya tentang manusia & agama. Buku ini membuat saya makin enggan untuk bicara apalagi diskusi agama.



Saya mencatat alinea pertama kata pengantar dari Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi untuk buku "God Without Religion" oleh Sankara Saranam.

"Pertanyaan "Apakah Tuhan itu?" telah memusingkan umat manusia selama berabad-abad dan akan terus menantang pemahaman logis selama kita hidup dengan konsep bahwa di atas sana ada suatu surga tempat Tuhan duduk menghakimi umat manusia dan menghukum orang yang telah bertindak tidak benar. Pemikir-pemikir terkemuka sepanjang sejarah telah berusaha menemukan jawaban logis terhadap pertanyaan yang sulit dan tidak menyenangkan ini, dengan hasil hanya sedikit. Pada sisi lain, Yang Mulia Gautama, sang Buddha, melakukan tapasya (kata Sansekerta untuk asketisme) di bawah sebatang pohon bodhi dan, seperti beberapa orang lainnya, menemukan bahwa Tuhan ada di dalam hati setiap insan, dalam bentuk cinta kasih, bela rasa, pengertian, dan sifat-sifat positif lainnya yang mampu dimiliki manusia tetapi sering kali ditekan olehnya. Tampaknya, daripada kita mencoba menegaskan logika yang ketat atau menempatkan suatu citra yang solid pada konsep kita tentang Tuhan, kita harus mengikuti teladan mereka dan mengerahkan energi yang lebih besar untuk secara intuitif memahami makna Tuhan."

Saya percaya Tuhan.
Sungguh, saya tidak akan meneruskan bicara Tuhan. Mari bicara tentang seni saja.

Selamat Paskah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar